Jakarta, Kowantaranews.com -Indonesia, dengan segala potensi dan kekayaannya, telah lama dianggap sebagai salah satu negara berkembang dengan prospek pertumbuhan yang stabil. Namun, memasuki triwulan III tahun 2024, bayang-bayang perlambatan ekonomi mulai terlihat semakin nyata. Di tengah berbagai dinamika global dan domestik, para ekonom dan pengamat memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi pada triwulan ini akan sulit mencapai angka 5 persen—sebuah pencapaian yang sebelumnya dianggap realistis.
Terdapat dua pilar utama yang menjadi penopang utama perekonomian Indonesia, yaitu industri manufaktur dan konsumsi masyarakat. Keduanya saat ini berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan, menunjukkan tanda-tanda pelambatan yang semakin kuat. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa target pertumbuhan ekonomi yang telah ditetapkan pemerintah akan meleset, membawa tantangan yang signifikan bagi stabilitas ekonomi nasional.
Industri Manufaktur: Dari Ekspansi ke Kontraksi
Industri manufaktur telah lama menjadi motor utama penggerak perekonomian Indonesia. Dalam beberapa dekade terakhir, sektor ini memainkan peran kunci dalam menciptakan lapangan kerja, meningkatkan ekspor, dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, data terbaru menunjukkan bahwa sektor ini mulai kehilangan momentum.
Menurut laporan Indeks Manajer Pembelian (PMI) Manufaktur yang dirilis oleh S&P Global pada Juli 2024, industri manufaktur Indonesia telah memasuki zona kontraksi, dengan indeks berada di level 49,3. Angka ini merupakan yang terendah dalam tiga tahun terakhir dan menandakan adanya pelemahan signifikan dalam aktivitas industri. Sebelumnya, PMI Manufaktur Indonesia berada di zona ekspansif selama 34 bulan berturut-turut, yang menunjukkan pertumbuhan yang konsisten. Namun, sekarang situasinya berbeda.
Penurunan PMI ini bukan hanya sekadar angka statistik. Ini adalah sinyal serius yang mengindikasikan bahwa aktivitas produksi di sektor manufaktur mulai melambat. Industri pengolahan, yang menyumbang sekitar 18,52 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional, kini menghadapi tantangan yang signifikan. Hal ini berdampak langsung pada lapangan kerja, pendapatan, dan stabilitas ekonomi secara keseluruhan.
Beberapa faktor yang menyebabkan kontraksi ini antara lain adalah tingginya biaya produksi, kebijakan perdagangan yang kurang mendukung, serta penurunan permintaan global, terutama dari negara-negara mitra dagang utama seperti China. Pertumbuhan ekonomi China yang melambat, bahkan di bawah 5 persen pada triwulan II-2024, turut memberikan dampak negatif terhadap ekspor Indonesia, khususnya produk manufaktur.
Baca juga : Lampu Kuning dari Kelas Menengah RI: Menurunnya Daya Beli dan Dampak Sosial Ekonomi
Baca juga : Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Daya Beli yang Melemah
Baca juga : Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Utang
Konsumsi Rumah Tangga: Pilar yang Mulai Goyah
Selain industri manufaktur, konsumsi rumah tangga juga menjadi kontributor utama terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dalam struktur PDB, konsumsi rumah tangga menyumbang sekitar 54,53 persen, menjadikannya pilar yang sangat vital bagi perekonomian nasional. Namun, dalam beberapa triwulan terakhir, laju pertumbuhan konsumsi ini mulai menunjukkan tanda-tanda pelambatan.
Pada triwulan II-2024, pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya mampu mencapai 4,93 persen, sebuah penurunan yang signifikan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Ini menandakan adanya penurunan daya beli masyarakat, yang kemungkinan besar akan terus berlanjut pada triwulan III.
Sejarah mencatat bahwa triwulan III biasanya menjadi periode yang lebih menantang bagi konsumsi rumah tangga. Tidak adanya faktor musiman seperti Ramadhan, Idul Fitri, dan musim libur sekolah membuat pertumbuhan konsumsi pada periode ini cenderung lebih rendah dibandingkan triwulan II. Di tengah kondisi daya beli masyarakat yang sudah melemah, situasi ini semakin menambah beban ekonomi nasional.
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap penurunan daya beli ini antara lain adalah inflasi yang tinggi, kurangnya kebijakan fiskal yang mendukung kelas menengah, serta ketidakpastian ekonomi global. Deflasi yang terjadi selama tiga bulan berturut-turut dari Mei hingga Juli 2024 juga mengindikasikan bahwa permintaan domestik sedang lesu. Dengan konsumsi rumah tangga yang belum pulih ke tingkat sebelum pandemi, prospek pertumbuhan ekonomi yang solid semakin sulit untuk dicapai.
Pengaruh Global dan Kebijakan Domestik
Di tengah dinamika ini, kondisi global juga memainkan peran penting dalam menentukan arah pertumbuhan ekonomi Indonesia. Salah satu faktor yang memberikan sedikit harapan adalah kebijakan moneter yang lebih longgar dari Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve. The Fed diperkirakan akan memangkas suku bunga acuan Fed Fund Rate (FFR) pada September 2024, lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya. Penurunan suku bunga ini dapat memberikan stimulus positif bagi sektor manufaktur Indonesia dengan menguatnya nilai tukar rupiah dan menurunnya suku bunga kredit.
Namun, ancaman dari pelemahan ekonomi China tetap menjadi faktor yang perlu diantisipasi. Sebagai mitra dagang utama Indonesia, perlambatan ekonomi di China akan berdampak langsung pada permintaan ekspor Indonesia, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja industri pengolahan. Meski ada beberapa indikator positif dari kebijakan moneter global, ketidakpastian tetap menjadi tantangan besar bagi perekonomian Indonesia.
Di tingkat domestik, pemerintah berusaha menjaga optimisme dengan mendorong sektor-sektor lain yang bisa menjadi sumber pertumbuhan ekonomi. Belanja pemerintah, misalnya, masih bisa didorong lebih tinggi lagi. Pada triwulan II-2024, pertumbuhan belanja pemerintah hanya mencapai 1,42 persen, dengan kontribusi terhadap PDB sebesar 7,31 persen. Pemerintah berharap bisa meningkatkan angka ini pada triwulan III dan IV untuk mendukung pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Namun, tantangan terbesar yang dihadapi pemerintah adalah bagaimana menciptakan kebijakan yang dapat memulihkan daya beli masyarakat. Tanpa adanya permintaan yang kuat, segala upaya untuk mendorong sisi suplai akan menjadi sia-sia. Seperti yang dikatakan oleh ekonom Bank Permata, Josua Pardede, “Ujung-ujungnya uang datang dari pembeli. Kalau permintaan tidak pulih, meski pemerintah memberikan kelonggaran dan insentif dari sisi suplai untuk produsen, tetap tidak akan berpengaruh. Sebab, siapa yang membeli?”
Strategi dan Solusi: Menghadapi Tantangan Ekonomi di Triwulan III
Dalam menghadapi tantangan ini, ada beberapa strategi yang diusulkan oleh para ekonom dan pengamat. Salah satunya adalah penerapan stimulus Keynesian melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Stimulus ini diharapkan dapat mendorong konsumsi rumah tangga dan sekaligus mendukung sektor bisnis melalui berbagai program insentif.
Strategi kedua adalah menciptakan ekosistem yang mendukung stabilitas dan pertumbuhan konsumsi rumah tangga, terutama bagi kelas menengah. Kebijakan fiskal dan moneter yang tepat perlu diterapkan secara sinergis untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, deregulasi menjadi langkah penting lainnya yang perlu diambil oleh pemerintah. Memangkas berbagai peraturan yang kontraproduktif terhadap iklim berusaha dan investasi dapat memberikan dorongan tambahan bagi pertumbuhan ekonomi. Jika dilakukan dengan tepat sasaran dan tepat waktu, deregulasi ini diperkirakan bisa menambah pertumbuhan ekonomi minimal sebesar 0,5 persen.
Namun, semua upaya ini hanya akan berhasil jika didukung oleh pemulihan daya beli masyarakat. Pemerintah perlu memperhatikan sektor-sektor yang paling terdampak oleh pelemahan ekonomi dan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk meredam dampaknya.
Kesimpulan: Menghadapi Masa Depan yang Tidak Pasti
Triwulan III tahun 2024 akan menjadi periode yang penuh tantangan bagi perekonomian Indonesia. Dengan industri manufaktur yang mulai terkontraksi dan konsumsi rumah tangga yang belum pulih sepenuhnya, prospek pertumbuhan ekonomi di bawah 5 persen menjadi semakin nyata. Di tengah ketidakpastian global dan domestik, pemerintah dan pelaku ekonomi perlu bekerja sama untuk menciptakan kebijakan yang dapat menjaga stabilitas ekonomi nasional.
Kondisi ini juga menuntut masyarakat untuk lebih bijak dalam mengelola sumber daya dan beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Dengan sinergi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, Indonesia diharapkan dapat melewati tantangan ini dan tetap berada di jalur pertumbuhan yang berkelanjutan. *Mukroni
Foto Kowantaranews
- Berita Terkait :
Lampu Kuning dari Kelas Menengah RI: Menurunnya Daya Beli dan Dampak Sosial Ekonomi
Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Daya Beli yang Melemah
Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Utang
Lonjakan Harga Kopi Robusta: Peluang dan Tantangan bagi Perkopian Indonesia
Mengintip Tingginya Biaya Hidup di Timor Leste: Air Mineral Rp 10 Ribu, Fenomena dan Faktor Penyebab
Sejarah Warteg: Evolusi dari Logistik Perang hingga Bisnis Kuliner Populer
Cerita Munculnya Warteg, Berawal untuk Logistik Prajurit Sultan Agung
Wajib Sertifikasi Halal UMKM Diundur ke 2026: Kebijakan dan Alasan Pemerintah
Teriak Pedagang Warteg Saat Harga Beras Dekati Rp 700 Ribu per Karung
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat
Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit
Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik
Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi
Nongkrong Sambil Mencicip Surabi dengan Beragam Topping di Bandung