Jakarta, Kowantaranews.com – Siklon Tropis Senyar sudah melemah sejak empat hari lalu. Namun, air keruh masih menggerus jalan, mayat-mayat terus ditemukan di bawah timbunan kayu gelondongan, dan 631 jenazah resmi tercatat di kantong BNPB malam ini. Angka hilang melonjak menjadi 504 jiwa. Total korban tewas dan hilang telah menembus 1.135 orang—terbesar sejak tsunami Aceh 2004. Lebih dari 570 ribu warga mengungsi, 3,3 juta lainnya terdampak, dan 277 jembatan putus total mengisolasi puluhan kecamatan di Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh.
Di Tapanuli Tengah, sebuah desa bernama Sitahuis lenyap ditelan longsor pada 28 November malam. Hanya tersisa satu masjid yang kini menjadi tempat pengungsian darurat. “Dua jam hujan deras, tiba-tiba gunung bergerak,” cerita Maruddin, warga yang selamat. Di Sitahuis, radius 15 kilometer dari tambang emas PT Agincourt Resources (Martabe)—tambang yang diklaim pemerintah “cukup jauh” dari pusat bencana.
Walhi dan para ahli menggelengkan kepala. “Jauh secara koordinat, tapi dekat secara hidrologi,” kata Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye Walhi Nasional. “Deforestasi di hulu Batang Toru sudah mencapai 250 ribu hektar dalam lima tahun terakhir. Tambang, sawit, dan Hutan Tanaman Industri saling tumpang tindih. Akar pohon yang dulu menahan tanah sudah hilang. Siklon Senyar hanya menekan tombol detonator.”
Data satelit yang dirilis Greenpeace Asia Tenggara pagi ini menunjukkan 94 ribu hektar konsesi sawit dan HTI aktif di dalam Ekosistem Batang Toru—kawasan yang juga rumah orangutan Tapanuli, spesies paling terancam di dunia. Lebih dari 400 Izin Usaha Pertambangan (IUP) bertebaran di Sumatra Utara saja, belum lagi ratusan HGU sawit yang terus bertambah demi target biodiesel B50.
Di Sumatra Barat, cerita serupa terulang. Kayu-kayu gelondongan berdiameter dua meter terdampar di Pantai Padang—bukti nyata penebangan hutan di Bukit Barisan. Pakar hidrologi UGM, Prof. Pramono, menyebutnya “bom waktu ekologis”. “Curah hujan 300-400 mm dalam sehari memang ekstrem, tapi di hutan primer yang utuh, tanah masih bisa menyerap 70-80 persen. Di lahan gundul, daya serap tinggal 10-15 persen. Sisanya langsung jadi banjir bandang,” jelasnya.
Pemerintah bersikukuh menyalahkan cuaca. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Ridwan Djamaluddin menyatakan, “Lokasi tambang Martabe berjarak puluhan kilometer dari titik longsor terparah.” Pernyataan ini langsung dibantah Walhi dengan peta tumpang susun konsesi: galian tambang, terowongan, dan timbunan limbah (tailing) berada tepat di hulu sungai-sungai yang meluap 28 November lalu.
Malam ini, di pengungsian Tarutung, seorang ibu bernama Roslinda menangis mencari anaknya yang hilang sejak longsor menghantam rumah mereka di Huta Tonga, Tapanuli Utara. “Rumah kami tepat di bawah bukit yang dulu hutan. Sekarang habis ditanami sawit. Katanya investasi, katanya lapangan kerja. Ini hasilnya,” katanya lirih.
Korban Tewas Banjir Bandang Sumatera Capai 188 Orang, 167 Masih Hilang
Presiden Prabowo Subianto sudah mengunjungi lokasi kemarin, menjanjikan bantuan dan rehabilitasi. Namun, hingga berita ini ditulis, belum ada satu pun pernyataan resmi dari Istana soal moratorium izin tambang dan sawit di wilayah rawan bencana—tuntutan utama yang disuarakan Walhi, Greenpeace, dan ribuan warga yang kini kehilangan segalanya.
Siklon Senyar telah pergi. Tapi luka yang ia tinggalkan bukan hanya karena angin dan hujan. Ia adalah cermin dari puluhan tahun kebijakan yang mengorbankan hutan demi konsesi, mengorbankan daya dukung bumi demi pertumbuhan ekonomi semu. Sumatra tidak tenggelam karena air laut naik. Sumatra tenggelam karena kita membiarkan gunung-gunungnya botak, sungai-sungainya kehilangan akar, dan tanahnya lupa cara menahan air.
Jika hari ini kita masih menyalahkan cuaca semata, maka besok—ketika siklon berikutnya datang—kita hanya akan menambah angka nol di belakang jumlah korban. By Mukroni
Korban Tewas Banjir Bandang Sumatera Capai 188 Orang, 167 Masih Hilang

