Jakarta, Kowantaranews.com -Sejak Presiden Joko Widodo pertama kali mengumumkan rencana besar untuk menjadikan hilirisasi tambang sebagai tulang punggung ekonomi Indonesia, harapan banyak pihak melambung tinggi. Kebijakan ini dipromosikan sebagai kunci untuk mengubah sumber daya alam yang melimpah menjadi kekuatan ekonomi yang tangguh dan mandiri. Indonesia, dengan kekayaan mineral yang besar, terutama nikel, dianggap memiliki potensi untuk menjadi pemain utama di pasar global, khususnya dalam industri kendaraan listrik yang berkembang pesat. Namun, klaim besar ini tampaknya belum berbanding lurus dengan realitas di lapangan.
Meski pemerintah berusaha keras untuk menampilkan program hilirisasi sebagai solusi pembangunan jangka panjang, hasilnya masih jauh dari yang diharapkan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama satu dekade terakhir hanya berada di angka rata-rata 4,73 persen, jauh di bawah angka 6,22 persen yang dicapai selama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Padahal, di tengah klaim sukses hilirisasi tambang, pertumbuhan ekonomi seharusnya terdorong lebih tinggi, dengan kontribusi signifikan dari industri yang berbasis sumber daya alam ini.
Pertumbuhan Ekonomi yang Mandek
Ketika Presiden Joko Widodo meluncurkan inisiatif hilirisasi tambang, tujuannya adalah untuk meningkatkan nilai tambah ekspor, dengan tidak lagi hanya menjual bahan mentah seperti bijih nikel, tetapi mengolahnya menjadi produk setengah jadi atau barang jadi. Namun, meskipun ada beberapa kemajuan, seperti pembangunan smelter-smelter untuk memproses nikel menjadi feronikel, dampak ekonomi yang lebih luas belum terasa. Sektor logam dasar dan tambang, yang menerima investasi besar, tetap tidak memiliki keterkaitan yang kuat dengan industri lain, sehingga tidak menimbulkan efek berganda yang diperlukan untuk mendorong perekonomian secara keseluruhan.
Menurut data Kementerian Investasi, pada semester pertama tahun 2024, realisasi investasi mencapai Rp 829,9 triliun, naik 22,3 persen dari tahun sebelumnya. Mayoritas investasi ini masuk ke sektor logam dasar dan pertambangan, menunjukkan bahwa fokus pemerintah masih tertuju pada hilirisasi tambang. Namun, industri padat modal seperti ini tidak menciptakan lapangan pekerjaan dalam jumlah yang signifikan. Alih-alih menciptakan lapangan pekerjaan baru, beberapa sektor justru menunjukkan tanda-tanda deindustrialisasi dini.
Pengangguran yang Meningkat
Sebagai negara dengan populasi besar, Indonesia membutuhkan kebijakan ekonomi yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan dalam skala luas. Namun, tingkat pengangguran justru terus meningkat. Hingga April 2024, Dana Moneter Internasional mencatat tingkat pengangguran Indonesia mencapai 5,2 persen dari angkatan kerja, tertinggi dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Ironisnya, negara-negara tetangga yang tidak menjalankan program hilirisasi tambang justru mencatatkan tingkat pengangguran yang lebih rendah.
Sementara itu, jumlah pekerja informal terus meningkat. Pada Februari 2024, Survei Angkatan Kerja Nasional dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa pekerja informal mencapai 59,1 persen dari total angkatan kerja yang berjumlah 142,2 juta orang. Ini adalah peningkatan signifikan dari angka 55,7 persen pada 2019. Ketergantungan pada pekerjaan informal yang tidak memiliki penghasilan tetap menciptakan ketidakstabilan ekonomi yang semakin sulit diatasi. Fenomena ini semakin memperlihatkan ketidakefektifan kebijakan hilirisasi tambang dalam menyelesaikan masalah-masalah struktural ekonomi Indonesia.
Nasib Kelas Menengah yang Tergerus
Deindustrialisasi dini yang dialami Indonesia merupakan salah satu dampak yang tak terduga dari kebijakan hilirisasi tambang. Dalam lima tahun terakhir, jumlah penduduk kelas menengah Indonesia mengalami penurunan drastis. Berdasarkan data dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia, jumlah penduduk kelas menengah berkurang 8,5 juta jiwa antara 2018 hingga 2023. Penurunan ini beriringan dengan meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK), terutama di sektor-sektor manufaktur yang gagal bersaing dan tumbuh akibat kurangnya investasi dan perhatian pemerintah.
Industri manufaktur, yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi yang dapat menciptakan banyak lapangan pekerjaan, justru terpinggirkan dalam program hilirisasi. Pemerintah lebih fokus pada sektor-sektor padat modal yang tidak memerlukan tenaga kerja dalam jumlah besar, sementara sektor-sektor yang padat karya dan berpotensi meningkatkan produktivitas ekonomi dibiarkan lesu. Akibatnya, banyak penduduk kelas menengah yang kehilangan pendapatan tetap dan jatuh ke dalam ketidakpastian ekonomi.
Kelas menengah adalah salah satu motor penggerak konsumsi domestik, yang sangat penting bagi stabilitas ekonomi suatu negara. Ketika jumlah mereka berkurang, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh individu yang kehilangan pendapatan, tetapi juga oleh sektor-sektor lain yang bergantung pada daya beli kelas menengah. Penurunan kelas menengah ini juga berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus.
Baca juga : Impor Lagi? Karena Produksi Pangan Lokal Terlalu Mewah untuk Rakyat!
Baca juga : Stop! Impor Makanan Mengancam! Ketahanan Pangan Indonesia di Ujung Tanduk!
Baca juga : Selamat Datang di Kawasan Lindung: Hutan Hilang Dijamin!
Sumber Daya Alam yang Dikuasai Negara Lain
Indonesia dikenal memiliki salah satu cadangan nikel terbesar di dunia, dengan 21 persen cadangan nikel global dan 48 persen dari total produksi global. Namun, ironisnya, potensi besar ini lebih banyak menguntungkan negara lain, terutama Amerika Serikat dan Cina, yang merupakan konsumen terbesar nikel Indonesia. Sebagian besar nikel yang diolah di smelter Indonesia diubah menjadi feronikel, yang kemudian diekspor ke negara lain untuk diolah menjadi barang bernilai tambah, seperti baterai kendaraan listrik.
Sebagai contoh, Cina adalah salah satu tujuan utama ekspor feronikel dari Indonesia. Pada tahun 2023, nilai ekspor feronikel ke Cina mencapai US$ 14,95 miliar. Setelah diolah di Cina menjadi baterai kendaraan listrik, produk tersebut kembali ke Indonesia dalam bentuk mobil dan sepeda motor listrik yang menguasai pasar domestik. Artinya, Indonesia hanya memperoleh sedikit nilai tambah dari ekspor feronikelnya, sementara sebagian besar keuntungan diperoleh oleh negara lain yang memiliki industri turunan yang lebih canggih.
Dampak Lingkungan dan Sosial
Selain dampak ekonomi yang belum optimal, hilirisasi tambang juga menimbulkan masalah sosial dan lingkungan yang serius. Banyak masyarakat lokal, terutama masyarakat adat, kehilangan ruang hidup mereka karena aktivitas pertambangan yang ekspansif. Proyek pembangunan smelter sering kali dilakukan tanpa mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan, sehingga menyebabkan kerusakan ekosistem yang sulit dipulihkan.
Pertambangan dan pembangunan smelter juga dikenal sebagai industri yang menghasilkan polusi tinggi, baik polusi udara maupun pencemaran air. Jika kebijakan hilirisasi tambang terus dilanjutkan tanpa perencanaan yang matang, bukan tidak mungkin bencana lingkungan akan semakin meluas. Selain itu, masyarakat yang terdampak juga berisiko mengalami konflik sosial akibat hilangnya mata pencaharian tradisional dan penurunan kualitas lingkungan hidup mereka.
Pelajaran untuk Masa Depan
Dengan adanya berbagai permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan program hilirisasi tambang, presiden terpilih Prabowo Subianto dihadapkan pada tantangan besar. Dalam kampanye pemilihannya, Prabowo telah berjanji untuk tidak mundur dari program hilirisasi tambang, bersama dengan janji-janji populis lainnya seperti swasembada pangan dan program makan siang gratis. Namun, jika Prabowo ingin berhasil, ia harus belajar dari kesalahan pemerintahan sebelumnya dan memastikan bahwa program hilirisasi tambang tidak menjadi sekadar gimik pembangunan yang hanya memperkaya segelintir elit ekonomi.
Tanpa perencanaan yang matang dan tanpa memikirkan dampak jangka panjang, hilirisasi tambang bisa menjadi bencana ekonomi dan sosial. Program ini harus diimbangi dengan kebijakan yang mendukung pengembangan industri manufaktur dan pengolahan yang padat karya, serta upaya perlindungan terhadap lingkungan dan masyarakat lokal. Jika tidak, Indonesia mungkin akan terus terjebak dalam siklus pertumbuhan ekonomi yang lambat, pengangguran yang tinggi, dan ketidakstabilan sosial yang semakin memburuk. *Mukroni
Foto Kowantaranews
- Berita Terkait :
Impor Lagi? Karena Produksi Pangan Lokal Terlalu Mewah untuk Rakyat!
Stop! Impor Makanan Mengancam! Ketahanan Pangan Indonesia di Ujung Tanduk!
Selamat Datang di Kawasan Lindung: Hutan Hilang Dijamin!
Kongsi Gula Raksasa: Kuasai Tanah, Singkirkan Hutan di Merauke!
Ekspor Pasir Laut Dibuka: Keuntungan Instan, Kerusakan Lingkungan Mengancam Masa Depan!
APBN 2025: Anggaran Jumbo, Stimulus Mini untuk Ekonomi
“Investasi di IKN Melonjak, Tapi Pesawatnya Masih Cari Parkir”
Mandeknya Pengembalian Aset BLBI: Ujian Nyali dan Komitmen Pemerintah
Jeratan Hukum Fify Mulyani dalam Kasus Poligami dan Tindak Pidana Pencucian Uang
Skandal Kuota Haji Khusus: Dugaan Penyelewengan di Balik Penyelenggaraan Haji 2024
IKN di Persimpangan: Anggaran Menyusut, Investasi Swasta Diharapkan
Warteg Menolak IKN, Apa Warteg Menolak IKAN ?
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat
Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit
Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik
Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi
Nongkrong Sambil Mencicip Surabi dengan Beragam Topping di Bandung