Jakarta, Kowantaranews.com – Di ruang serbaguna Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Jakarta, tepuk tangan riuh terdengar pada Rabu, 10 Desember 2025. Hari itu menandai peluncuran dokumen strategis bertajuk “Peta Jalan Hilirisasi Rempah 2025-2045”. Di atas kertas, visi yang ditawarkan pemerintah begitu memikat: mengembalikan kejayaan Nusantara sebagai poros rempah dunia, dengan target menjadikan Indonesia produsen nomor satu untuk pala, lada, cengkeh, kayu manis, dan vanili, serta menobatkan temu lawak sebagai ikon herbal global.
Namun, di luar gedung Bappenas, realitas di lapangan menyajikan narasi yang jauh lebih senyap dan mencemaskan. Ambisi besar untuk melakukan hilirisasi—mengolah bahan mentah menjadi produk bernilai tambah—kini berhadapan dengan tembok tebal skeptisisme dan tantangan fundamental yang belum terselesaikan. Pertanyaan besar pun mencuat: apakah peta jalan ini akan menjadi kompas yang menuntun kejayaan ekonomi, atau hanya akan berakhir sebagai tumpukan dokumen berdebu di lemari birokrasi, mengulang kegagalan peta jalan komoditas lainnya?
Bayang-Bayang Kegagalan Masa Lalu
Skeptisisme ini bukan tanpa dasar. Ketua Sustainable Spices Initiative (SSI) Indonesia, Dippos Naloanro Simanjuntak, mengingatkan pemerintah agar tidak terjebak dalam euforia seremoni semata. Ia menarik paralel yang mengkhawatirkan dengan nasib industri kelapa nasional.
“Jangan sampai peta jalan ini hanya terhenti di atas kertas dan berjalan lambat seperti Peta Jalan Hilirisasi Kelapa 2025-2045,” ujar Dippos, Minggu (14/12/2025).
Peringatan Dippos merujuk pada paradoks industri pengolahan di Indonesia: pabrik dibangun, mesin disiapkan, namun bahan bakunya lenyap. Industri pengolahan kelapa saat ini megap-megap kekurangan bahan baku kelapa bulat. Jika hal serupa terjadi pada rempah, maka impian hilirisasi akan layu sebelum berkembang. Industri tengah dan hilir rempah nasional terancam “kelaparan” bahan baku jika produksi di sektor hulu tidak segera dibenahi.
Krisis di Hulu: Ketika Pohon Tak Lagi Berbuah
Data statistik berbicara lebih jujur daripada pidato pejabat. Di balik target kenaikan ekspor pala sebesar 8,85 persen pada 2045, produktivitas pala nasional justru sedang “sakit”. Merujuk data Statistik Tanaman Perkebunan Tahunan Indonesia 2024, meskipun luas lahan perkebunan pala bertambah menjadi 283.819 hektar, produksi biji pala nasional justru anjlok dari 41.444 ton menjadi 39.558 ton. Produktivitas per hektar pun turun drastis.
Penyebabnya bukan hanya soal teknis pertanian konvensional, melainkan musuh tak kasat mata yang kian ganas: perubahan iklim.
Fenomena cuaca ekstrem telah memukul rata petani dari Aceh hingga Papua. Sepanjang pertengahan 2023 hingga 2024, panen cengkeh gagal total di banyak sentra produksi. Bunga cengkeh rontok massal dihajar kekeringan panjang akibat El Nino. Situasi ini diperparah dengan prediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang menyebutkan bahwa akhir 2025 Indonesia memasuki fase La Nina lemah dan gangguan gelombang ekuator, yang membawa curah hujan ekstrem dan risiko bencana hidrometeorologi. Bagi tanaman rempah yang sensitif, anomali cuaca ini adalah vonis mati bagi produktivitas jika tidak ada intervensi teknologi.
Secercah Harapan dari Laboratorium BRIN
Di tengah kemuraman sektor hulu, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menawarkan solusi teknokratis yang menjanjikan. Peneliti Ahli Utama BRIN, Agus Ruhnayat, menyoroti masalah mendasar pada budidaya pala: ketidakpastian jenis kelamin pohon.
Selama berabad-abad, petani menanam biji pala tanpa tahu apakah pohon itu jantan (tidak berbuah) atau betina. Kepastian baru didapat setelah menunggu 6-8 tahun—sebuah investasi waktu yang sangat berisiko. “Hal itu menyebabkan risiko penanaman dengan dominasi tanaman jantan, sehingga membuat petani enggan menerima benih bantuan pemerintah,” ungkap Agus.
BRIN kini memperkenalkan teknologi epicotyl grafting atau sambung pucuk. Ini adalah metode perbanyakan vegetatif yang memungkinkan petani mengetahui jenis kelamin tanaman sejak dini. Tak hanya itu, teknologi ini memangkas masa tunggu panen dari 6 tahun menjadi hanya 1-2 tahun. Jika dikelola dengan standar teknis yang tepat, satu hektar lahan bisa menghasilkan hingga 52.500 butir pala.
Namun, inovasi ini menuntut ekosistem pendukung yang masif: sistem penyungkupan massal, fertigasi otomatis berbasis mikrokontroler, hingga mesin sambung pucuk otomatis. Tanpa dukungan anggaran dan pelatihan petani yang masif, teknologi ini hanya akan menjadi mainan di laboratorium, tidak menyentuh kebun rakyat.
Ancaman Penolakan Global: Isu Keamanan Pangan
Tantangan hilirisasi tidak berhenti di ladang. Di pasar global, rempah Indonesia menghadapi sorotan tajam terkait isu keberlanjutan dan keamanan pangan. Eropa dan Amerika Serikat, dua pasar utama rempah dunia, kini menerapkan standar ganda yang ketat.
Dippos menyoroti isu kontaminasi aflatoksin pada pala, zat beracun akibat jamur yang muncul karena pengolahan pascapanen yang buruk. “Apabila Indonesia tidak memperhatikan isu ini, negara-negara maju bakal mempersoalkan bahkan menolak ekspor rempah Indonesia,” tegasnya.
Hilirisasi menjadi percuma jika produk akhirnya ditolak pasar karena residu kimia atau praktik deforestasi. Kluster inovasi yang digagas pemerintah di daerah, seperti Kluster Inovasi PUD Pala Maluku Utara, masih tertatih-tatih menghadapi realitas ini. Nurhasanah, koordinator kluster tersebut, mengakui sulitnya menembus perusahaan besar karena ketidakseragaman kualitas dari petani yang masih mencampur benih bersertifikat dengan yang asalan.
Indonesia Luncurkan Peta Jalan Hilirisasi Rempah 2025-2045: Kembali Jadi Raja Rempah Dunia
Sebuah Pertaruhan
Tahun 2025 hingga 2045 adalah pertaruhan besar. Peta jalan yang diluncurkan Bappenas adalah langkah awal yang niatnya patut diapresiasi. Namun, tanpa perbaikan radikal di sektor hulu—mulai dari adopsi teknologi grafting, mitigasi iklim yang serius, hingga standarisasi pascapanen—dokumen tebal itu tak akan mampu menyelamatkan kejayaan rempah Nusantara.
Indonesia tidak kekurangan rencana; Indonesia kekurangan eksekusi yang konsisten. Jika tantangan produksi dan kualitas ini tidak dijawab dengan aksi nyata, hilirisasi rempah hanya akan menjadi wacana manis yang terkubur bersama rontoknya bunga-bunga cengkeh di musim hujan.
Indonesia Luncurkan Peta Jalan Hilirisasi Rempah 2025-2045: Kembali Jadi Raja Rempah Dunia
Berulang, Kita Berkhianat: Gajah Membersihkan Puing Rumahnya Sendiri
Glühwein dan Labirin Kerajinan: Pasar Natal Berlin Tetap Hangat di Suhu 4°C
Sumatra Barat Daya Krisis: Penjarahan Mulai Terjadi, Stok Pangan Tinggal Hitungan Hari
Sumatra Tenggelam: Tambang dan Sawit Ubah Siklon Jadi Pembantaian Massal
Korban Tewas Banjir Bandang Sumatera Capai 188 Orang, 167 Masih Hilang

