Jakarta, Kowantaranews.com -Pemilihan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selalu menjadi perhatian publik. Tidak hanya karena posisinya yang strategis dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, tetapi juga karena berbagai kepentingan politik yang melingkupinya. Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), dinamika ini semakin intens. Sebagai presiden yang memasuki masa akhir jabatannya, Jokowi menghadapi berbagai tekanan untuk memastikan bahwa pemilihan pimpinan KPK berjalan sesuai harapan. Namun, langkah-langkahnya dalam proses pemilihan ini menuai kritik dari berbagai kalangan, yang menuduh adanya intervensi politik dalam proses seleksi.
Pada tahun 2024, proses seleksi calon pimpinan KPK kembali menjadi sorotan. Presiden Jokowi, yang memiliki kewenangan untuk memilih calon pimpinan KPK sebelum diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk uji kelayakan dan kepatutan, dituding masih memegang kendali dalam proses tersebut. Dugaan adanya campur tangan Istana dalam pemilihan calon pimpinan KPK menambah rumitnya dinamika politik di akhir masa jabatan Jokowi.
Putusan MK dan Syarat Usia Calon Pimpinan KPK
Isu pemilihan pimpinan KPK memanas ketika Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan uji materi yang diajukan oleh sejumlah eks pegawai KPK. Mereka menentang batas usia minimum calon pimpinan KPK yang ditetapkan dalam Undang-Undang KPK, yakni 50 tahun. Salah satu penggugat, Praswad Nugraha, yang merupakan ketua IM57+ Institute, menyatakan bahwa batas usia tersebut bisa digunakan sebagai alat politik untuk membatasi kalangan tertentu maju sebagai calon pimpinan KPK.
IM57+ Institute adalah organisasi gerakan antikorupsi yang didirikan oleh eks pegawai KPK yang diberhentikan akibat kebijakan tes wawasan kebangsaan pada 2021. Praswad, bersama anggota lainnya, berargumen bahwa kondisi KPK yang sedang “tidak baik-baik saja” membutuhkan perbaikan mendesak melalui proses pemilihan pimpinan. Namun, hakim konstitusi menolak gugatan mereka dengan alasan bahwa syarat usia calon pimpinan KPK merupakan wewenang pembuat undang-undang, yaitu pemerintah dan DPR. Hakim juga menyatakan bahwa calon yang belum memenuhi batas usia tetap dapat berkontribusi dalam pemberantasan korupsi melalui partisipasi masyarakat.
Keputusan ini mengecewakan para pemohon uji materi, termasuk Praswad yang berusia 42 tahun dan Novel Baswedan, penyidik senior KPK yang berusia 47 tahun. Mereka, bersama 10 eks pegawai KPK lainnya, tidak memenuhi syarat untuk mendaftar sebagai calon pimpinan KPK karena belum mencapai usia 50 tahun.
Baca juga : Mandeknya Pengembalian Aset BLBI: Ujian Nyali dan Komitmen Pemerintah
Baca juga : Jeratan Hukum Fify Mulyani dalam Kasus Poligami dan Tindak Pidana Pencucian Uang
Baca juga : Skandal Kuota Haji Khusus: Dugaan Penyelewengan di Balik Penyelenggaraan Haji 2024
Kritik Terhadap Panitia Seleksi (Pansel) KPK
Selain putusan MK, Praswad juga menyoroti kinerja Panitia Seleksi Calon Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK. Sebanyak 16 anggota IM57+ mendaftar dalam seleksi pimpinan KPK, namun hanya empat orang yang lolos ke tahap berikutnya. Sisanya dinyatakan gugur, sebagian besar karena tidak memenuhi syarat usia. Praswad mempertanyakan keadilan proses seleksi ini, terutama mengingat beberapa tokoh yang sudah berpengalaman di KPK, seperti Herry Muryanto, tidak lolos seleksi.
Tidak hanya anggota IM57+, tokoh-tokoh terkemuka lainnya seperti Danang Widoyoko, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII), dan Sudirman Said, mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang juga terkenal karena perannya dalam membongkar kasus korupsi besar, juga gagal lolos seleksi. Hal ini menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat sipil tentang kriteria yang digunakan oleh pansel dalam menentukan kelayakan calon.
Dugaan Intervensi Istana
Kecurigaan adanya intervensi dari Istana dalam proses seleksi pimpinan KPK semakin kuat ketika Praswad dan beberapa pengamat antikorupsi mengungkapkan bahwa Presiden Jokowi diduga memiliki pengaruh besar dalam menentukan siapa yang lolos dalam seleksi. Meskipun Panitia Seleksi KPK dibentuk untuk menjalankan proses seleksi secara independen, menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, pansel hanya berperan membantu administrasi dan seleksi awal. Presiden tetap memiliki kuasa dalam menentukan calon yang akan diajukan ke DPR untuk menjalani uji kelayakan dan kepatutan.
Pasal 30 dalam undang-undang tersebut menyebutkan bahwa pimpinan KPK dipilih oleh DPR berdasarkan calon yang diusulkan oleh presiden. Dengan kata lain, meskipun Panitia Seleksi KPK melakukan penilaian awal terhadap para calon, keputusan akhir ada di tangan presiden sebelum calon diserahkan ke DPR. Hal inilah yang menjadi sumber kecurigaan bahwa pemilihan pimpinan KPK lebih banyak dipengaruhi oleh preferensi politik Jokowi dan Istana.
Peran DPR dan Fit and Proper Test
Setelah presiden menyerahkan 10 nama calon pimpinan KPK kepada DPR, proses berikutnya adalah uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR yang membidangi hukum. Namun, proses ini juga tidak luput dari polemik. Beberapa narasumber dari lingkungan DPR menyebutkan bahwa ada upaya dari Partai Gerindra, salah satu partai koalisi pemerintah, untuk mempercepat proses uji kelayakan dan kepatutan sebelum masa jabatan DPR periode 2019-2024 berakhir. Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa koalisi pemerintah ingin memastikan bahwa lima pimpinan KPK yang terpilih nantinya adalah orang-orang yang “sejalan” dengan kepentingan Istana.
Di sisi lain, beberapa anggota DPR, termasuk dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN), menyarankan agar uji kelayakan dan kepatutan dilakukan oleh DPR periode 2024-2029. Mereka berpendapat bahwa DPR periode yang baru akan lebih netral dan memiliki waktu yang cukup untuk melakukan seleksi secara menyeluruh dan independen.
Kritik dari Masyarakat Sipil
Proses seleksi pimpinan KPK tahun 2024 ini juga mendapat perhatian serius dari masyarakat sipil, khususnya para pegiat antikorupsi. Peneliti dari Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, menilai bahwa keberadaan calon dari kalangan penegak hukum dalam komposisi calon pimpinan KPK berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Menurutnya, KPK seharusnya dipimpin oleh individu yang memiliki rekam jejak bersih dan mampu bersikap independen tanpa terpengaruh oleh institusi asal.
Zaenur juga menyoroti pentingnya merit system dalam seleksi pimpinan KPK. Menurutnya, pansel seharusnya memilih calon yang benar-benar memiliki integritas dan kompetensi tinggi dalam memberantas korupsi, bukan berdasarkan kuota dari institusi tertentu. Ia juga mengkritik keterlibatan aparat penegak hukum yang masih dominan dalam seleksi calon pimpinan KPK.
Peneliti dari Pusat Studi Antikorupsi Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menambahkan bahwa Jokowi seharusnya tidak “cawe-cawe” dalam proses seleksi ini. Ia menyarankan agar uji kelayakan dan kepatutan dilakukan oleh DPR yang baru agar hasilnya lebih independen dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik jangka pendek.
Tantangan Bagi Masa Depan Pemberantasan Korupsi
Pemilihan pimpinan KPK selalu menjadi isu sensitif karena menyangkut masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia. Dalam konteks ini, peran Presiden Jokowi menjadi krusial. Sebagai pemimpin yang diharapkan dapat memperbaiki kondisi KPK yang dinilai sedang mengalami kemunduran, Jokowi perlu memastikan bahwa calon pimpinan KPK yang dipilih benar-benar memiliki komitmen kuat dalam memerangi korupsi.
Namun, tantangan terbesar bagi Jokowi adalah membuktikan bahwa pemilihan pimpinan KPK tidak didasarkan pada kepentingan politik. Sebaliknya, proses seleksi harus transparan, adil, dan mengedepankan merit system. Jika Jokowi berhasil menjalankan proses ini dengan baik, ia akan meninggalkan warisan positif dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Sebaliknya, jika intervensi politik terus mencemari proses seleksi, pemberantasan korupsi di Indonesia akan semakin terpuruk, dan kepercayaan publik terhadap KPK akan semakin menurun. *Mukroni
Foto Kowantaranews
- Berita Terkait :
Jeratan Hukum Fify Mulyani dalam Kasus Poligami dan Tindak Pidana Pencucian Uang
Skandal Kuota Haji Khusus: Dugaan Penyelewengan di Balik Penyelenggaraan Haji 2024
IKN di Persimpangan: Anggaran Menyusut, Investasi Swasta Diharapkan
Warteg Menolak IKN, Apa Warteg Menolak IKAN ?
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat
Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit
Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik
Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi
Nongkrong Sambil Mencicip Surabi dengan Beragam Topping di Bandung
Gurihnya Coto Makassar Legendaris di Air Mancur Bogor, Yuk ke Sana