Jakarta, Kowantaranews.com — Gema lagu “Malam Kudus” pada perayaan Natal 2025 ini berpadu dengan duka mendalam yang berembus dari Pulau Andalas. Di tengah kerlip lampu gereja yang bersolek menyambut umat, bayang-bayang bencana hidrometeorologi yang menelan 1.129 korban jiwa di Sumatera menjadi peringatan keras bagi seluruh elemen bangsa. Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) sepakat mengangkat tema “Allah Hadir untuk Menyelamatkan Keluarga”, sebuah seruan teologis yang tahun ini meluas maknanya: menyelamatkan keluarga berarti juga menyelamatkan bumi sebagai satu-satunya rumah bersama.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan bahwa meski status di 12 kabupaten/kota terdampak mulai beralih ke masa transisi darurat, ratusan ribu warga masih harus menata hidup dari balik tenda pengungsian. Realitas kelam ini memantik kritik tajam dari Sekretaris Umum PGI, Pdt. Darwin Darmawan. Dalam pesan Natalnya, ia menyebut bencana ekologis tidak bisa dilepaskan dari “sifat tamak” manusia dan dominasi industri ekstraktif yang kerap abai terhadap keberlanjutan lingkungan.
Darwin menegaskan bahwa gereja menuntut penerapan standar responsible mining dan penghormatan terhadap hak masyarakat adat (Free, Prior and Informed Consent) agar alam tidak terus dieksploitasi demi keuntungan sesaat. “Manusia bukan pusat semesta yang boleh bertindak semena-mena, melainkan penatalayan yang wajib merawat keseimbangan ekologis,” tegasnya, menyerukan perlawanan terhadap teologi antroposentris yang merusak.
Seruan pertobatan ekologis ini disambut dengan aksi nyata oleh Gereja Katolik. Di Katedral Jakarta, Pastor Kepala Romo Hani Rudi Hartoko memastikan perayaan Natal tahun ini diwarnai solidaritas konkret. Kolekte dan donasi umat diarahkan langsung untuk membantu pemulihan korban banjir di Aceh dan Sumatera Utara. Mengacu pada ensiklik Laudato Si’, Kardinal Ignatius Suharyo mengajak umat menjadikan keluarga sebagai “oase kasih” yang tidak hanya merawat relasi antarmanusia, tetapi juga memulihkan alam yang terluka.
Perempuan Penopang Keluarga: Menjaga Keseimbangan Antara Hati dan Rezeki
Spirit pelestarian lingkungan ini mewujud secara visual di Surabaya. Halaman Gereja Katolik Kelahiran Santa Perawan Maria dihiasi pohon Natal setinggi 15 meter yang disusun dari 2.000 botol dan galon plastik bekas hasil gotong royong umat. Instalasi ini menjadi kritik simbolis terhadap budaya sekali pakai sekaligus ajakan mendaur ulang sampah. Sementara itu, Universitas Kristen Petra Surabaya menghadirkan pohon Natal “Terang dari Timur” bertema Papua. Uniknya, ornamen batik pada pohon ini dirancang menggunakan teknologi Kecerdasan Buatan (AI) Generatif, menyimbolkan perjumpaan antara iman, teknologi, dan keberpihakan budaya pada wilayah timur Indonesia.
Natal 2025 akhirnya menjadi titik balik kesadaran bahwa kesalehan ritual tak lagi cukup. Di hadapan krisis iklim yang nyata dan ancaman disrupsi sosial, gereja mengajak umat untuk memeluk “spiritualitas bumi”—menjadikan setiap keluarga benteng pertahanan ekologis yang merawat kehidupan, dari ruang tamu yang hangat hingga hutan belantara yang lestari. By Mukroni
Perempuan Penopang Keluarga: Menjaga Keseimbangan Antara Hati dan Rezeki
Hilirisasi Rempah 2045: Ambisi Besar Indonesia atau Sekadar Tumpukan Dokumen?
Indonesia Luncurkan Peta Jalan Hilirisasi Rempah 2025-2045: Kembali Jadi Raja Rempah Dunia
Berulang, Kita Berkhianat: Gajah Membersihkan Puing Rumahnya Sendiri
Glühwein dan Labirin Kerajinan: Pasar Natal Berlin Tetap Hangat di Suhu 4°C
Sumatra Barat Daya Krisis: Penjarahan Mulai Terjadi, Stok Pangan Tinggal Hitungan Hari
Sumatra Tenggelam: Tambang dan Sawit Ubah Siklon Jadi Pembantaian Massal
Korban Tewas Banjir Bandang Sumatera Capai 188 Orang, 167 Masih Hilang

