• Sab. Sep 7th, 2024

KowantaraNews

RINGKAS DAN TAJAM

Nasionalisme di Persimpangan: Antara Globalisasi dan Identitas Bangsa

ByAdmin

Agu 17, 2024
Sharing is caring

Jakarta, Kowantaranews.com    -Nasionalisme di Indonesia saat ini menghadapi tantangan yang kompleks. Di satu sisi, ia merupakan warisan sejarah yang telah mengakar kuat dalam identitas bangsa sejak awal abad ke-20. Di sisi lain, globalisasi yang semakin dominan menempatkan nasionalisme pada posisi yang sulit, bahkan dipandang oleh sebagian kalangan sebagai sesuatu yang usang dan tidak relevan dalam dunia yang semakin terhubung secara global.

Sejarah Nasionalisme di Indonesia

Nasionalisme Indonesia tidak muncul begitu saja; ia adalah hasil dari proses sejarah yang panjang dan penuh liku. Sejak awal abad ke-20, ketika pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan politik etis, yang salah satunya adalah memberikan pendidikan kepada kaum bumiputra, bibit-bibit nasionalisme mulai tumbuh. Pendidikan ini membuka wawasan baru bagi anak-anak bangsa tentang pentingnya kesadaran kebangsaan dan perjuangan untuk kemerdekaan.

Tahun 1924 menjadi tonggak penting ketika sejumlah mahasiswa Indonesia di Belanda mendirikan Perhimpunan Indonesia, menggantikan nama Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia-Belanda). Perubahan nama ini bukan sekadar kosmetik; ia mencerminkan kesadaran baru bahwa mereka bukan lagi sekadar bagian dari Hindia-Belanda, melainkan bagian dari bangsa yang sedang memperjuangkan kemerdekaan.

Pada periode yang sama, gerakan nasionalisme Indonesia mulai menunjukkan eksistensinya dengan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI) di Bangkok, yang didirikan oleh Tan Malaka. Gerakan ini, meskipun berada di luar Indonesia, menunjukkan bahwa semangat kebangsaan telah melampaui batas-batas geografis dan menjadi sebuah gerakan global.

Namun, semangat nasionalisme ini tidak selalu berjalan mulus. Pemerintah kolonial Belanda melakukan penindasan yang keras terhadap para tokoh nasionalis. Soekarno, yang terkenal dengan pleidoinya “Indonesia Menggugat,” dipenjara pada tahun 1930. Tokoh-tokoh nasionalis lainnya, seperti Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir, diasingkan ke luar negeri. Tindakan represif ini berhasil meredam gelora nasionalisme untuk sementara waktu, tetapi tidak memadamkannya sepenuhnya.

Pasang Surut Nasionalisme di Era Globalisasi

Ketika Indonesia merdeka pada tahun 1945, nasionalisme menjadi pendorong utama dalam membangun bangsa dan negara. Semangat ini terlihat jelas dalam berbagai kebijakan pemerintah yang berfokus pada pembangunan nasional dan kemandirian ekonomi. Namun, memasuki era globalisasi, nasionalisme mulai menghadapi tantangan baru.

Globalisasi membawa perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk ekonomi, politik, dan budaya. Batas-batas negara semakin kabur, dan interaksi antarbangsa semakin intensif. Dalam konteks ini, nasionalisme seringkali dipandang sebagai sesuatu yang kuno dan tidak sesuai dengan semangat zaman. Bagi mereka yang menganggap diri modern dan kosmopolit, nasionalisme dianggap sebagai penghalang untuk bersaing di pasar global yang semakin kompetitif.

Pada masa Orde Baru, nasionalisme mengalami redefinisi. Pemerintah saat itu, terutama menjelang kejatuhannya pada tahun 1998, mencoba untuk mendefinisikan ulang nasionalisme dalam konteks global. Ketika ekonomi Indonesia sedang tumbuh pesat, muncul pandangan bahwa nasionalisme harus diorientasikan pada persaingan global. Modal dan perusahaan Indonesia didorong untuk “go global” sebagai bagian dari nasionalisme baru. Namun, krisis ekonomi yang melanda Asia pada tahun 1997 menunjukkan betapa rapuhnya konsep nasionalisme baru ini. Ketika nilai tukar rupiah hancur, dan krisis ekonomi meluas, nasionalisme baru ini justru memperlihatkan kelemahannya.

Selama masa reformasi pasca-Orde Baru, arus globalisasi semakin kuat. Pemerintah yang seharusnya lebih waspada terhadap dampak negatif globalisasi justru semakin terbawa arus. Kebijakan yang diambil, seperti pencabutan subsidi dan privatisasi perusahaan negara, lebih banyak diilhami oleh tekanan globalisasi daripada semangat nasionalisme. Akibatnya, banyak rakyat yang merasa terpinggirkan, dan jurang antara kaum elite dan rakyat semakin lebar.

Baca juga : Merdeka di Atas Kertas, Belum Merdeka di Kehidupan Sehari-hari

Baca juga : Pertemuan Tingkat Tinggi di Shanghai: Upaya Stabilisasi Hubungan Ekonomi AS-Tiongkok di Tengah Ketegangan Perdagangan

Baca juga : Tantangan Ekonomi Triwulan III: Prospek Pertumbuhan di Bawah 5 Persen Akibat Perlambatan Industri dan Konsumsi

Nasionalisme di Tengah Ketimpangan Sosial

Salah satu ironi besar dari nasionalisme Indonesia adalah bahwa meskipun negara ini telah merdeka selama lebih dari 70 tahun, sebagian besar rakyatnya masih hidup dalam kemiskinan. Nasionalisme, yang seharusnya menjadi alat untuk memperbaiki nasib rakyat, seringkali justru menjadi slogan kosong yang tidak diiringi dengan kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil.

Di tengah situasi ini, muncul seruan dari berbagai kelompok masyarakat untuk kembali pada semangat nasionalisme yang asli—sebuah nasionalisme yang berpihak pada rakyat, yang memperjuangkan keadilan sosial dan kemandirian ekonomi. Salah satu contohnya adalah Deklarasi Bulaksumur yang dikeluarkan oleh Universitas Gadjah Mada pada tahun 2004. Deklarasi ini menegaskan pentingnya semangat kebangsaan yang berpijak pada Pancasila dan menolak neoliberalisme, neokapitalisme, dan neoimperialisme.

Namun, seruan-seruan seperti ini seringkali tenggelam dalam hiruk-pikuk politik dan ekonomi global. Di tengah maraknya neoliberalisme, di mana pasar bebas dan privatisasi dianggap sebagai jalan terbaik untuk mencapai kemakmuran, semangat nasionalisme seringkali terpinggirkan. Padahal, di banyak daerah, terutama di wilayah-wilayah yang miskin seperti Yogyakarta, semangat kebangsaan dan keadilan sosial masih sangat relevan.

Nasionalisme dan Masa Depan Indonesia

Melihat perkembangan yang ada, nasionalisme Indonesia tampak berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, ia menghadapi tekanan yang kuat dari globalisasi, yang menuntut keterbukaan dan kompetisi. Di sisi lain, ia tetap menjadi elemen penting dalam identitas bangsa dan alat perjuangan untuk mencapai keadilan sosial.

Masa depan nasionalisme di Indonesia sangat bergantung pada bagaimana bangsa ini mengelola hubungan antara globalisasi dan identitas nasional. Jika globalisasi hanya dilihat sebagai alat untuk mencapai kemakmuran ekonomi tanpa memperhatikan aspek keadilan sosial, maka nasionalisme mungkin akan terus meranggas. Namun, jika globalisasi dikelola dengan bijak, dengan tetap menjunjung tinggi semangat kebangsaan dan keadilan sosial, maka nasionalisme masih memiliki peran penting dalam pembangunan bangsa.

Dalam konteks ini, penting untuk mengingat kembali pesan yang disampaikan oleh Raden Iwa Kusumasumantri pada tahun 1924. Dalam pidatonya, beliau menekankan bahwa masa depan bangsa Indonesia terletak pada pemerintahan yang bertanggung jawab kepada rakyat dan perjuangan yang dilakukan dengan kekuatan sendiri, tanpa tergantung pada bantuan asing. Pesan ini, meskipun disampaikan hampir satu abad yang lalu, masih sangat relevan untuk konteks Indonesia saat ini.

Nasionalisme memang bisa meranggas, terutama ketika dihadapkan pada arus globalisasi yang kuat. Namun, selama ketidakadilan dan kemiskinan masih ada, semangat kebangsaan tidak akan pernah benar-benar padam. Nasionalisme harus terus dijaga dan diperbarui, bukan sebagai alat untuk menutup diri dari dunia luar, tetapi sebagai fondasi yang kokoh untuk menghadapi tantangan globalisasi dengan kepala tegak.

Nasionalisme di Indonesia, meskipun sedang meranggas, tetap memiliki potensi untuk bangkit kembali. Ia bukan sekadar warisan masa lalu, tetapi juga alat untuk membangun masa depan yang lebih adil dan sejahtera. Di tengah tantangan globalisasi, nasionalisme harus terus diperjuangkan, bukan sebagai reaksi defensif terhadap perubahan global, tetapi sebagai dasar untuk mengelola perubahan tersebut dengan cara yang berpihak pada rakyat dan kedaulatan bangsa. Dengan demikian, Indonesia dapat menemukan jalannya sendiri di persimpangan antara globalisasi dan identitas nasional, tanpa harus mengorbankan salah satu di antaranya. *Mukroni

Foto Kompas

  • Berita Terkait :

Merdeka di Atas Kertas, Belum Merdeka di Kehidupan Sehari-hari

Pertemuan Tingkat Tinggi di Shanghai: Upaya Stabilisasi Hubungan Ekonomi AS-Tiongkok di Tengah Ketegangan Perdagangan

Tantangan Ekonomi Triwulan III: Prospek Pertumbuhan di Bawah 5 Persen Akibat Perlambatan Industri dan Konsumsi

Lampu Kuning dari Kelas Menengah RI: Menurunnya Daya Beli dan Dampak Sosial Ekonomi

Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Daya Beli yang Melemah

Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Utang

Lonjakan Harga Kopi Robusta: Peluang dan Tantangan bagi Perkopian Indonesia

Mengintip Tingginya Biaya Hidup di Timor Leste: Air Mineral Rp 10 Ribu, Fenomena dan Faktor Penyebab

Diskusi Kelompok Terarah di DPR-RI: Fraksi Partai NasDem Bahas Tantangan dan Peluang Gen Z dalam Pasar Kerja Global

Sejarah Warteg: Evolusi dari Logistik Perang hingga Bisnis Kuliner Populer

Cerita Munculnya Warteg, Berawal untuk Logistik Prajurit Sultan Agung

Wajib Sertifikasi Halal UMKM Diundur ke 2026: Kebijakan dan Alasan Pemerintah

Teriak Pedagang Warteg Saat Harga Beras Dekati Rp 700 Ribu per Karung

Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang

Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online

Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani

Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu

Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi

Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya

Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan

Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.

Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang

KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat

Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?

Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka 

Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu

Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis

Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi

Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik

Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama

Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal

Kowartami  Resmikan  Warteg  Republik  Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat

Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit

Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik

Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi

Nongkrong Sambil Mencicip Surabi dengan Beragam Topping di Bandung

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *