Jakarta, Kowantaranews.com – Di tengah gemerlap gedung pencakar langit dan hiruk-pikuk lalu lintas Ibu Kota, sebuah bom waktu struktural terus berdetak pelan namun pasti: ketimpangan antarwilayah. Bukan sekadar jurang ekonomi antara kaya dan miskin, melainkan model pembangunan konsentris yang menjadikan Jabodetabek sebagai satu-satunya episentrum nasional, sementara ribuan desa di luar Jawa terisolasi dalam kemiskinan akses dan peluang. Para ahli memperingatkan: tanpa pergeseran paradigma mendasar, Indonesia akan terus membayar mahal dalam bentuk krisis sosial, ekonomi, dan kemanusiaan yang berulang.
Satu Pusat, Dua Kutub Penderitaan
Model pembangunan Indonesia saat ini mirip lingkaran konsentris: Jabodetabek sebagai inti, dan seluruh wilayah lain sebagai pinggiran yang semakin menjauh. Di satu sisi, wilayah terluar seperti Hulu Mahakam (Kalimantan Timur), Sungai Kayan (Kalimantan Utara), atau pedalaman Papua, hidup dalam isolasi ekstrem. “Untuk mencapai ibu kota kecamatan, warga harus berjalan kaki tiga hari atau naik longboat melawan arus,” cerita seorang kepala desa di Mahakam Ulu. Musim kemarau memperburuk situasi: jalan darat tertutup debu, sungai surut, dan harga beras melonjak hingga dua kali lipat—meski pemerintah telah menerapkan kebijakan “satu harga” sejak 2016.
Di sisi lain, Jabodetabek justru menderita karena kelebihan beban. Dengan lebih dari 35 juta jiwa, kawasan ini menghadapi krisis kesesakan: banjir rutin, polusi udara yang masuk kategori berbahaya, dan tumpukan sampah yang tak terkelola. “Kerugian ekonomi akibat kemacetan saja diperkirakan mencapai Rp 100 triliun per tahun,” ungkap Dr. Andi Wijaya, ekonom dari Universitas Indonesia. Belum lagi biaya kemanusiaan: setiap Lebaran, ritual mudik merenggut ratusan nyawa—konsekuensi langsung dari pola migrasi nasional menuju Jabodetabek sejak era 1980-an.
Siklus Brain Drain: Jawa Menang, Luar Jawa Kalah
Salah satu rantai terputus terparah adalah pembentukan sumber daya manusia (SDM). Sepuluh universitas terbaik Indonesia—semuanya di Jawa—menyedot talenta terbaik dari daerah. “Lulusan SMA berprestasi dari Sorong, Tarakan, atau Merauke, hampir pasti kuliah di Bandung atau Jakarta. Setelah lulus, mereka jarang kembali,” jelas Prof. Dr. Maria Susanti, pakar pembangunan wilayah dari Universitas Gadjah Mada.
Akibatnya? Universitas di luar Jawa kekurangan dosen berkualitas, birokrasi lokal kehilangan inovator, dan sektor usaha tak memiliki pelaku yang mumpuni. “Ini bukan migrasi biasa. Ini pelarian otak sistemik yang menguntungkan Jawa secara akumulatif,” tegasnya. Siklus ini menciptakan paradoks: daerah kaya sumber daya alam justru miskin SDM, sementara daerah miskin sumber daya alam kelebihan tenaga kerja terampil.
Deprivasi Relatif: Ancaman di Balik Kemegahan
Mengutip teori Ted Robert Gurr, masalah di Jabodetabek bukan lagi kemiskinan absolut, melainkan deprivasi relatif. “Ketika buruh bangunan melihat apartemen mewah yang mereka bangun, tapi tak pernah bisa menempati, tercipta kontras sosial yang berbahaya,” papar Dr. Budi Santoso, sosiolog dari LIPI. Kontras ini pernah memicu kerusuhan massal menjelang krisis 1998—dan kini kembali mengintai di balik ketenangan permukaan.
Solusi Parsial: Mengobati Gejala, Memperburuk Penyakit
Pemerintah telah mencoba berbagai solusi: transmigrasi, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), MRT Jakarta, hingga program satu harga. Namun, semua ini bersifat sektoral dan jangka pendek. “MRT mungkin mengurangi kemacetan 5%, tapi tak mengurangi tekanan demografis struktural,” kritik Andi Wijaya. Di daerah terpencil, subsidi BBM justru menciptakan ketergantungan baru tanpa membangun infrastruktur dasar.
“Anggaran triliunan rupiah terbuang sia-sia karena kita terus menambal lubang, bukan mengganti ban,” tambahnya. Contoh nyata: proyek jalan trans-Papua yang mangkrak, atau KEK Morotai yang sepi investor karena tak ada SDM lokal yang mumpuni.
Marsinah Resmi Jadi Pahlawan Nasional, Simbol Perjuangan Buruh Perempuan
Paradigma Baru: Dari Konsentris ke Terdistribusi
Amerika Serikat menawarkan cermin: kota-kota seperti Chicago, Houston, dan Atlanta memiliki universitas top, industri maju, dan kebanggaan lokal. “Setiap warga Texas bangga menjadi orang Texas, bukan hanya karena Dallas, tapi karena ekosistem pembangunan yang merata,” ujar Prof. Maria.
Indonesia butuh multi-episentrum:
Relokasi kementerian strategis (misalnya Kemenkes ke Makassar, Kemenperin ke Surabaya).
Beasiswa wajib pengabdian 5–10 tahun di daerah asal.
Insentif pajak bagi perusahaan yang membuka pusat R&D di luar Jawa.
Indeks Ketimpangan Holistik yang mengukur akses transportasi, retensi SDM, dan biaya kesesakan secara terpadu.
Pilihan di Hadapan Bangsa
Ketimpangan antarwilayah bukan nasib. Ia adalah pilihan paradigma. Selama elite di Jakarta masih berpikir bahwa “pembangunan = membangun Jakarta lebih megah”, maka daerah lain akan terus tertinggal, dan Jakarta sendiri akan tenggelam dalam banjir, polusi, dan kemarahan sosial.
“Bom waktu ini sudah berdetak sejak Orde Baru. Jika tidak dinetralkan sekarang, ledakannya akan dirasakan oleh anak-cucu kita—baik di gang sempit Jakarta maupun di desa terpencil Papua,” tutup Prof. Maria dengan nada prihatin.
Pergeseran paradigma bukan lagi opsi. Ia adalah keharusan survival bangsa. By Mukroni
Marsinah Resmi Jadi Pahlawan Nasional, Simbol Perjuangan Buruh Perempuan

