Jakarta, Kowantaranews.com – Kekhawatiran terhadap deforestasi kini tidak hanya menjadi isu lingkungan, tetapi juga ancaman finansial global yang signifikan. Sekitar 30 investor global, yang mengelola aset senilai US$3 triliun, termasuk raksasa keuangan seperti Pictet Group dari Swiss dan DNB Asset Management dari Norwegia, telah mengeluarkan seruan mendesak kepada pemerintah dunia untuk menghentikan deforestasi secara total pada tahun 2030. Seruan ini tertuang dalam Pernyataan Investor Belém tentang Hutan Hujan, yang menyoroti urgensi pelestarian hutan untuk menjaga stabilitas ekonomi dan lingkungan global.
Para investor ini menegaskan bahwa deforestasi membawa risiko finansial besar terhadap portofolio investasi mereka. Komoditas seperti daging sapi, kedelai, minyak sawit, kayu, dan mineral, yang sering berasal dari lahan terdeforestasi, dianggap sebagai titik kerentanan utama. Ketergantungan pada komoditas ini tidak hanya mempercepat kerusakan lingkungan, tetapi juga meningkatkan risiko volatilitas pasar, gangguan rantai pasok, dan penurunan nilai aset jangka panjang. Dengan semakin ketatnya regulasi lingkungan dan kesadaran konsumen terhadap keberlanjutan, perusahaan yang bergantung pada praktik deforestasi berpotensi menghadapi sanksi, boikot, dan penurunan reputasi, yang pada akhirnya mengancam profitabilitas investor.
Namun, laporan terbaru menunjukkan dunia masih jauh dari target pelestarian hutan. Menurut Penilaian Deklarasi Hutan 2025, dunia kehilangan 8,1 juta hektar hutan pada tahun 2024—setara dengan luas negara Austria. Angka ini menunjukkan bahwa tingkat kerusakan hutan saat ini 63% lebih buruk dari target yang ditetapkan untuk 2030. Penyebab utama deforestasi adalah ekspansi pertanian, terutama untuk komoditas seperti kedelai dan daging sapi, serta kebakaran hutan yang diperparah oleh perubahan iklim. Situasi ini memperburuk krisis biodiversitas dan meningkatkan emisi karbon, yang selanjutnya mengancam stabilitas iklim global.
Tantangan untuk menghentikan deforestasi tidaklah kecil. Salah satu hambatan utama adalah lambatnya implementasi kebijakan antideforestasi. Uni Eropa, misalnya, telah menunda peluncuran undang-undang antideforestasi yang telah lama ditunggu, setelah menghadapi tentangan dari industri dan negara-negara produsen komoditas. Selain itu, dukungan global terhadap isu ini mulai goyah, sebagian karena sikap skeptis terhadap perubahan iklim dari figur politik seperti mantan Presiden AS Donald Trump, yang diyakini berkontribusi pada fluktuasi pasar dan menurunnya komitmen global. Ketimpangan pendanaan juga menjadi masalah serius: subsidi untuk kegiatan yang mendorong deforestasi, seperti pertanian intensif dan pertambangan, mencapai lebih dari US$400 miliar per tahun, sementara dana untuk pelestarian hutan hanya sebesar US$5,9 miliar. Untuk mencapai target 2030, dunia membutuhkan investasi tambahan antara US$117 miliar hingga US$299 miliar.
MPR Dukung Transisi Energi Berkelanjutan: Awasi Dekarbonisasi 2060 dan Dorong Ekonomi Hijau
Di tengah tantangan ini, ada secercah harapan. Brasil, sebagai salah satu negara dengan hutan hujan terbesar di dunia, mengusulkan inisiatif ambisius bernama Fasilitas Hutan Tropis Selamanya (TFFF). Program ini bertujuan mengumpulkan dana sebesar US$125 miliar untuk mendanai pelestarian hutan secara jangka panjang. Inisiatif ini mendapat apresiasi karena skala, kesederhanaan, dan kepemimpinannya yang berasal dari negara berkembang. Brasil sendiri telah berkomitmen menyumbang US$1 miliar sebagai langkah awal, menunjukkan keseriusan mereka dalam memimpin upaya global ini. Optimisme kini tertuju pada Konferensi Perubahan Iklim COP30, yang diharapkan dapat memperkuat momentum untuk pelestarian hutan melalui kolaborasi internasional dan pendekatan berbasis insentif ekonomi.
Deforestasi kini telah melampaui batas isu lingkungan dan menjadi perhatian strategis bagi pelaku pasar global. Tekanan dari investor, yang semakin menyadari risiko finansial dari kerusakan hutan, menjadi pendorong utama perubahan. Dengan inisiatif seperti TFFF dan meningkatnya kesadaran akan pentingnya hutan bagi stabilitas ekonomi dan iklim, ada harapan bahwa dunia dapat bergerak menuju solusi yang lebih berkelanjutan. Namun, keberhasilan upaya ini akan sangat bergantung pada kemampuan pemerintah, industri, dan masyarakat sipil untuk bekerja sama mengatasi hambatan kebijakan, pendanaan, dan kepentingan ekonomi jangka pendek. Dengan waktu yang semakin sempit menuju 2030, tindakan nyata harus segera diambil untuk menyelamatkan hutan dan mencegah dampak buruk yang lebih luas bagi planet dan perekonomian global. By Mukroni
MPR Dukung Transisi Energi Berkelanjutan: Awasi Dekarbonisasi 2060 dan Dorong Ekonomi Hijau
Gen Z Mengguncang Dunia: Dari Aktivisme Digital ke Revolusi Jalanan
Perempuan Muslimah Indonesia: Membangun Negeri dengan Pendidikan dan Nilai Kebangsaan
Ngepop Tanpa Mesiu: Ketika Musik dan Kaos Pink Mengguncang Kekuasaan

