• Ming. Jan 26th, 2025

KowantaraNews

RINGKAS DAN TAJAM

Food Estate: Ilusi Ketahanan Pangan yang Berujung Malapetaka ?

ByAdmin

Okt 16, 2024
Petani membawa hasil panen menggunakan traktor di areal persawahan lumbung pangan nasional di Desa Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, 2021. ANTARA/Makna Zaezar
Sharing is caring

Jakarta, Kowantaranews.com -Pada Hari Pangan Sedunia yang diperingati setiap tanggal 16 Oktober, tema tahun ini mengusung “Hak atas Pangan untuk Kehidupan dan Masa Depan yang Lebih Baik.” Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan betapa sulitnya mencapainya, terutama di Indonesia yang masih bergelut dengan masalah ketahanan pangan. Pemerintah telah lama mencoba mengatasi masalah ini dengan berbagai proyek besar, salah satunya food estate—sebuah inisiatif ambisius yang dianggap sebagai solusi instan untuk masalah pangan nasional. Sayangnya, proyek-proyek ini sering kali tidak hanya gagal memenuhi tujuannya, tetapi juga meninggalkan jejak kerusakan ekologi dan sosial yang sulit dipulihkan.

Apa Itu Food Estate?

Food estate adalah istilah yang digunakan untuk menyebut proyek pertanian skala besar yang dirancang untuk meningkatkan produksi pangan secara massal dan intensif. Proyek ini umumnya melibatkan pembukaan lahan besar-besaran untuk dijadikan area pertanian, dengan harapan dapat menambah pasokan pangan nasional dan mengurangi ketergantungan pada impor. Indonesia sendiri memiliki sejarah panjang terkait proyek food estate, yang dimulai sejak era Orde Baru hingga masa pemerintahan Joko Widodo.

Proyek besar pertama muncul di penghujung kekuasaan Presiden Soeharto dengan Mega Rice Project pada tahun 1996. Proyek ini bertujuan membuka satu juta hektare lahan gambut di Kalimantan Tengah untuk dijadikan sawah baru. Sayangnya, proyek ini gagal total. Alih-alih menghasilkan padi, lahan gambut yang dikeringkan justru menjadi pemicu kebakaran hutan berulang setiap musim kemarau. Upaya ini pun menambah panjang daftar kegagalan dalam upaya cetak sawah di luar Jawa.

Tak belajar dari kegagalan tersebut, pada 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meluncurkan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Merauke, Papua, dengan target konversi lahan hutan seluas 1,2 juta hektare. Tujuannya? Memberi makan Indonesia, bahkan dunia. Namun, proyek ini tidak hanya gagal dari segi produksi pangan, tetapi juga menyebabkan dampak sosial yang signifikan. Tanah yang sebelumnya menjadi sumber kehidupan suku Marind-Anim diambil alih oleh korporasi untuk perkebunan dan industri, meninggalkan masyarakat lokal tanpa akses ke sumber daya alam yang dulunya menopang mereka.

Meski Ekspor Turun, Neraca Perdagangan Tetap Surplus 53 Bulan Beruntun

Pemindahan Ibu Kota Ditunda: Jokowi Hentikan Nusantara, Semua Menunggu Langkah Berani Prabowo!

Indonesia Terperosok dalam Deflasi 5 Bulan Beruntun! Petani dan Pedagang di Ambang Krisis?

Kegagalan yang Terulang

Seiring berjalannya waktu, pemerintahan Jokowi kembali menghidupkan mimpi food estate melalui berbagai proyek di banyak wilayah, termasuk Merauke dan Kalimantan Tengah. Pada tahun 2020, pemerintah meluncurkan proyek food estate baru sebagai salah satu program unggulan dalam mengatasi masalah ketahanan pangan. Bahkan, proyek ini didukung oleh berbagai kementerian, termasuk Kementerian Pertahanan. Menteri Pertahanan Prabowo Subianto turut bertanggung jawab atas pengelolaan sebagian lahan di Kalimantan Tengah yang ditujukan untuk tanaman pangan.

Namun, harapan besar yang digantungkan pada proyek food estate ini mulai pudar seiring dengan hasil-hasil di lapangan. Di Merauke, misalnya, banyak lahan sawah yang dibuka tidak produktif dan berujung terbengkalai. Peliputan Kompas pada 2022 menemukan bahwa sawah-sawah yang dikelola masyarakat lokal suku Marind-Anim tidak lagi aktif. Bahkan sawah-sawah yang dikelola oleh transmigran era Orde Baru pun mengalami penurunan produktivitas jika dibandingkan dengan sawah di Pulau Jawa.

Faktor utama kegagalan ini adalah ketidakcocokan lahan. Tidak semua wilayah di Indonesia, terutama yang berada di luar Pulau Jawa, cocok untuk dijadikan area persawahan. Kondisi tanah, cuaca, dan topografi di beberapa daerah seperti Merauke atau Kalimantan Tengah sering kali tidak mendukung budidaya tanaman padi yang optimal. Ini diperburuk dengan minimnya infrastruktur pendukung, seperti irigasi yang memadai, serta kurangnya tenaga kerja petani yang mampu mengelola lahan dalam skala besar.

Selain kegagalan teknis dalam hal produktivitas lahan, proyek food estate ini juga memicu masalah sosial yang serius. Di Merauke, pembukaan lahan besar-besaran telah menggeser sumber daya lokal yang selama ini menjadi penopang hidup masyarakat adat. Hutan yang sebelumnya kaya akan sagu dan umbi-umbian—makanan pokok tradisional masyarakat Papua—kini telah berubah menjadi perkebunan sawit atau lahan tidur. Akibatnya, masyarakat lokal terpaksa beralih ke makanan olahan seperti beras dan mi instan, yang ironisnya justru menjadi pemicu masalah kesehatan baru seperti malnutrisi dan obesitas.

Krisis Pangan dan Gastrokolonialisme

Fenomena pergeseran pola makan dari pangan lokal ke pangan olahan di Merauke bukan hanya terjadi di tingkat individu, tetapi juga mencerminkan dinamika global yang lebih luas. Dalam konteks ini, beberapa ahli menyebutnya sebagai bentuk gastrokolonialisme—di mana pola konsumsi pangan masyarakat lokal dipaksa berubah akibat intervensi luar yang memaksakan model produksi pangan yang seragam dan tidak berkelanjutan.

Di Merauke, misalnya, keberadaan food estate yang seharusnya memberi kontribusi positif justru menghilangkan keberagaman sumber pangan lokal. Sagu, yang dulunya menjadi makanan pokok, kini semakin langka. Generasi muda tidak lagi terbiasa mengolah sagu sebagai makanan utama, sementara beras dan mi instan semakin mendominasi meja makan mereka. Pada akhirnya, hal ini tidak hanya mengancam ketahanan pangan lokal, tetapi juga menghancurkan identitas budaya masyarakat adat.

Kondisi ini diperparah dengan masalah kesehatan yang muncul sebagai akibat dari perubahan pola makan tersebut. Banyak anak-anak di Merauke yang kini hanya memakan nasi putih tanpa lauk, atau yang disebut sebagai “nasi kosong,” dan mi instan mentah. Fenomena ini menjadi cermin dari kegagalan program ketahanan pangan yang tidak memperhitungkan aspek keberlanjutan dan lokalitas. Alih-alih memperkuat sistem pangan lokal, program food estate justru memperlemah daya tahan masyarakat terhadap krisis pangan.

Meningkatnya Ketergantungan pada Impor

Ironisnya, meskipun food estate digadang-gadang sebagai solusi untuk mengurangi ketergantungan pada impor, faktanya Indonesia masih terus bergantung pada impor pangan, terutama beras dan gandum. Data menunjukkan bahwa Indonesia menjadi salah satu pengimpor gandum terbesar di dunia. Pada 2021, impor gandum mencapai lebih dari 11 juta ton, dengan nilai sekitar 3,5 miliar dolar AS. Kondisi ini menunjukkan bahwa proyek food estate belum mampu menyelesaikan masalah ketergantungan impor, yang justru semakin mengkhawatirkan.

Pemerintah tampaknya lebih fokus pada peningkatan produksi pangan dengan skala besar, tanpa memperhitungkan keragaman dan kemandirian pangan lokal. Padahal, keberagaman pangan merupakan kunci untuk mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan. Data dari tahun 1954 menunjukkan bahwa pangan masyarakat Indonesia jauh lebih beragam daripada saat ini. Beras hanya menyumbang 53,5 persen dari total konsumsi karbohidrat nasional, sementara singkong, jagung, sagu, dan umbi-umbian lainnya berperan besar dalam memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Kini, lebih dari 75 persen konsumsi karbohidrat masyarakat Indonesia berasal dari beras, dan sisanya dari gandum.

Arah Baru Ketahanan Pangan

Dalam menghadapi berbagai masalah yang ditimbulkan oleh proyek food estate, solusi jangka panjang yang perlu diambil adalah kembali kepada keberagaman pangan lokal. Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2024 tentang Percepatan Penganekaragaman Pangan Berbasis Potensi Sumber Daya Lokal. Ini adalah langkah awal yang baik, tetapi pelaksanaannya perlu diperkuat.

Ketahanan pangan sejati tidak dapat dicapai hanya dengan mengandalkan skala besar atau model agribisnis modern yang seragam. Sistem pangan Nusantara harus dibangun berdasarkan kekayaan dan keberagaman sumber pangan lokal yang telah terbukti mampu menopang kehidupan masyarakat Indonesia selama berabad-abad. Sagu di Papua, jagung di Nusa Tenggara, dan singkong di berbagai daerah harus mendapatkan perhatian yang lebih serius dalam kebijakan pangan nasional.

Hanya dengan demikian, kita bisa keluar dari ilusi food estate dan membangun masa depan ketahanan pangan yang berkelanjutan dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. *Mukroni

Foto Kowantaranews

  • Berita Terkait

Menjelang Akhir Jabatan, Jokowi Tinggalkan PR Besar: Pembebasan Lahan IKN Tersendat!

Pangan Indonesia di Ujung Tanduk: Fase Krusial Beras dan Gula Menuju Krisis!

Tambang Pasir Laut: Ancaman Mematikan bagi Ekosistem dan Kehidupan Pesisir Indonesia!

Duel Menteri Jokowi: Ekspor Pasir Laut atau Hancurkan Lautan Indonesia?

Lonjakan Konsumsi di Tengah Tekanan Ekonomi: Masyarakat Indonesia Bertahan dengan Tabungan!

Hilirisasi Tambang: Mesin Pertumbuhan Ekonomi yang Tak Kunjung Menyala

Impor Lagi? Karena Produksi Pangan Lokal Terlalu Mewah untuk Rakyat!

Stop! Impor Makanan Mengancam! Ketahanan Pangan Indonesia di Ujung Tanduk!

Selamat Datang di Kawasan Lindung: Hutan Hilang Dijamin!

Kongsi Gula Raksasa: Kuasai Tanah, Singkirkan Hutan di Merauke!

Ekspor Pasir Laut Dibuka: Keuntungan Instan, Kerusakan Lingkungan Mengancam Masa Depan!

APBN 2025: Anggaran Jumbo, Stimulus Mini untuk Ekonomi

“Investasi di IKN Melonjak, Tapi Pesawatnya Masih Cari Parkir”

Mandeknya Pengembalian Aset BLBI: Ujian Nyali dan Komitmen Pemerintah

Jeratan Hukum Fify Mulyani dalam Kasus Poligami dan Tindak Pidana Pencucian Uang

Skandal Kuota Haji Khusus: Dugaan Penyelewengan di Balik Penyelenggaraan Haji 2024

IKN di Persimpangan: Anggaran Menyusut, Investasi Swasta Diharapkan

Warteg Menolak IKN, Apa Warteg Menolak IKAN ?

Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang

Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online

Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani

Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu

Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi

Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya

Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan

Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.

Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang

KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat

Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?

Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka 

Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu

Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis

Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi

Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik

Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama

Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal

Kowartami  Resmikan  Warteg  Republik  Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat

Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit

Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik

Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi

Nongkrong Sambil Mencicip Surabi dengan Beragam Topping di Bandung

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *