Jakarta, Kowantaranews.com – Sumatra Barat bagian selatan kini berada di ambang krisis kemanusiaan yang belum pernah terjadi sejak tsunami 2009. Banjir bandang dan tanah longsor yang dipicu hujan ekstrem sejak akhir November telah memutus hampir seluruh akses darat ke Pesisir Selatan, Padang Pariaman, dan sebagian Pasaman Barat. Kondisi ini memaksa ribuan warga nekat menjarah gudang Bulog, minimarket, dan bahkan rumah-rumah kosong demi bertahan hidup.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 3 Desember malam mencatat 129 orang meninggal dunia dan 118 lainnya masih hilang di Sumatra Barat saja. Lebih dari 77.918 jiwa terpaksa mengungsi dalam kondisi minim pangan dan air bersih. Namun angka resmi itu diyakini jauh lebih kecil dari kenyataan di lapangan karena banyak desa masih terisolasi total.
Yang paling mengkhawatirkan adalah stok pangan yang tersisa. Kepala Dinas Ketahanan Pangan Sumbar, Erinaldi, mengakui bahwa cadangan beras di gudang Bulog Kabupaten Pesisir Selatan dan Padang Pariaman hanya cukup untuk 4–6 hari ke depan jika dihitung dengan konsumsi normal. “Kalau distribusi tidak segera dibuka, minggu depan kita benar-benar nol,” katanya dengan nada berat, Rabu malam.
Rantak Dilah – sebuah kecamatan di Pesisir Selatan – menjadi salah satu titik terparah. Jalan nasional Padang–Painan putus di tiga lokasi besar, ditambah puluhan titik longsor kecil. Helikopter yang sempat turun hanya mampu mengirim 2–3 ton beras per hari, jauh di bawah kebutuhan 12 ton untuk 42.000 jiwa yang terdampak di kecamatan itu saja.
Kekosongan pangan ini memicu gelombang penjarahan yang semakin terorganisir. Pada Selasa malam (2/12), ratusan warga menjebol gudang Bulog di Nagari Koto Ranah, Kecamatan Batang Kapas. Rabu dini hari, tiga minimarket di Painan dan satu Indomaret di Air Haji dirusak dan dikosongkan dalam hitungan menit. Polisi yang berjaga hanya mampu mengevakuasi karyawan karena jumlah massa terlalu besar.
“Kami bukan maling, kami lapar. Anak-anak sudah tiga hari cuma makan pisang rebus,” ujar Rika (34), salah seorang ibu yang ikut dalam penjarahan di Painan. Ia mengaku sudah dua minggu tidak mendapat bantuan pangan sama sekali.
Di Padang Pariaman, situasi tak kalah genting. Jalur Padang–Bukittinggi via Padang Pariaman terputus total di Sitinjau Lauik dan Malalak. Truk-truk bantuan dari Padang hanya mampu mencapai Sicincin, sementara 11 kecamatan di sebelah timur kabupaten itu terputus sama sekali. Warga mulai menyembelih ternak tetangga yang mati tertimbun longsor karena tidak ada lagi beras.
Gubernur Sumatra Barat Mahyeldi Ansharullah telah mengirim surat resmi ke Presiden meminta penetapan status bencana nasional pada 2 Desember lalu. “Kami tidak lagi bicara soal banjir biasa. Ini sudah krisis pangan dan kelaparan massal,” tegasnya dalam konferensi pers darurat, Rabu malam.
Sementara itu, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono menggelar rapat koordinasi virtual dan memastikan 120 alat berat tambahan dari Jawa akan diberangkatkan melalui jalur laut ke Teluk Bayur pada 4 Desember. Namun proses itu tetap bergantung cuaca dan ombak yang hingga kini masih tinggi.
Sumatra Tenggelam: Tambang dan Sawit Ubah Siklon Jadi Pembantaian Massal
Di balik semua kepanikan ini, para pakar lingkungan kembali menegaskan bahwa bencana kali ini adalah buah dari deforestasi puluhan tahun. Lebih dari 500.000 hektar hutan primer di Sumatra Barat hilang sejak 2001, terutama untuk perkebunan sawit dan tambang. Ketika hujan ekstrem datang, air langsung meluncur tanpa hambatan dari hulu menuju hilir.
Malam ini, ribuan warga Pesisir Selatan hanya bisa berharap helikopter kembali datang besok pagi membawa beras. Jika tidak, banyak yang khawatir penjarahan akan berubah menjadi konflik berdarah demi segenggam makanan.
Sumatra Barat bagian selatan sedang menulis babak baru dari tragedi kemanusiaan. Dan waktu untuk menyelamatkan mereka kini benar-benar tinggal hitungan hari. By Mukroni
Sumatra Tenggelam: Tambang dan Sawit Ubah Siklon Jadi Pembantaian Massal
Korban Tewas Banjir Bandang Sumatera Capai 188 Orang, 167 Masih Hilang

