Jakarta, Kowantaranews.com -Di tengah hamparan hijau yang dulu rimbun, suara burung dan gemerisik daun kini digantikan oleh deru mesin dan aroma kelapa sawit. Hutan adat Orang Rimba, komunitas nomaden yang telah berabad-abad hidup selaras dengan alam di Jambi, Sumatra, telah berubah wajah menjadi lautan perkebunan sawit. Kisah tragis ini bukan sekadar tentang kehilangan pohon, tetapi tentang lenyapnya cara hidup, budaya, dan harapan sebuah komunitas adat. Sementara itu, berondolan—sisa buah sawit yang jadi penutup luka ekonomi mereka—kini jadi rebutan berdarah, dan pemerintah? Seolah asyik ber-selfie di tengah krisis, lalai menangani akar masalah.
Hutan Adat yang Dirampok Sawit
Orang Rimba, atau dikenal juga sebagai Suku Anak Dalam, adalah penjaga hutan yang hidup berpindah-pindah, mengandalkan hutan sebagai sumber pangan, obat-obatan, dan tempat ritual suci. Hutan bagi mereka bukan sekadar tanah, tetapi nadi kehidupan, tempat leluhur berbisik, dan warisan untuk generasi mendatang. Namun, ekspansi perkebunan kelapa sawit telah merenggut hutan adat mereka. Ribuan hektar hutan yang dulu jadi rumah kini berubah menjadi barisan pohon sawit yang seragam, dimiliki oleh korporasi raksasa yang haus lahan.
Data menunjukkan bahwa dari 130.000 hektar wilayah hidup Orang Rimba, hanya 60.000 hektar yang dilindungi sebagai Taman Nasional Bukit Duabelas. Sisanya? Telah beralih fungsi menjadi perkebunan atau lahan sisa (Tanah R) yang tandus, tidak layak untuk mendukung gaya hidup nomaden mereka. Tanpa akses ke sumber daya hutan seperti madu, buah-buahan liar, atau hewan buruan, Orang Rimba terperangkap dalam kemiskinan dan ketidakpastian. Ritual adat yang bergantung pada lokasi tertentu di hutan kini tak lagi bisa dilakukan, memutuskan tali spiritual mereka dengan alam.
Berondolan: Rebutan yang Berujung Maut
Di tengah hilangnya hutan, Orang Rimba terpaksa mencari cara bertahan hidup. Salah satu sumber penghasilan mereka adalah mengumpulkan berondolan, buah sawit yang jatuh dari truk atau tersisa di perkebunan. Awalnya, beberapa perusahaan sawit mengizinkan mereka memungut berondolan sebagai bagian dari kesepakatan informal, sebuah “sedekah” kecil dari korporasi yang telah merampas tanah mereka. Namun, kesepakatan ini sering dilanggar. Pihak perkebunan mulai melarang aktivitas ini, menganggapnya sebagai pencurian, meski berondolan hanyalah limbah yang tak bernilai signifikan bagi mereka.
Konflik pun memanas. Salah satu insiden tragis terjadi ketika Pelajang, seorang anggota Orang Rimba, tewas dalam bentrokan dengan pihak perkebunan. Beberapa warga lain luka-luka, menjadi bukti nyata bahwa perjuangan untuk bertahan hidup kini berbau darah. Kekerasan ini bukan sekadar konflik lokal, tetapi cerminan marginalisasi sistemik. Intimidasi dan ancaman terus menghantui Orang Rimba setiap kali mereka mencoba mengakses sumber daya yang dulu menjadi hak mereka. Berondolan, yang seharusnya jadi solusi sementara, malah menjadi simbol ketidakadilan yang mereka hadapi.
Pemerintah: Selfie di Tengah Krisis
Di mana peran pemerintah dalam semua ini? Sayangnya, intervensi yang ada jauh dari memadai. Program seperti pembangunan permukiman oleh Kementerian Sosial terkesan ala kadarnya, seperti menawarkan plester untuk luka yang membutuhkan operasi besar. Permukiman ini tidak hanya gagal memahami gaya hidup nomaden Orang Rimba, tetapi juga tidak menyelesaikan masalah utama: hak atas lahan dan penghidupan berkelanjutan. Mereka dipaksa meninggalkan tradisi berpindah untuk hidup di rumah-rumah yang asing, tanpa akses ke hutan yang menjadi jiwa mereka.
Pemerintah memang telah menetapkan Taman Nasional Bukit Duabelas sebagai kawasan perlindungan, tetapi ini hanya setengah hati. Wilayah di luar taman nasional dibiarkan menjadi sasaran ekspansi sawit, tanpa perlindungan hukum yang jelas bagi Orang Rimba. Regulasi yang lemah dan penegakan hukum yang loyo memungkinkan perusahaan sawit beroperasi tanpa akuntabilitas. Sementara itu, para pejabat seolah sibuk dengan urusan lain—mungkin ber-selfie untuk kampanye atau menghadiri acara seremonial—sementara komunitas adat terus terpinggirkan.
Erosi Budaya dan Ketahanan Pangan yang Rapuh
Kehilangan hutan bukan hanya soal lahan, tetapi juga identitas. Tradisi nomaden Orang Rimba, yang bergantung pada perburuan, pengumpulan hasil hutan, dan ritual adat, kini berada di ujung kepunahan. Lokasi-lokasi suci untuk upacara adat telah rata dengan tanah, digantikan oleh pohon sawit. Praktik berburu, yang dulu jadi kebanggaan, kini berubah jadi perjuangan menyedihkan untuk menangkap monyet kurus—cerminan betapa sulitnya mencari makanan.
Ketergantungan pada berondolan sawit juga memperburuk ketahanan pangan mereka. Penghasilan dari berondolan tidak stabil, bergantung pada musim dan kebijakan perusahaan. Ketika akses ini diputus, Orang Rimba terpaksa mencari alternatif yang jauh dari ideal, seperti berburu hewan yang semakin langka atau mengandalkan bantuan yang tidak menentu. Kondisi ini tidak hanya mengancam fisik mereka, tetapi juga martabat sebagai komunitas yang dulu hidup mandiri.
Kerangka Hukum: Janji Kosong di Atas Kertas
Secara hukum, Indonesia seharusnya memiliki komitmen untuk melindungi masyarakat adat. Negara ini telah meratifikasi Konvensi ILO 169 tentang Hak Masyarakat Adat dan Suku, yang menekankan pentingnya pengakuan hak atas lahan dan budaya. Namun, di lapangan, perlindungan ini nyaris tak terlihat. Indonesia belum memiliki undang-undang khusus yang kuat untuk mengakui hak masyarakat adat, meninggalkan Orang Rimba dalam limbo hukum.
Salah satu prinsip penting, Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), yang mengharuskan persetujuan masyarakat adat sebelum proyek pembangunan dilakukan di wilayah mereka, sering diabaikan. Perusahaan sawit beroperasi tanpa konsultasi memadai, meninggalkan Orang Rimba tanpa suara. LSM seperti KKI Warsi dan para antropolog telah menyerukan keadilan, menuntut restitusi lahan dan pengakuan kedaulatan adat, tetapi suara mereka sering tenggelam di tengah kepentingan ekonomi.
Baca juga : Buruh Bersuara, Monas Jadi Panggung Prabowo, Warteg Tetep Jadi Pelarian!
Baca juga : Mengerikan! Sindikat Internasional Ekspor Kulit Mangrove Ilegal, Laut Maluku Menjerit!
Baca juga : BENCANA MEGA-DEFORESTASI: PUNCAK BOGOR JADI KUBURAN HUTAN, JAKARTA LUMPUH OLEH AIR MATA ALAM!
Solusi: Dari Restitusi hingga Reformasi
Untuk menyelamatkan Orang Rimba dari kepunahan budaya dan kemiskinan, diperlukan langkah-langkah konkret. Pertama, restitusi lahan harus menjadi prioritas. Pemerintah perlu mengakui secara hukum wilayah adat di luar Taman Nasional Bukit Duabelas, termasuk zona penyangga yang memungkinkan akses ke sumber daya hutan. Ini bukan sekadar soal tanah, tetapi tentang mengembalikan martabat dan otonomi mereka.
Kedua, mata pencaharian berkelanjutan harus dikembangkan. Program seperti agroforestri, yang menggabungkan pertanian dengan pelestarian hutan, atau ekowisata yang memanfaatkan kearifan lokal, bisa menjadi solusi. Ini akan memungkinkan Orang Rimba tetap terhubung dengan hutan tanpa dipaksa bergantung pada limbah sawit.
Ketiga, akuntabilitas korporasi harus ditegakkan. Perusahaan sawit wajib mematuhi standar lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG), termasuk menerapkan FPIC dan mekanisme resolusi konflik. Pemerintah harus memperketat pengawasan dan memberikan sanksi tegas bagi pelaku pelanggaran.
Terakhir, reformasi kebijakan diperlukan untuk menyeimbangkan pembangunan ekonomi dengan pelestarian budaya dan lingkungan. Undang-undang yang memprioritaskan hak masyarakat adat dalam tata ruang harus segera dirumuskan, memastikan bahwa suara komunitas seperti Orang Rimba didengar.
Waktu yang Semakin Menipis
Kisah Orang Rimba adalah cerminan perjuangan komunitas adat di seluruh Indonesia melawan industri ekstraktif yang rakus. Hutan yang hilang, berondolan yang jadi rebutan, dan budaya yang terancam punah adalah alarm keras bahwa sistem saat ini gagal melindungi yang paling rentan. Sementara pemerintah dan korporasi terus bermain di panggung pembangunan, Orang Rimba terpaksa bertarung untuk sekadar bertahan hidup.
Tanpa aksi nyata, cara hidup unik mereka akan lenyap, meninggalkan luka mendalam dalam narasi pembangunan Indonesia. Ini bukan hanya tentang Orang Rimba, tetapi tentang bagaimana kita sebagai bangsa memilih untuk menghormati warisan budaya dan alam. Waktu terus berjalan, dan setiap pohon sawit yang ditanam adalah satu langkah lebih dekat menuju kepunahan sebuah cara hidup. Pemerintah, sudah selesai selfie-nya belum? Saatnya bertindak. By Mukroni
Foto Kowantaranews
- Berita Terkait :
Buruh Bersuara, Monas Jadi Panggung Prabowo, Warteg Tetep Jadi Pelarian!
Mengerikan! Sindikat Internasional Ekspor Kulit Mangrove Ilegal, Laut Maluku Menjerit!
BENCANA MEGA-DEFORESTASI: PUNCAK BOGOR JADI KUBURAN HUTAN, JAKARTA LUMPUH OLEH AIR MATA ALAM!
Dilema Besar! Pembangunan IKN atau Kesejahteraan Rakyat?
Retakan Tanah Mengintai: Perlombaan Melawan Waktu di Tengah Ancaman Longsor Pekalongan
Di Balik Obsesi Swasembada Pangan: Lingkungan dan Masyarakat yang Terlupakan
Makan Bergizi Gratis Ngebut! 82,9 Juta Pelajar Siap Disantuni di 2025!
Kemiskinan Menyusut, Tapi Jurang Kesenjangan Kian Menganga!
Jeritan Nelayan: Terjebak di Balik Tembok Laut, Rezeki Kian Terkikis
Menimbang Makna di Balik Perayaan Tahun Baru
Insiden di Mahkamah Internasional: Pengacara Israel Disebut ‘Pembohong’ oleh Pengamat Selama Sidang
Raja Saudi Salman Dirawat karena Radang Paru-paru di Istana Al Salam
Helikopter dalam Konvoi yang Membawa Presiden Iran Ebrahim Raisi Jatuh di Azerbaijan Timur
JPMorgan Chase Tarik Investasi dari Elbit Systems di Tengah Tekanan Kampanye Boikot
76 Tahun Nakba: Peringatan Sejarah dan Bencana yang Berkepanjangan di Gaza
Hakim Kanada Tolak Pembubaran Demo Pro-Palestina di Universitas McGill
Blokade Bantuan ke Gaza: Protes, Krisis Kelaparan, dan Konsekuensi Global
Netanyahu Tegaskan Israel Bukan “Negara Bawahan” AS di Tengah Ketegangan dengan Biden
Mayor Angkatan Darat AS Mengundurkan Diri untuk Memprotes Dukungan Amerika terhadap Israel di Gaza
Enam Sekutu Amerika Serikat Dukung Keanggotaan Penuh Palestina di PBB
Jeremy Corbyn di Rafah: ” Kisah Horor dan Harapan di Gaza: Panggilan untuk Keadilan dan Perdamaian”
Antony Blinken Mengecam Klaim Israel: Keadilan dan Kemanusiaan dalam Konflik Gaza
Mayoritas Warga Kanada Mendukung Protes di Kampus Universitas Menurut Jajak Pendapat Terbaru
Raja Denmark Mengibarkan Bendera Palestina: Solidaritas Global Menguat Setelah Badai Al-Aqsa
Gary Lineker: Tidak Bisa Diam Mengenai Konflik Gaza dan Kritik Terhadap Tindakan Israel
Kekuatan Opini Publik: Kim Kardashian dan Dampak #Blockout2024 Pro-Palestina
Perspektif Kritis Randa Jarrar: Hillary Clinton dalam Kacamata Seorang Profesor Studi Timur Tengah
Peringatan Raja Spanyol Felipe VI: Eskalasi Kekerasan di Gaza dan Panggilan untuk Aksi Global
Perayaan Cinta dan Solidaritas: Pengantin di Montreal Mengekspresikan Dukungan untuk Palestina
Bisan Owda dan AJ+ Raih Penghargaan Peabody atas Liputan Gaza
Grace Blakeley Mendorong Sanksi terhadap Israel dalam Debat BBC Question Time
Insiden Pelecehan Verbal di Arizona State University: Staf Pro-Israel Diberhentikan
Respon Defiant Israel Menyusul Peringatan Biden tentang Serangan Rafah
Dinamika Hubungan India-Israel di Bawah Pemerintahan Narendra Modi
Himne Macklemore untuk Perdamaian dan Keadilan: “Solidaritas Diam”
Tujuan Israel Menolak Gencatan Senjata dengan Hamas dan Melancarkan Operasi di Rafah
Mahasiswa Inggris Protes untuk Palestina: Aksi Pendudukan di Lima Universitas Terkemuka
Solidaritas Pelajar di MIT: Dukungan untuk Gaza dan Perlawanan Terhadap Perintah Polisi
Senator Partai Republik Ancam ICC: ‘Targetkan Israel dan Kami Akan Menargetkan Anda’
Pembelotan Massal dan Ketegangan Internal: Pasukan Israel Menolak Perintah di Gaza
Israel Menutup Kantor Al Jazeera
Ketegangan di Upacara Pembukaan Universitas Michigan: Pengunjuk Rasa Pro-Palestina Dikeluarkan
Ketegangan Internal dan Eksternal: Keputusan Kontroversial Menutup Saluran Al Jazeera di Israel
Situasi Tegang: Demonstrasi di Institut Seni Chicago Berakhir dengan Puluhan Orang Ditangkap
Platform Pittsburgh: Peran Pentingnya dalam Gerakan Reformasi Amerika dalam Yudaisme
Deklarasi Balfour dan Peran Walter Rothschild: Sebuah Tinjauan
Pelukan Islam Shaun King dan Dukungannya terhadap Palestina: Kisah Perubahan dan Aktivisme
Trinidad dan Tobago Resmi Mengakui Negara Palestina: Tinjauan Keputusan dan Implikasinya
Kolombia Putuskan Hubungan Diplomatik dengan Israel karena Dugaan Genosida di Gaza
Kontroversi Video Rashida Tlaib: Pertahanan Pro-Palestina di Tengah Keretakan Demokrat Michigan
Kontroversi Terkait Protes Mahasiswa di AS: Antara Anti-Semitisme dan Anti-Perang
Konfrontasi di Kampus: Mahasiswa Universitas Columbia Berjuang Demi Solidaritas dengan Palestina
Robert Reich Membela Mahasiswa yang Memprotes Perang Israel di Gaza di Kampus-kampus Amerika
Perjuangan Mahasiswa Amerika: Solidaritas dengan Palestina Melawan Represi dan Kekerasan
Protes Mahasiswa Pro-Palestina di Washington Tetap Berlanjut Meski Ditekan Pemerintah
Keyakinan Nahamanides dalam Realitas Surga dan Lokasi Taman Eden Dekat Garis Katulistiwa
Konsep Bumi sebagai Pusat Alam Semesta dalam Divine Comedy Dante
Thomas Aquinas: Pemikiran tentang Surga, Khatulistiwa, dan Taman Eden dalam Summa Theologica
Neturei Karta: Sekte Yahudi Anti-Zionis yang Menolak Negara Israel Berdasarkan Keyakinan Eskatologis
Neturei Karta: Sekte Yahudi Anti-Zionis yang Menolak Negara Israel
Orang Uighur Dipaksa Makan Daging Babi karena China Memperluas Peternakan Babi Xinjiang
Keren !, Presiden Pertama Indonesia, Soekarno Bela Mati-matian Palestina
Kata Rabbi Aaron Teitelbaum Shlita : “Negara Zionis adalah Penyembahan Berhala di Zaman Kita”
TERNYATA ADA RABI YAHUDI BERSUMPAH UNTUK “TERUS BERJUANG DALAM PERANG TUHAN MELAWAN ZIONISME”
Gila !, Banyak Wanita Uyghur Dipaksa Kawin Untuk Menghilangkan Warisan Budaya Tradisi Uyghur
Keren !, Ukraina Salah Satu Negara Pertama Akui Palestina di PBB
Karena Dekatnya Turki dengan Malaysia : Anwar Terbang Menemui Erdogan
Media Asing : Barat Tidak Berdaya di Myanmar
Enam Hari setelah Bencana Gempa Bumi Turki, Para Kontraktor Bangunan Ditangkapi
Bayi Lahir di Reruntuhan Gempa Suriah Dinamai Aya
Keren !, Presiden Aljazair Dukung Penuh Keanggotaan Palestina di PBB
Gawat ! Paman Sam AS Sebut Bakal Perang dengan China
Kemarahan Turki Setelah Pembakaran Quran, Protes Kurdi di Swedia
Kontra Intelijen FBI Menggerebek Kantor Polisi China di New York: Laporan
Nitizen Nyiyirin Presiden Emmanuel Macron”Tidak Minta Maaf” Atas Penjajahan Prancis di Aljazair
Tegas ! Demi Kemanusiaan Datuk Sri Anwar Ibrahim PM. Malaysia Bela Palestina
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ternyata Banyak Nama Kota Peninggalan Peradaban Islam di Amerika Serikat
Ternyata Angelina Jolie Tidak Masuk Dalam Daftar 5 Wanita Tercantik di Dunia
Peristiwa Dunia Yang Terjadi Tahun 2022
Wang Yi Menteri Luar Negeri China Diberhentikan
Pele Sang Legenda Sepak Bola Jum’at Dini Hari Meninggal Dalam Usia 82 Tahun
Islamofobia! Tiga Kepala Babi Diletakan Untuk Memprotes Pembangunan Masjid
Tragis ! Korban Bertambah 18 Orang Tewas Akibat Ledakan Truk Gas di Afrika Selatan
Lebih dari 40 Ribu Kematian Di Cina Karena Covid Di Akhir Tahun
Lagi-lagi Zionis Israil Menembak Mati Warga Palestina, Korbannya Pemain Sepak Bola Muda
Dr. Nisia Trindade Lima Menteri Kesehatan Brasil Pertama dari Kaum Hawa
Maher Zain Hadir Di Piala Dunia 2022 Dengan Merilis Lagu Bersiaplah (Tahayya)
Kembali Pecah Rekor, Kasus Covid-19 di China Tembus 39 Ribu Kasus Sehari