Jakarta, Kowantaranews.com – Malam itu, Bahtiar Pebri Dwiyana, 42 tahun, duduk di teras rumahnya di Cibubur. Di depannya terhidang mangkuk besar berisi sop dengkul sapi yang masih mengepul. Begitu sendok pertama masuk ke mulut, matanya langsung berkaca-kaca. “Ini persis rasa yang ibu buat waktu aku kecil dan demam,” katanya pelan. “Satu suap saja, rasanya aku langsung kembali ke kamar sempit di kontrakan Cijantung tahun 90-an. Ibu nyanyi-nyanyi kecil sambil nyuapin aku.”
Bahtiar bukan satu-satunya. Di ujung lain negeri, di Gorontalo, Dr. Amanda Katili Niode, pakar kuliner dan climate change, tak pernah bisa menahan senyum setiap mencium aroma Binthe Biluhuta – sup jagung khas Gorontalo yang disiram kuah ikan cakalang dan diberi parutan kelapa sangrai. “Setiap Lebaran, nenek selalu masak dua panci besar,” ceritanya. “Keluarga dari Manado, Bitung, sampai Palu datang semua. Meja makan penuh tawa, piring penuh warna. Sekarang kalau aku masak sendiri di rumah Jakarta, anak-anakku yang dulu tak pernah ketemu nenek mereka, ikut bilang ‘rasanya rumah nenek’.”
Di bilangan Kemang, food writer Kevindra Soemantri masih menyimpan sebotol saus iga bakar madu resep almarhum ayahnya dalam lemari es. “Ayah bikin saus ini tiap akhir pekan,” kenangnya. “Kami berlima – ayah, ibu, aku, dan dua adik – duduk di teras, makan iga bakar sambil nonton sinetron Minggu malam. Kalau sekarang aku bakar iga dengan saus yang sama, rasanya ayah masih duduk di kursi sebelah.”
Para ilmuwan menyebut fenomena ini “Proustian moment”, merujuk pada novelis Prancis Marcel Proust yang dalam In Search of Lost Time (1913) menggambarkan bagaimana satu gigitan kue madeleine yang dicelup teh langsung membawanya kembali ke masa kecil di Combray. Penelitian di Monell Chemical Senses Center, Philadelphia, membuktikan bahwa indra penciuman terhubat langsung ke amigdala dan hipokampus – dua area otak yang mengatur emosi dan memori episodik. Itu sebabnya aroma lebih kuat membangkitkan kenangan dibanding gambar atau suara.
Di layar lebar, momen yang sama diabadikan dengan indah. Dalam film animasi Pixar Ratatouille (2007), kritikus makanan keras Anton Ego yang ditakuti restoran Paris langsung meleleh ketika mencicipi confit byaldi buatan Remy. Satu suap, dan dia kembali menjadi bocah kecil yang baru pulang sekolah, disambut ibunya dengan semangkuk sayur panggang sederhana. Air matanya menetes, kritiknya berubah menjadi pujaan.
Di Jepang, serial Midnight Diner (Shin’ya Shokudō) selama lima musim menjadikan makanan sebagai jembatan menuju masa lalu. Setiap episode, pelanggan datang ke warung kecil yang buka tengah malam, memesan satu menu, lalu menceritakan kisah hidup mereka yang tersimpan di balik makanan itu – omelette nasi, sup miso, atau semangkuk tonjiru. Pemilik warung, yang hanya dipanggil “Master”, mendengarkan tanpa banyak bicara. Penonton di seluruh dunia menangis bersama.
Di Indonesia, kenangan serupa hidup di setiap sudut. Seorang teman di Bandung mengaku masih mencari penjual kupat tahu di mangkuk seng yang sama seperti yang dulu dijajakan di depan sekolahnya tahun 1992. Seorang ibu di Surabaya mengajari anaknya membuat nasi uduk dengan daun pandan yang diikat simpul tiga, persis seperti yang diajarkan ibunya dulu. Di Ambon, seorang pemuda membuka lapak ikan bakar hanya karena ingin orang lain juga bisa merasakan bau asap kayu bakau yang sama seperti saat ayahnya memancing dan langsung membakar hasil tangkapan di tepi pantai.
Psikolog klinis Tara De Thouars mengatakan bahwa comfort food berfungsi sebagai “emotional anchor”. Di tengah ketidakpastian hidup dewasa – tagihan, deadline, pandemi, kehilangan – makanan masa kecil memberi rasa aman yang pernah kita rasakan saat dunia masih sederhana dan orang tua selalu ada untuk melindungi.
Ketimpangan Wilayah: Bom Waktu Struktural yang Terabaikan di Balik Kemegahan Jabodetabek
“Ketika kita memakan makanan itu lagi,” kata Tara, “otak kita sebenarnya sedang bilang: kamu pernah selamat dari hari-hari sulit dulu, kamu pasti bisa lagi sekarang.”
Malam ini, di banyak rumah di Indonesia, seseorang sedang menyalakan kompor. Ada yang menggoreng bawang untuk nasi goreng, ada yang merebus daun singkong untuk gulai, ada yang mengukus klepon sampai berbunyi “plos”. Mereka mungkin tidak sadar bahwa yang sedang mereka lakukan bukan sekadar memasak, tapi juga bepergian melintasi waktu.
Satu aroma tercium, satu suap masuk ke mulut, dan tiba-tiba kita pulang.
Ke rumah yang mungkin sudah tak ada lagi, ke orang-orang yang mungkin sudah tiada, ke versi diri kita yang masih percaya dunia ini penuh keajaiban. Dan untuk sesaat, dunia memang kembali menjadi tempat yang hangat, aman, dan beraroma bawang goreng. By Mukroni
Ketimpangan Wilayah: Bom Waktu Struktural yang Terabaikan di Balik Kemegahan Jabodetabek
Marsinah Resmi Jadi Pahlawan Nasional, Simbol Perjuangan Buruh Perempuan

