Jakarta, Kowantaranews.com -Swasembada pangan telah menjadi mimpi kolektif bangsa Indonesia sejak era kemerdekaan. Dari masa kepemimpinan Presiden Soekarno hingga pemerintahan saat ini, swasembada pangan sering kali dikemukakan sebagai simbol kedaulatan nasional. Namun, di balik retorika yang megah, upaya untuk mencapai swasembada sering kali diwarnai oleh kegagalan yang tidak hanya membebani lingkungan, tetapi juga meminggirkan masyarakat lokal. Ambisi ini, meskipun mulia, tampaknya terus menjadi lingkaran masalah yang belum terpecahkan.
Sejarah Panjang Obsesi Swasembada
Ide swasembada pangan pertama kali diusung oleh Presiden Soekarno sebagai bagian dari semangat berdikari, tetapi justru di era Orde Baru di bawah Presiden Soeharto konsep ini mendapatkan perhatian serius. Pada tahun 1984, Indonesia dinyatakan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) sebagai negara yang berhasil mencapai swasembada beras. Namun, keberhasilan ini tidak sepenuhnya merefleksikan realitas karena pada tahun yang sama, Indonesia tetap mengimpor 414.300 ton beras. Fakta ini menunjukkan bahwa deklarasi swasembada sering kali lebih merupakan narasi politis daripada pencapaian yang substantif.
Selanjutnya, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meluncurkan program revitalisasi pertanian dengan fokus pada swasembada tiga komoditas utama, yaitu padi, jagung, dan kedelai. Namun, proyek ini, termasuk food estate di Merauke dan Kalimantan, juga mengalami berbagai kendala, mulai dari minimnya infrastruktur hingga ketidaksesuaian lahan. Pemerintahan Presiden Joko Widodo melanjutkan program ini dengan menjadikannya Proyek Strategis Nasional (PSN), tetapi hasilnya tetap jauh dari harapan.
Pada Oktober 2024, Presiden Prabowo Subianto menegaskan kembali pentingnya swasembada pangan. Dalam pidatonya, ia menyatakan bahwa Indonesia harus mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangannya dalam waktu sesingkat-singkatnya. Namun, langkah-langkah yang diambil untuk mewujudkan visi ini, seperti mencadangkan 20 juta hektar hutan untuk produksi pangan dan energi, menuai kritik karena berpotensi merusak ekosistem dan memarginalkan masyarakat adat.
Dampak Lingkungan dari Proyek Swasembada
Proyek swasembada pangan sering kali berujung pada pembukaan lahan besar-besaran yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Salah satu contoh paling nyata adalah proyek lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan pada era Orde Baru. Program ini dilakukan dengan dalih membangun lumbung pangan nasional, tetapi gagal total karena hutan yang ditebang dan gambut yang dikeringkan justru menjadi sumber kebakaran hutan yang berulang. Dampaknya tidak hanya merusak ekosistem lokal, tetapi juga meningkatkan emisi karbon secara signifikan.
Proyek food estate yang lebih baru, seperti di Merauke dan Kalimantan Tengah, juga menghadapi masalah serupa. Pembukaan hutan untuk sawah atau perkebunan singkong tidak hanya gagal menghasilkan output pangan yang memadai, tetapi juga mengubah bentang alam yang sebelumnya menjadi sumber penghidupan masyarakat adat. Di beberapa daerah, proyek-proyek ini bahkan menyebabkan deforestasi masif dan degradasi tanah yang sulit dipulihkan.
Baca juga : Harga Tinggi Dapur Program Gizi: UMKM Dipaksa Mundur?
Baca juga : Makan Bergizi Gratis Ngebut! 82,9 Juta Pelajar Siap Disantuni di 2025!
Baca juga : Kemiskinan Menyusut, Tapi Jurang Kesenjangan Kian Menganga!
Masyarakat Lokal yang Tergusur
Selain merusak lingkungan, proyek swasembada pangan juga sering kali meminggirkan masyarakat lokal. Suku Marind Anim di Merauke adalah salah satu contoh nyata. Sebelum proyek food estate dimulai, masyarakat ini hidup dari sumber daya hutan seperti sagu dan hewan buruan. Namun, pembukaan hutan untuk sawah dan perkebunan membuat mereka kehilangan akses ke sumber pangan tradisional. Pola konsumsi mereka pun bergeser ke beras dan mi instan, yang ironisnya tidak dapat mereka produksi sendiri.
Fenomena ini mencerminkan praktik yang oleh para ahli disebut sebagai “gastrokolonialisme,” di mana pola konsumsi masyarakat lokal dipaksa berubah akibat kebijakan yang tidak mempertimbangkan kearifan lokal. Dalam jangka panjang, hal ini tidak hanya mengancam keberlanjutan hidup mereka, tetapi juga menghapus budaya dan tradisi yang telah diwariskan selama berabad-abad.
Kegagalan Infrastruktur dan Perencanaan
Salah satu alasan utama di balik kegagalan proyek swasembada pangan adalah kurangnya perencanaan yang matang. Banyak proyek yang dilaksanakan tanpa studi kelayakan yang memadai, sehingga tidak mempertimbangkan aspek geografi, iklim, dan infrastruktur. Misalnya, proyek food estate di Kalimantan Tengah dan Merauke gagal karena kondisi tanah dan cuaca yang tidak mendukung pertanian skala besar.
Selain itu, minimnya dukungan infrastruktur seperti irigasi, akses jalan, dan alat pertanian modern membuat para petani lokal kesulitan untuk mengoptimalkan produksi. Ketergantungan pada teknologi dan sumber daya dari luar juga meningkatkan biaya produksi, sehingga hasilnya tidak sebanding dengan investasi yang dikeluarkan.
Alternatif untuk Masa Depan
Di tengah krisis iklim yang semakin parah, pendekatan baru terhadap sistem pangan nasional menjadi semakin mendesak. Bappenas telah merancang transformasi sistem pangan yang lebih berkelanjutan dengan pendekatan regionalisasi. Konsep ini mengusulkan pengembangan pangan berbasis geografis dan budaya lokal, sehingga tidak hanya lebih ramah lingkungan, tetapi juga inklusif terhadap kebutuhan masyarakat setempat.
Sebagai contoh, daripada memaksakan budidaya padi di daerah yang tidak sesuai, pemerintah dapat mendukung pengembangan pangan lokal seperti sagu, jagung, atau umbi-umbian yang lebih cocok dengan kondisi tanah dan iklim setempat. Langkah ini tidak hanya akan meningkatkan efisiensi produksi, tetapi juga menjaga keragaman hayati dan budaya pangan Indonesia.
Menimbang Kembali Ambisi Swasembada
Ambisi swasembada pangan memang penting sebagai simbol kedaulatan nasional, tetapi pelaksanaannya harus dilakukan dengan hati-hati. Kebijakan yang hanya mengejar target produksi tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat lokal justru akan menimbulkan lebih banyak masalah di masa depan.
Ke depan, pemerintah perlu mengedepankan pendekatan yang berbasis data ilmiah dan partisipasi masyarakat lokal. Proyek-proyek besar seperti food estate harus dilaksanakan dengan perencanaan yang matang, studi kelayakan yang komprehensif, dan dukungan infrastruktur yang memadai. Selain itu, kebijakan pangan juga harus mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem dan menghormati kearifan lokal.
Jika tidak, mimpi swasembada pangan hanya akan terus menjadi mimpi buruk bagi lingkungan dan masyarakat Indonesia. Sebaliknya, dengan pendekatan yang tepat, Indonesia memiliki potensi untuk menjadi contoh keberhasilan dalam membangun sistem pangan yang berdaulat, inklusif, dan berkelanjutan. By Mukroni
Foto Kowantaranews
- Berita Terkait :
Makan Bergizi Gratis Ngebut! 82,9 Juta Pelajar Siap Disantuni di 2025!
Kemiskinan Menyusut, Tapi Jurang Kesenjangan Kian Menganga!
Jeritan Nelayan: Terjebak di Balik Tembok Laut, Rezeki Kian Terkikis
Menimbang Makna di Balik Perayaan Tahun Baru
Insiden di Mahkamah Internasional: Pengacara Israel Disebut ‘Pembohong’ oleh Pengamat Selama Sidang
Raja Saudi Salman Dirawat karena Radang Paru-paru di Istana Al Salam
Helikopter dalam Konvoi yang Membawa Presiden Iran Ebrahim Raisi Jatuh di Azerbaijan Timur
JPMorgan Chase Tarik Investasi dari Elbit Systems di Tengah Tekanan Kampanye Boikot
76 Tahun Nakba: Peringatan Sejarah dan Bencana yang Berkepanjangan di Gaza
Hakim Kanada Tolak Pembubaran Demo Pro-Palestina di Universitas McGill
Blokade Bantuan ke Gaza: Protes, Krisis Kelaparan, dan Konsekuensi Global
Netanyahu Tegaskan Israel Bukan “Negara Bawahan” AS di Tengah Ketegangan dengan Biden
Mayor Angkatan Darat AS Mengundurkan Diri untuk Memprotes Dukungan Amerika terhadap Israel di Gaza
Enam Sekutu Amerika Serikat Dukung Keanggotaan Penuh Palestina di PBB
Jeremy Corbyn di Rafah: ” Kisah Horor dan Harapan di Gaza: Panggilan untuk Keadilan dan Perdamaian”
Antony Blinken Mengecam Klaim Israel: Keadilan dan Kemanusiaan dalam Konflik Gaza
Mayoritas Warga Kanada Mendukung Protes di Kampus Universitas Menurut Jajak Pendapat Terbaru
Raja Denmark Mengibarkan Bendera Palestina: Solidaritas Global Menguat Setelah Badai Al-Aqsa
Gary Lineker: Tidak Bisa Diam Mengenai Konflik Gaza dan Kritik Terhadap Tindakan Israel
Kekuatan Opini Publik: Kim Kardashian dan Dampak #Blockout2024 Pro-Palestina
Perspektif Kritis Randa Jarrar: Hillary Clinton dalam Kacamata Seorang Profesor Studi Timur Tengah
Peringatan Raja Spanyol Felipe VI: Eskalasi Kekerasan di Gaza dan Panggilan untuk Aksi Global
Perayaan Cinta dan Solidaritas: Pengantin di Montreal Mengekspresikan Dukungan untuk Palestina
Bisan Owda dan AJ+ Raih Penghargaan Peabody atas Liputan Gaza
Grace Blakeley Mendorong Sanksi terhadap Israel dalam Debat BBC Question Time
Insiden Pelecehan Verbal di Arizona State University: Staf Pro-Israel Diberhentikan
Respon Defiant Israel Menyusul Peringatan Biden tentang Serangan Rafah
Dinamika Hubungan India-Israel di Bawah Pemerintahan Narendra Modi
Himne Macklemore untuk Perdamaian dan Keadilan: “Solidaritas Diam”
Tujuan Israel Menolak Gencatan Senjata dengan Hamas dan Melancarkan Operasi di Rafah
Mahasiswa Inggris Protes untuk Palestina: Aksi Pendudukan di Lima Universitas Terkemuka
Solidaritas Pelajar di MIT: Dukungan untuk Gaza dan Perlawanan Terhadap Perintah Polisi
Senator Partai Republik Ancam ICC: ‘Targetkan Israel dan Kami Akan Menargetkan Anda’
Pembelotan Massal dan Ketegangan Internal: Pasukan Israel Menolak Perintah di Gaza
Israel Menutup Kantor Al Jazeera
Ketegangan di Upacara Pembukaan Universitas Michigan: Pengunjuk Rasa Pro-Palestina Dikeluarkan
Ketegangan Internal dan Eksternal: Keputusan Kontroversial Menutup Saluran Al Jazeera di Israel
Situasi Tegang: Demonstrasi di Institut Seni Chicago Berakhir dengan Puluhan Orang Ditangkap
Platform Pittsburgh: Peran Pentingnya dalam Gerakan Reformasi Amerika dalam Yudaisme
Deklarasi Balfour dan Peran Walter Rothschild: Sebuah Tinjauan
Pelukan Islam Shaun King dan Dukungannya terhadap Palestina: Kisah Perubahan dan Aktivisme
Trinidad dan Tobago Resmi Mengakui Negara Palestina: Tinjauan Keputusan dan Implikasinya
Kolombia Putuskan Hubungan Diplomatik dengan Israel karena Dugaan Genosida di Gaza
Kontroversi Video Rashida Tlaib: Pertahanan Pro-Palestina di Tengah Keretakan Demokrat Michigan
Kontroversi Terkait Protes Mahasiswa di AS: Antara Anti-Semitisme dan Anti-Perang
Konfrontasi di Kampus: Mahasiswa Universitas Columbia Berjuang Demi Solidaritas dengan Palestina
Robert Reich Membela Mahasiswa yang Memprotes Perang Israel di Gaza di Kampus-kampus Amerika
Perjuangan Mahasiswa Amerika: Solidaritas dengan Palestina Melawan Represi dan Kekerasan
Protes Mahasiswa Pro-Palestina di Washington Tetap Berlanjut Meski Ditekan Pemerintah
Keyakinan Nahamanides dalam Realitas Surga dan Lokasi Taman Eden Dekat Garis Katulistiwa
Konsep Bumi sebagai Pusat Alam Semesta dalam Divine Comedy Dante
Thomas Aquinas: Pemikiran tentang Surga, Khatulistiwa, dan Taman Eden dalam Summa Theologica
Neturei Karta: Sekte Yahudi Anti-Zionis yang Menolak Negara Israel Berdasarkan Keyakinan Eskatologis
Neturei Karta: Sekte Yahudi Anti-Zionis yang Menolak Negara Israel
Orang Uighur Dipaksa Makan Daging Babi karena China Memperluas Peternakan Babi Xinjiang
Keren !, Presiden Pertama Indonesia, Soekarno Bela Mati-matian Palestina
Kata Rabbi Aaron Teitelbaum Shlita : “Negara Zionis adalah Penyembahan Berhala di Zaman Kita”
TERNYATA ADA RABI YAHUDI BERSUMPAH UNTUK “TERUS BERJUANG DALAM PERANG TUHAN MELAWAN ZIONISME”
Gila !, Banyak Wanita Uyghur Dipaksa Kawin Untuk Menghilangkan Warisan Budaya Tradisi Uyghur
Keren !, Ukraina Salah Satu Negara Pertama Akui Palestina di PBB
Karena Dekatnya Turki dengan Malaysia : Anwar Terbang Menemui Erdogan
Media Asing : Barat Tidak Berdaya di Myanmar
Enam Hari setelah Bencana Gempa Bumi Turki, Para Kontraktor Bangunan Ditangkapi
Bayi Lahir di Reruntuhan Gempa Suriah Dinamai Aya
Keren !, Presiden Aljazair Dukung Penuh Keanggotaan Palestina di PBB
Gawat ! Paman Sam AS Sebut Bakal Perang dengan China
Kemarahan Turki Setelah Pembakaran Quran, Protes Kurdi di Swedia
Kontra Intelijen FBI Menggerebek Kantor Polisi China di New York: Laporan
Nitizen Nyiyirin Presiden Emmanuel Macron”Tidak Minta Maaf” Atas Penjajahan Prancis di Aljazair
Tegas ! Demi Kemanusiaan Datuk Sri Anwar Ibrahim PM. Malaysia Bela Palestina
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ternyata Banyak Nama Kota Peninggalan Peradaban Islam di Amerika Serikat
Ternyata Angelina Jolie Tidak Masuk Dalam Daftar 5 Wanita Tercantik di Dunia
Peristiwa Dunia Yang Terjadi Tahun 2022
Wang Yi Menteri Luar Negeri China Diberhentikan
Pele Sang Legenda Sepak Bola Jum’at Dini Hari Meninggal Dalam Usia 82 Tahun
Islamofobia! Tiga Kepala Babi Diletakan Untuk Memprotes Pembangunan Masjid
Tragis ! Korban Bertambah 18 Orang Tewas Akibat Ledakan Truk Gas di Afrika Selatan
Lebih dari 40 Ribu Kematian Di Cina Karena Covid Di Akhir Tahun
Lagi-lagi Zionis Israil Menembak Mati Warga Palestina, Korbannya Pemain Sepak Bola Muda
Dr. Nisia Trindade Lima Menteri Kesehatan Brasil Pertama dari Kaum Hawa
Maher Zain Hadir Di Piala Dunia 2022 Dengan Merilis Lagu Bersiaplah (Tahayya)
Kembali Pecah Rekor, Kasus Covid-19 di China Tembus 39 Ribu Kasus Sehari