Jakarta, Kowantaranews.com -Wacana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen yang akan diberlakukan mulai 1 Januari 2025 memunculkan kekhawatiran besar di kalangan masyarakat, terutama bagi kelompok miskin, rentan, dan kelas menengah. Kenaikan ini dianggap sebagai tambahan beban yang tidak dapat ditoleransi di tengah situasi ekonomi yang sudah menantang. Simulasi dan kajian yang dilakukan Center of Economics and Law Studies (Celios) menunjukkan bahwa kebijakan ini berpotensi menciptakan efek domino yang memukul daya beli masyarakat, memperlebar kesenjangan sosial, dan menghambat laju pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Beban Berat untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah
Berdasarkan kajian Celios, dampak kenaikan PPN akan sangat terasa pada masyarakat miskin, yang harus menghadapi kenaikan pengeluaran rata-rata sebesar Rp 101.880 per bulan atau Rp 1,2 juta per tahun. Dalam konteks pendapatan mereka yang terbatas, tambahan ini menjadi beban berat yang mengganggu kemampuan memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan dan tempat tinggal.
Warteg Akan Banyak Gulung Tikar Jika Daya Beli Masyarakat Tergerus Naiknya PPN 12%. Dok. Kowantaranews
“Bagi keluarga miskin, pengeluaran tambahan ini menjadi tekanan besar karena mereka sudah bergulat dengan harga kebutuhan pokok yang terus naik,” ujar Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar, dalam konferensi pers di Jakarta. (www.antaranews.com, Jumat, 29 November 2024). Kondisi ini membuat keluarga miskin semakin rentan terhadap ancaman kemiskinan absolut, terutama jika tidak ada langkah mitigasi yang memadai dari pemerintah.
Kelompok rentan, yang berada sedikit di atas garis kemiskinan namun masih jauh dari kata sejahtera, juga akan menghadapi dampak serupa. Kenaikan PPN diperkirakan menambah beban pengeluaran mereka sebesar Rp 153.871 per bulan atau Rp 1,8 juta per tahun. Tanpa adanya perlindungan sosial yang memadai, kelompok ini berada pada risiko besar jatuh kembali ke jurang kemiskinan.
“Ketika biaya hidup meningkat, mereka terpaksa mengurangi pengeluaran untuk kebutuhan seperti pendidikan atau layanan kesehatan,” lanjut Media. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan PPN tidak hanya berdampak langsung pada kebutuhan sehari-hari, tetapi juga memiliki konsekuensi jangka panjang yang memengaruhi kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat.
Kelas Menengah: Korban yang Paling Terasa
Bagi kelas menengah, dampak kenaikan PPN bahkan lebih signifikan secara nominal. Kajian Celios memperkirakan kelompok ini akan menghadapi tambahan pengeluaran hingga Rp 354.293 per bulan atau Rp 4,2 juta per tahun. Dengan pendapatan yang relatif stagnan dalam beberapa tahun terakhir, tambahan beban ini dipastikan akan menggerus daya beli mereka secara substansial.
Kelas menengah sering dianggap sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia. Dengan daya beli yang melemah, kontribusi mereka terhadap pertumbuhan ekonomi melalui konsumsi rumah tangga akan menurun drastis. Hal ini terlihat dari simulasi Celios yang menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga akan berkurang sebesar Rp 40,68 triliun, yang berimbas pada penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga Rp 65,33 triliun atau 1,07 persen.
“Pertumbuhan ekonomi yang selama ini diproyeksikan mencapai 5,1 persen bisa terkoreksi menjadi hanya 4,09 persen. Ini baru dari dampak kenaikan PPN, belum ditambah dengan berbagai pungutan dan iuran lain yang direncanakan,” ungkap Media.
Baca juga : 12% PPN: Bom Waktu untuk Ekonomi Rakyat Kecil
Baca juga : PPN Naik, Ekonomi Terancam Ambruk: Mimpi Indonesia Maju di Ujung Tanduk ?
Baca juga : Pedagang Warteg dan Daya Beli Masyarakat Tertatih-tatih Di Akhir Jabatan Jokowi
Ketimpangan yang Semakin Menganga
Dampak kenaikan PPN tidak hanya dirasakan secara individual tetapi juga memperburuk ketimpangan ekonomi. Kelompok masyarakat kaya, meskipun harus membayar lebih karena konsumsi yang lebih tinggi, tetap memiliki daya beli yang kuat. Sebaliknya, kelompok miskin, rentan, dan menengah akan semakin terhimpit, sehingga memperlebar jurang sosial.
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhamad Isnur, menyebut kebijakan ini berpotensi memperkuat ketidakadilan struktural yang sudah ada. “Kenaikan PPN ini bisa memperparah ketimpangan sistematis di masyarakat. Orang kaya tetap nyaman, sementara masyarakat miskin semakin terdesak,” ujarnya. Jika tidak ditangani dengan baik, situasi ini berpotensi memicu ketegangan sosial yang bisa berujung pada instabilitas. (www.kompas.id, 30 Nov 2024)
Daya Beli Masyarakat dalam Ancaman
Kenaikan PPN turut menambah tekanan pada daya beli masyarakat yang telah melemah akibat pandemi dan inflasi. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) mencatat penurunan jumlah penduduk kelas menengah dalam beberapa tahun terakhir. Dengan rencana kenaikan PPN, situasi ini diprediksi semakin memburuk.
Banyak keluarga yang harus mengurangi konsumsi barang atau jasa penting demi memenuhi kebutuhan pokok. Barang-barang seperti pakaian, alat elektronik, hingga perlengkapan kesehatan, yang terkena dampak kenaikan tarif PPN, menjadi pengeluaran yang harus dipertimbangkan ulang oleh masyarakat. Akibatnya, sektor-sektor industri yang bergantung pada konsumsi domestik juga akan terpukul.
Tuntutan Penundaan Kenaikan PPN
Di tengah polemik ini, tekanan kepada pemerintah untuk menunda kenaikan tarif PPN semakin menguat. Pasal 7 Ayat (3) Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sebenarnya memberikan ruang bagi pemerintah untuk menurunkan tarif PPN hingga 5 persen. Dengan melihat kondisi daya beli masyarakat saat ini, opsi ini dinilai sebagai langkah yang lebih bijak.
Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, sempat memberikan sinyal bahwa kenaikan PPN “hampir pasti” akan ditunda. (www.cnbcindonesia.com, 28 November 2024). Namun, hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi yang tegas dari pemerintah. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, bahkan menyebut, “Tanya Luhut,” ketika ditanya soal ini, menunjukkan adanya ketidakpastian dalam pengambilan keputusan.
Sementara itu, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Prasetyo Hadi, mengatakan bahwa pemerintah masih mengkaji dampak dari kebijakan tersebut. “(Kenaikan PPN) tunggu tanda mainnya. Lagi dihitung, lagi dihitung,” ujarnya singkat. (nasional.kompas.com, 29/11/2024)
Solusi yang Ditunggu
Kenaikan PPN sebesar 1 persen mungkin terlihat kecil, tetapi dampaknya terasa luas dan signifikan. Pemerintah diharapkan mengambil langkah konkret untuk melindungi daya beli masyarakat dan mencegah kemerosotan ekonomi lebih lanjut.
Langkah mitigasi seperti penundaan kenaikan tarif, pemberian subsidi, atau penerapan program jaring pengaman sosial yang lebih efektif harus menjadi prioritas. Tanpa itu, Indonesia berisiko menghadapi kondisi ekonomi yang stagnan dan ketimpangan sosial yang semakin dalam.
Ketika kebijakan pajak dirancang, penting untuk mempertimbangkan keadilan ekonomi dan dampaknya pada kelompok masyarakat yang paling rentan. Jika tidak, kebijakan yang seharusnya membantu pendanaan negara malah menjadi beban yang melumpuhkan.
Dengan waktu yang semakin dekat menuju awal 2025, keputusan pemerintah akan sangat menentukan arah perekonomian Indonesia. Akankah wacana kenaikan PPN ini menjadi langkah yang membawa manfaat, atau justru menjadi batu sandungan bagi pertumbuhan dan kesejahteraan bangsa? Hanya waktu yang bisa menjawab. By Mukroni
Foto Kowantaranews
- Berita Terkait
12% PPN: Bom Waktu untuk Ekonomi Rakyat Kecil
Rapat Elite Kabinet! Bahlil Pimpin Pertemuan Akbar Subsidi Energi demi Masa Depan Indonesia
Ekonomi Indonesia Terancam ‘Macet’, Target Pertumbuhan 8% Jadi Mimpi?
Janji Pemutihan Utang Petani: Kesejahteraan atau Jurang Ketergantungan Baru?
Indonesia Timur Terabaikan: Kekayaan Alam Melimpah, Warganya Tetap Miskin!
Menuju Swasembada Pangan: Misi Mustahil atau Harapan yang Tertunda?
QRIS dan Uang Tunai: Dua Sisi dari Evolusi Pembayaran di Indonesia
Ledakan Ekonomi Pedas: Sambal Indonesia Mengguncang Dunia!
Keanekaragaman Hayati di Ujung Tanduk: Lenyapnya Satwa dan Habitat Indonesia!
Indonesia Menuju 2045: Berhasil Naik Kelas, Tapi Kemiskinan Semakin Mengancam?
Food Estate: Ilusi Ketahanan Pangan yang Berujung Malapetaka ?
Menjelang Akhir Jabatan, Jokowi Tinggalkan PR Besar: Pembebasan Lahan IKN Tersendat!
Pangan Indonesia di Ujung Tanduk: Fase Krusial Beras dan Gula Menuju Krisis!
Tambang Pasir Laut: Ancaman Mematikan bagi Ekosistem dan Kehidupan Pesisir Indonesia!
Duel Menteri Jokowi: Ekspor Pasir Laut atau Hancurkan Lautan Indonesia?
Lonjakan Konsumsi di Tengah Tekanan Ekonomi: Masyarakat Indonesia Bertahan dengan Tabungan!
Hilirisasi Tambang: Mesin Pertumbuhan Ekonomi yang Tak Kunjung Menyala
Impor Lagi? Karena Produksi Pangan Lokal Terlalu Mewah untuk Rakyat!
Stop! Impor Makanan Mengancam! Ketahanan Pangan Indonesia di Ujung Tanduk!
Selamat Datang di Kawasan Lindung: Hutan Hilang Dijamin!
Kongsi Gula Raksasa: Kuasai Tanah, Singkirkan Hutan di Merauke!
Ekspor Pasir Laut Dibuka: Keuntungan Instan, Kerusakan Lingkungan Mengancam Masa Depan!
APBN 2025: Anggaran Jumbo, Stimulus Mini untuk Ekonomi
“Investasi di IKN Melonjak, Tapi Pesawatnya Masih Cari Parkir”
Mandeknya Pengembalian Aset BLBI: Ujian Nyali dan Komitmen Pemerintah
Jeratan Hukum Fify Mulyani dalam Kasus Poligami dan Tindak Pidana Pencucian Uang
Skandal Kuota Haji Khusus: Dugaan Penyelewengan di Balik Penyelenggaraan Haji 2024
IKN di Persimpangan: Anggaran Menyusut, Investasi Swasta Diharapkan
Warteg Menolak IKN, Apa Warteg Menolak IKAN ?
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat
Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit
Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik
Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi
Nongkrong Sambil Mencicip Surabi dengan Beragam Topping di Bandung