Jakarta, Kowantaranews.com – Di tengah gemerlap lampu panggung dan dentuman musik, Festival Pestapora 2025 di Jakarta bukan sekadar ajang hiburan. Ribuan kaum muda kelas menengah menjadikan festival ini sebagai ruang perlawanan sipil yang kreatif, mengguncang kekuasaan dengan estetika populer tanpa kekerasan. Dengan warna pink dan hijau sebagai simbol, pesan 17+8 di jumbotron, dan penampilan musisi yang berani berpolitik, Pestapora menjadi wajah baru aktivisme Indonesia yang “ngepop tanpa mesiu.”
Perlawanan sipil telah lama berevolusi. Jika dulu Mahatma Gandhi memimpin Salt March atau Rosa Parks menentang segregasi rasial, kini kaum muda Indonesia memilih medium yang lebih cair: musik, seni, dan fashion. Pestapora 2025 menunjukkan bagaimana budaya pop menjadi alat ampuh menyuarakan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah dan DPR. Warna pink, terinspirasi dari kerudung demonstran yang viral, dan hijau, simbol jaket ojek online, menghiasi panggung dan penonton. Tulisan “17+8” di layar raksasa merujuk pada 17 tuntutan utama dan 8 tambahan masyarakat sipil, sementara pameran nama-nama korban demonstrasi mengingatkan realitas represi yang kelam.
Musisi menjadi motor gerakan ini. Majelis Lidah Berduri, dipimpin Ugoran Prasad, menampilkan pesan-pesan perlawanan di jumbotron, “menjaga nyala api perjuangan masyarakat sipil.” Band dengan sejarah panjang kritik sosial ini memadukan lirik puitis dan rock modern untuk menggugah. Kunto Aji menyumbangkan seluruh honor pentasnya untuk masyarakat Indonesia timur, mengajak penonton bersatu demi perubahan. Nadin Amizah dan Slank tampil dengan atribut pink dan hijau, memperkuat solidaritas. “Musik bukan cuma hiburan, tapi juga suara rakyat,” ujar seorang penonton, Nazwa (21), yang mengenakan outfit serba pink-hijau bertema #ResetIndonesia.
Partisipasi penonton tak kalah vibran. Hilmi Al Kayyis (24) mencuri perhatian dengan kaus bertuliskan “pink power” dan “true patriots save lives, not kill,” dirancang khusus untuk festival. Bayu (24) dan Putra (27) dari Palembang memakai pita pink-hijau sebagai simbol dukungan. “Kami ingin menunjukkan solidaritas tanpa harus turun ke jalan. Ini cara kami berbicara,” kata Bayu. Estetika ini mencerminkan perlawanan “ngepop” yang playful, personal, dan mudah viral, berbeda dari demonstrasi konvensional yang konfrontatif.
Namun, perlawanan ini tak luput dari kritik. Sebagian menyebutnya komodifikasi aktivisme, di mana idealisme berisiko terserap logika kapitalisme. Pembatalan sponsor komersial di Pestapora menunjukkan ketegangan ini. Selain itu, efektivitasnya dipertanyakan: menurut platform Bijak Memantau, hanya tiga dari 17 tuntutan rakyat terpenuhi hingga 5 September 2025. Keberlanjutan gerakan juga menjadi tantangan, mengingat euforia festival rentan memudar tanpa strategi jangka panjang.
Meski begitu, Pestapora 2025 telah mengubah wajah aktivisme Indonesia. Kaum muda kelas menengah, yang dulu apatis, kini bangkit melawan ketimpangan ekonomi dan kebijakan tidak pro-rakyat melalui bahasa pop culture yang inklusif. Konvergensi hiburan dan politik ini selaras dengan tren global, seperti Fridays for Future atau Black Lives Matter, yang memanfaatkan budaya pop untuk memperluas dampak. Perlawanan “ngepop” ini, dengan musik dan kaos pinknya, membuktikan bahwa perubahan bisa dimulai dari panggung—tanpa mesiu, tapi penuh gairah. By Mukroni
- Berita Terkait
Lokasi Taman Eden dalam Tradisi Yahudi: Antara GeogrTerafi, Alegori, dan Mistisisme
Hutan Orang Rimba Jadi Kebun Sawit: Berondolan Dicuri, Pemerintah Sibuk Selfie ?
Buruh Bersuara, Monas Jadi Panggung Prabowo, Warteg Tetep Jadi Pelarian!
1.835 Spesies Burung: Indonesia, Konser Alam Terbesar di Dunia!
Kartini Kekinian: Dari Jepara ke Luar Angkasa, Emansipasi Tetap Cetar!
Korlantas: Arus Balik Lebaran 2025 Diprediksi Terbagi dalam Beberapa Gelombang
TSUNAMI PHK DAN DEFLASI: GELOMBANG PEMUDIK LEBARAN 2025 MENYUSUT DRASTIS!
Aktivitas Sesar Sagaing: Pemicu Utama Gempa 7,7 yang Guncang Myanmar dan Asia Tenggara
Sarjana Cumlaude Disandera PHK ? Indonesia Darurat Pengangguran Beredukasi ?