Jakarta, Kowantaranews.com -Tragedi banjir bandang dan longsor yang meluluhlantakkan Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November 2025 bukan sekadar bencana alam, melainkan lonceng kematian bagi manajemen krisis di Indonesia. Di tengah reruntuhan yang menimbun lebih dari 1.135 nyawa, perdebatan birokratis mengenai status bencana mencuat tajam, seolah mengabaikan hilangnya periode krusial penyelamatan yang dikenal sebagai “Golden Time”.
Dalam standar manajemen bencana internasional, 72 jam pertama pascakejadian adalah detik-detik emas penentu hidup dan mati korban yang tertimbun reruntuhan atau hanyut. Namun, di Sumatera, waktu berharga ini terbuang percuma. Laporan lapangan menyingkap fakta pahit: lambatnya mobilisasi alat berat dan personel SAR ke titik-titik terisolasi memaksa warga menggunakan tali gantungan seadanya dan perahu kecil untuk mendistribusikan logistik ke desa-desa yang terputus total akses daratnya. Lebih tragis lagi, banyak korban ditemukan tewas saat tertidur lelap, sebuah indikator mengerikan bahwa sistem peringatan dini gagal menjangkau mereka sebelum badai menerjang di tengah malam.
Di tengah kekacauan operasional ini, pemerintah pusat justru bersikukuh menolak penetapan status “Bencana Nasional”. Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, menegaskan bahwa status administratif bukanlah prioritas utama, melainkan penanganan riil di lapangan. Pemerintah berdalih bahwa mesin birokrasi pemerintahan daerah belum lumpuh total dan kapasitas sumber daya nasional masih memadai tanpa perlu membuka pintu bantuan internasional secara resmi. Kepala BNPB menambahkan argumen teknis bahwa meskipun jumlah korban jiwa sangat masif, skalanya dianggap belum memenuhi ambang batas bencana nasional jika dibandingkan dengan Tsunami Aceh 2004 atau pandemi COVID-19.
Sikap defensif pemerintah ini memicu kritik keras dari berbagai pihak. Pengamat kebijakan dan anggota legislatif menilai keengganan menetapkan status nasional sarat dengan muatan politis untuk menjaga citra stabilitas negara. Padahal, tanpa status tersebut, komando penanganan menjadi terfragmentasi di antara tiga pemerintah provinsi yang berbeda. Siklon Senyar adalah fenomena lintas batas yang membutuhkan komando tunggal yang kuat dan otoritatif. Status Bencana Nasional sejatinya diperlukan bukan sekadar untuk legitimasi anggaran, melainkan sebagai mekanisme “bypass” untuk memotong rantai birokrasi daerah yang kaku, sehingga mobilisasi sumber daya nasional bisa dilakukan seketika tanpa hambatan administrasi.
Sambut Natal 2025, Gereja Serukan Pertobatan Ekologis dan Solidaritas untuk Korban Banjir
Dampak dari kegamangan ini terlihat jelas pada kekacauan data. BNPB bahkan harus melakukan koreksi data korban yang simpang siur pada hari-hari awal, menunjukkan ketiadaan gambaran situasi (situational awareness) yang akurat saat krisis memuncak. Sementara elite di Jakarta berdebat soal definisi administratif, warga seperti Ratnawati di Tanah Datar harus kehilangan suaminya yang tersapu “galodo”, menjadi saksi bisu betapa negara gagap melindungi rakyatnya dari akumulasi “dosa ekologis” dan anomali iklim yang telah lama terabaikan. Tragedi Sumatera menjadi bukti nyata bahwa ketika negara terlambat merespons dalam periode emas, rakyatlah yang membayar harganya dengan nyawa. By Mukroni
Sambut Natal 2025, Gereja Serukan Pertobatan Ekologis dan Solidaritas untuk Korban Banjir
Perempuan Penopang Keluarga: Menjaga Keseimbangan Antara Hati dan Rezeki
Hilirisasi Rempah 2045: Ambisi Besar Indonesia atau Sekadar Tumpukan Dokumen?
Indonesia Luncurkan Peta Jalan Hilirisasi Rempah 2025-2045: Kembali Jadi Raja Rempah Dunia
Berulang, Kita Berkhianat: Gajah Membersihkan Puing Rumahnya Sendiri
Glühwein dan Labirin Kerajinan: Pasar Natal Berlin Tetap Hangat di Suhu 4°C
Sumatra Barat Daya Krisis: Penjarahan Mulai Terjadi, Stok Pangan Tinggal Hitungan Hari
Sumatra Tenggelam: Tambang dan Sawit Ubah Siklon Jadi Pembantaian Massal
Korban Tewas Banjir Bandang Sumatera Capai 188 Orang, 167 Masih Hilang

