Jakarta, Kowantaranews.com -Di sudut-sudut Jabodetabek, aroma rendang dan sambal terasi dari warteg-warung kecil bercampur dengan ketegangan. Bukan hanya pelanggan biasa yang nongkrong di warteg, tapi juga preman-preman beratribut seragam ormas, siap memungut “upeti” dari pedagang. Di sisi lain, para pengangguran muda, yang kehilangan harapan akan pekerjaan, ngetem di pinggir jalan, menanti peluang—entah itu kerja serabutan atau, sayangnya, tawaran bergabung dengan kelompok preman. Fenomena premanisme yang kian marak ini bukan sekadar ulah penutup jalanan, tetapi cerminan luka struktural: pengangguran, kemiskinan, dan lemahnya penegakan hukum. Jabodetabek, bak ring tinju tanpa wasit, menjadi arena pertarungan ormas, preman, dan negara yang tampak kehilangan kendali.
Akar Masalah: Pengangguran dan Ketidakpastian Ekonomi
Pada Februari 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 7,28 juta jiwa, naik 83.000 orang dari tahun sebelumnya. Lebih mengkhawatirkan, 24.036 pekerja kehilangan pekerjaan akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) pada Januari-April 2025, dengan sektor tekstil sebagai korban utama. Lesunya permintaan global telah memukul industri padat karya, meninggalkan ribuan pekerja tanpa penghasilan. Di Jabodetabek, urbanisasi yang tak terkendali memperparah situasi. Pemuda dari daerah berbondong-bondong ke ibu kota dengan mimpi besar, tapi sering kali hanya menemukan kenyataan pahit: tak ada pekerjaan, tak ada tempat tinggal, hanya warteg sebagai pelarian sementara.
Ketidakpastian ekonomi ini menciptakan lahan subur bagi premanisme. Menurut Ari Subagio Wibowo dari Fakta Indonesia, pengangguran membuat individu rentan tergiur bergabung dengan ormas atau kelompok preman. Bayaran kecil dari aksi pemalakan atau “jasa pengamanan” di warteg dan pasar tradisional menjadi solusi cepat bagi mereka yang putus asa. Teori anomie Emile Durkheim menjelaskan fenomena ini dengan apik: ketika norma sosial melemah akibat krisis ekonomi, perilaku menyimpang seperti premanisme menjadi jalan keluar. Warteg, yang seharusnya menjadi tempat makan murah meriah, kini sering jadi markas tak resmi para preman untuk merencanakan aksi atau sekadar memamerkan kekuasaan.
Premanisme Modern: Dari Jalanan ke Dunia Industri
Premanisme di Indonesia telah berevolusi. Jika dulu identik dengan pemalakan di terminal atau pasar, kini premanisme merambah sektor formal. Ormas, yang awalnya berdiri untuk tujuan sosial atau keagamaan, kini banyak yang berubah wajah. Mereka mengenakan seragam mirip militer, lengkap dengan atribut intimidatif, dan beroperasi layaknya organisasi kriminal terstruktur. Kasus GRIB Jaya di Depok, yang membakar mobil polisi, atau aksi perebutan lahan di Kemang oleh kelompok bersenjata, menjadi bukti bagaimana ormas telah menjadi “penghasil palsu” yang mengeksploitasi masyarakat.
Di warteg-warung kecil, preman ormas kerap memaksa pedagang membayar “pajak keamanan”. Sopir truk di Serang melaporkan hal serupa: ormas berkedok “pengaman wilayah” meminta bayaran agar truk mereka bisa lewat tanpa gangguan. Bahkan, dunia industri tak luput dari cengkeraman premanisme. Beberapa perusahaan di kawasan industri Jabodetabek dipaksa mengalihkan kontrak keamanan ke ormas tertentu atau membayar upeti agar operasional mereka tak diganggu. Fenomena ini mencerminkan apa yang disebut sebagai “negara preman”, di mana kekuasaan informal bersimbiosis dengan elit politik, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus.
Simbiosis dengan Kekuasaan dan Impunitas
Salah satu faktor yang membuat premanisme sulit diberantas adalah hubungan erat mereka dengan kekuasaan formal. Banyak ormas memiliki backing politik, baik dari elit lokal maupun nasional. Dalam beberapa kasus, ormas digunakan sebagai alat untuk mengamankan kepentingan politik, seperti penguasaan lahan atau mobilisasi massa saat pemilu. Kasus TS, Ketua GRIB Jaya, yang berulang kali mangkir dari panggilan polisi sebelum akhirnya ditangkap paksa, menunjukkan betapa preman merasa kebal hukum. Kolusi antara aparat penegak hukum dan preman memperparah situasi, dengan suap menjadi jalan pintas untuk menghindari penegakan hukum.
Regulasi yang ambigu juga menjadi celah. Meski UU Ormas ada, implementasinya lemah. Banyak ormas beroperasi di wilayah abu-abu, mengklaim sebagai organisasi sosial sambil melakukan aksi kriminal. Warteg, sebagai tempat berkumpulnya berbagai lapisan masyarakat, sering menjadi saksi bisu praktik ini. Pedagang warteg tak berani melapor karena takut balasan, sementara polisi kerap tak bertindak tanpa laporan resmi. Akibatnya, premanisme terus tumbuh subur, mengikis kepercayaan masyarakat terhadap negara.
Dampak Ekonomi dan Sosial: Ancaman bagi Stabilitas
Premanisme bukan hanya masalah keamanan, tetapi juga ancaman serius bagi perekonomian. Intimidasi terhadap perusahaan, seperti kasus PT Bumi Asri Pasaman di Kalimantan, membuat investor asing mempertimbangkan relokasi. Ketidakpastian hukum dan ancaman premanisme mengurangi daya tarik Indonesia sebagai tujuan investasi. Di level lokal, pedagang kecil seperti pemilik warteg tercekik oleh “pajak” preman, yang menggerus margin keuntungan mereka yang sudah tipis.
Secara sosial, premanisme menciptakan “shadow governance” yang melemahkan otoritas negara. Ketika ormas mengambil alih fungsi pengamanan atau penyelesaian konflik, negara tampak tak berdaya. Di Jabodetabek, aksi premanisme seperti pemalakan atau perebutan lahan kerap memicu konflik horizontal antar-kelompok, yang berpotensi mengganggu stabilitas sosial. Masyarakat, terutama di kalangan bawah, semakin apatis terhadap hukum, percaya bahwa keadilan hanya milik mereka yang punya uang atau koneksi.
Kritik terhadap Pendekatan Pemerintah
Pemerintah telah berupaya menangani premanisme, salah satunya melalui pembentukan Satgas Anti-Premanisme dan operasi serentak TNI-Polri di Jakarta, melibatkan 999 personel. Namun, pendekatan represif ini menuai kritik. Kriminolog UI, Arthur Josias Simon Runturambi, menyebut operasi semacam ini hanya solusi temporer yang tak menyentuh akar masalah: pengangguran dan kemiskinan. Pendekatan militeristik juga berisiko melanggar hak asasi manusia, terutama jika penindakan dilakukan tanpa pembuktian yang jelas.
Akademisi seperti Holil Aksan Umarzen menyarankan pendekatan hukum yang lebih tegas, seperti UU khusus untuk mengatur ormas dan premanisme. UU ini harus mencakup sanksi berat bagi pelaku dan perlindungan bagi pelapor, sehingga masyarakat tak takut melapor. Di sisi lain, Rocky Gerung menekankan pentingnya pendidikan kewargaan dan pemberdayaan ekonomi. Menurutnya, disiplin militer tak akan efektif jika masyarakat tetap terjebak dalam kemiskinan dan ketidakpastian.
Warteg sebagai Cerminan Sosial
Warteg, sebagai ikon kuliner rakyat, tak hanya menjadi tempat makan, tetapi juga cerminan dinamika sosial. Di sini, preman, pengangguran, dan masyarakat biasa berinteraksi, menciptakan mikrokosmos dari masalah yang lebih besar. Warteg adalah tempat di mana preman memamerkan kekuasaan, pengangguran mencari harapan, dan pedagang berjuang bertahan di tengah tekanan ekonomi dan intimidasi. Ironisnya, warteg yang seharusnya menjadi simbol kebersamaan justru menjadi arena konflik kecil yang mencerminkan luka sosial Indonesia.
Baca juga : The Fed Bikin BI Pusing, Rupiah Ngegas, Warteg Tetap Ramai!
Baca juga : Ojol Belum BPJS, Aplikator Bilang ‘Gaspol!’, Warteg Jadi Penutup Perut!
Baca juga : PHK Bikin Kantoran Jadi Penutup Warteg: Prabowo Geleng-Geleng, Orek Tempe Tetap Sold Out!
Solusi Holistik: Memutus Siklus Premanisme
Untuk mengatasi premanisme yang berkelindan dengan pengangguran, diperlukan pendekatan holistik yang menggabungkan solusi jangka pendek dan jangka panjang:
- Penciptaan Lapangan Kerja Inklusif:
- Pemerintah perlu memperluas program pelatihan vokasi dan insentif untuk UMKM, khususnya di daerah urban seperti Jabodetabek. Program ini harus menyasar pengangguran muda, yang paling rentan tergiur premanisme.
- Investasi di sektor padat karya, seperti infrastruktur dan agribisnis, dapat menyerap tenaga kerja informal dan mengurangi ketergantungan pada ormas.
- Reformasi Hukum dan Penegakan:
- Rancang UU khusus untuk ormas dan premanisme, dengan definisi jelas tentang aktivitas ilegal dan sanksi berat bagi pelaku.
- Tingkatkan transparansi penegakan hukum melalui pengawasan independen untuk memutus kolusi antara aparat dan preman.
- Pendekatan Preventif:
- Integrasikan pendidikan kewargaan dalam kurikulum sekolah untuk membangun kesadaran hukum dan etika sosial sejak dini.
- Kembangkan program pemberdayaan masyarakat, seperti pelatihan keterampilan dan akses modal usaha, di daerah rawan premanisme.
- Sinergi Antar-Stakeholder:
- Libatkan pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil dalam merumuskan kebijakan antipremanisme. Misalnya, perusahaan dapat mendukung pelatihan kerja untuk masyarakat sekitar.
- Manfaatkan teknologi, seperti platform pelaporan digital, untuk memudahkan masyarakat melaporkan aksi premanisme secara aman dan anonim.
Jabodetabek Bukan Ring Tinju
Jabodetabek tak seharusnya menjadi ring tinju tempat ormas dan preman beradu kekuatan, sementara pengangguran ngetem tanpa harapan. Premanisme adalah cerminan kegagalan struktural yang tak bisa diatasi dengan pendekatan sepihak. Warteg, sebagai simbol perjuangan rakyat, harus kembali menjadi tempat kebersamaan, bukan arena intimidasi. Dengan menciptakan lapangan kerja, memperkuat hukum, dan memberdayakan masyarakat, Indonesia bisa memutus siklus premanisme dan membangun masa depan yang lebih adil. Tanpa langkah nyata, preman akan terus ngepet di warteg, dan Jabodetabek akan tetap jadi arena gladi tanpa pemenang sejati. By Mukroni
Foto Kowantaranews
- Berita Terkait
The Fed Bikin BI Pusing, Rupiah Ngegas, Warteg Tetap Ramai!
Ojol Belum BPJS, Aplikator Bilang ‘Gaspol!’, Warteg Jadi Penutup Perut!
PHK Bikin Kantoran Jadi Penutup Warteg: Prabowo Geleng-Geleng, Orek Tempe Tetap Sold Out!
Jobless Jadi Trend, Dompet Ikut Send: BPS vs IMF Panas, Warteg Tetap Menang!
Ekonomi Loyo, Pengangguran Melejit: Warteg Tetap Ramai, Tapi Dompet Makin Sepi!
Ekonomi Indonesia 2025: Konsumsi Loyo, Rupiah Goyang, Warteg Tetap Jaya!
PMI Anjlok, IKI Goyang, Warteg Tetap Jaya: Industri Indonesia Lawan Badai Tarif Trump!
PHK Mengintai, Tarif Trump Menghantui, Warteg: Tenang, Ada Telor Dadar!
Warteg Halal Harap-Harap Cemas: UMKM Indonesia Lawan Tarif Trump dan Gempuran Impor China!
Prabowo Jalan-jalan ke China, ASEAN Cuma Dapat Senyum dari
GPN & QRIS: Warteg Go Digital, Transaksi Nusantara Gaspol, AS Cuma Bisa Cemas!
Indonesia vs AS: Tarif Impor Bikin Heboh, Warteg Jagokan Dompet Digital!
Utang Rp 250 Triliun Numpuk, Pemerintah Frontloading Biar Warteg Tetep Jualan Tempe!
Indonesia ke AS: ‘Tarif Dikurangin Dong, Kami Beli Energi, Kedelai, Sekalian Stok Warteg!’
TikTok Tawar Tarif: AS-China Ribut, Indonesia Santai di Warteg!
Kelapa Meroket, Warteg Meratap: Drama Harga di Pasar Negeri Sawit!
Trump Tarik Tarif, Rupiah Rontok, Warteg pun Waswas: Drama Ekonomi 2025!
Danantara dan Dolar: Prabowo Bikin Warteg Nusantara atau Kebingungan?
Warteg Lawan Tarif Trump: Nasi Oreg Tempe Bikin Dunia Ketagihan!
Gempuran Koperasi Desa Merah Putih: 70.000 Pusat Ekonomi Baru Siap Mengubah Indonesia!
1 Juta Mimpi Terhambat: UMKM Berjuang Melawan Kredit Macet
Warteg Jadi Garda Terdepan Revolusi Gizi Nasional!
Skema Makan Bergizi Gratis: Asa Besar yang Membebani UMKM
Revolusi Gizi: Makan Gratis untuk Selamatkan Jutaan Jiwa dari Kelaparan
Gebrakan Sejarah: Revolusi Makan Bergizi Gratis, Ekonomi Lokal Bangkit!
PPN 12 Persen: Harapan atau Ancaman Bagi Ekonomi Rakyat?
Menuju Indonesia Tanpa Impor: Mimpi Besar atau Bom Waktu?
Gebrakan PPN 12 Persen: Strategi Berani yang Tak Menjamin Kas Negara Melejit!
Rupiah di Ujung Tanduk: Bank Indonesia Siapkan “Senjata Pamungkas” untuk Lawan Gejolak Dolar AS!
PPN Naik, Dompet Rakyat Tercekik: Ancaman Ekonomi 2025 di Depan Mata!
12% PPN: Bom Waktu untuk Ekonomi Rakyat Kecil
Rapat Elite Kabinet! Bahlil Pimpin Pertemuan Akbar Subsidi Energi demi Masa Depan Indonesia
Ekonomi Indonesia Terancam ‘Macet’, Target Pertumbuhan 8% Jadi Mimpi?
Janji Pemutihan Utang Petani: Kesejahteraan atau Jurang Ketergantungan Baru?
Indonesia Timur Terabaikan: Kekayaan Alam Melimpah, Warganya Tetap Miskin!
Menuju Swasembada Pangan: Misi Mustahil atau Harapan yang Tertunda?
QRIS dan Uang Tunai: Dua Sisi dari Evolusi Pembayaran di Indonesia
Ledakan Ekonomi Pedas: Sambal Indonesia Mengguncang Dunia!
Keanekaragaman Hayati di Ujung Tanduk: Lenyapnya Satwa dan Habitat Indonesia!
Indonesia Menuju 2045: Berhasil Naik Kelas, Tapi Kemiskinan Semakin Mengancam?
Food Estate: Ilusi Ketahanan Pangan yang Berujung Malapetaka ?
Menjelang Akhir Jabatan, Jokowi Tinggalkan PR Besar: Pembebasan Lahan IKN Tersendat!
Pangan Indonesia di Ujung Tanduk: Fase Krusial Beras dan Gula Menuju Krisis!
Tambang Pasir Laut: Ancaman Mematikan bagi Ekosistem dan Kehidupan Pesisir Indonesia!
Duel Menteri Jokowi: Ekspor Pasir Laut atau Hancurkan Lautan Indonesia?
Lonjakan Konsumsi di Tengah Tekanan Ekonomi: Masyarakat Indonesia Bertahan dengan Tabungan!
Hilirisasi Tambang: Mesin Pertumbuhan Ekonomi yang Tak Kunjung Menyala
Impor Lagi? Karena Produksi Pangan Lokal Terlalu Mewah untuk Rakyat!
Stop! Impor Makanan Mengancam! Ketahanan Pangan Indonesia di Ujung Tanduk!
Selamat Datang di Kawasan Lindung: Hutan Hilang Dijamin!
Kongsi Gula Raksasa: Kuasai Tanah, Singkirkan Hutan di Merauke!
Ekspor Pasir Laut Dibuka: Keuntungan Instan, Kerusakan Lingkungan Mengancam Masa Depan!
APBN 2025: Anggaran Jumbo, Stimulus Mini untuk Ekonomi
“Investasi di IKN Melonjak, Tapi Pesawatnya Masih Cari Parkir”
Mandeknya Pengembalian Aset BLBI: Ujian Nyali dan Komitmen Pemerintah
Jeratan Hukum Fify Mulyani dalam Kasus Poligami dan Tindak Pidana Pencucian Uang
Skandal Kuota Haji Khusus: Dugaan Penyelewengan di Balik Penyelenggaraan Haji 2024
IKN di Persimpangan: Anggaran Menyusut, Investasi Swasta Diharapkan
Warteg Menolak IKN, Apa Warteg Menolak IKAN ?
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat
Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit
Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik
Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi
Nongkrong Sambil Mencicip Surabi dengan Beragam Topping di Bandung