• Sel. Jan 14th, 2025

KowantaraNews

RINGKAS DAN TAJAM

Menuju Swasembada Pangan: Misi Mustahil atau Harapan yang Tertunda?

ByAdmin

Okt 23, 2024
Petani membawa hasil panen menggunakan traktor di areal persawahan lumbung pangan nasional di Desa Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, 2021. ANTARA/Makna Zaezar
Sharing is caring

Jakarta, Kowantaranews.com -Indonesia, negeri agraris yang pernah berjaya sebagai lumbung padi Asia Tenggara, kini dihadapkan pada tantangan besar untuk mewujudkan kembali swasembada pangan. Janji besar ini menjadi salah satu program andalan yang diusung oleh Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Pemerintahan baru yang akan dilantik pada Oktober 2024 ini mengusung visi ambisius: dalam waktu 4-5 tahun, Indonesia akan mencapai swasembada pangan, khususnya beras, jagung, dan gula.

Namun, di balik cita-cita besar ini, sejumlah tantangan mendasar mengintai. Dari degradasi lahan pertanian, perubahan iklim yang mengakibatkan cuaca ekstrem, hingga masalah regenerasi petani, perjalanan menuju swasembada pangan tampak lebih seperti misi mustahil daripada sekadar tugas besar. Apakah harapan untuk kembali pada kejayaan swasembada pangan hanya mimpi di siang bolong? Ataukah, dengan tekad kuat dan kebijakan yang tepat, janji ini bisa terwujud?

Lahan Pertanian yang Semakin Menyusut

Lahan adalah elemen kunci dalam sektor pertanian. Tanpa lahan yang memadai, cita-cita swasembada pangan jelas akan sangat sulit terwujud. Sayangnya, konversi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian terus terjadi di Indonesia. Data dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mencatat, laju konversi lahan sawah menjadi lahan nonpertanian mencapai 100.000 hingga 150.000 hektar per tahun. Pada 2022, luas sawah berkurang signifikan, sementara kebutuhan pangan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk.

Dalam periode 2015-2019, luas sawah nasional turun dari 8,1 juta hektar menjadi 7,5 juta hektar. Perubahan ini bukan hanya karena alih fungsi lahan untuk perumahan dan infrastruktur, tetapi juga terkait dengan pergeseran ekonomi yang membuat lahan pertanian dianggap kurang menguntungkan dibandingkan sektor-sektor lain.

Pembangunan infrastruktur yang masif dalam beberapa tahun terakhir memang berdampak positif pada aspek konektivitas dan ekonomi secara umum. Jalan Tol Trans-Jawa yang diperpanjang, misalnya, membantu memangkas waktu tempuh perjalanan antara kota-kota besar seperti Surakarta dan Yogyakarta. Namun, di sisi lain, pembangunan infrastruktur juga turut menyumbang pada penyusutan lahan pertanian di sekitarnya. Ironisnya, infrastruktur yang dibangun untuk meningkatkan efisiensi transportasi barang dan komoditas justru turut mengurangi lahan yang sangat penting bagi produksi pangan.

Krisis Regenerasi Petani

Selain lahan, masalah utama lainnya adalah regenerasi petani. Saat ini, jumlah petani gurem—petani yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar—terus meningkat. Berdasarkan Sensus Pertanian 2023, jumlah petani gurem bertambah dari 14,25 juta rumah tangga pada 2013 menjadi 16,89 juta pada 2023. Lebih dari 60 persen rumah tangga petani di Indonesia kini merupakan petani gurem.

Tidak hanya itu, mayoritas petani di Indonesia semakin menua. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), proporsi petani berusia 55-64 tahun meningkat dari 20,01 persen pada 2013 menjadi 23,3 persen pada 2023, sementara petani berusia 65 tahun ke atas meningkat dari 12,75 persen menjadi 16,15 persen. Kondisi ini menjadi tantangan besar bagi keberlanjutan sektor pertanian, karena regenerasi petani hampir tidak terjadi.

Generasi muda Indonesia cenderung menjauhi sektor pertanian, menganggapnya sebagai pekerjaan yang tidak menjanjikan secara ekonomi. Mereka lebih memilih bekerja di sektor industri, jasa, atau merantau ke kota-kota besar dengan harapan mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi. Ini membuat sektor pertanian mengalami krisis tenaga kerja yang serius. Seiring dengan menurunnya minat generasi muda, semakin sulit untuk menemukan tenaga kerja yang mampu mengolah lahan-lahan pertanian, terlebih lagi menggunakan teknologi modern untuk meningkatkan produktivitas.

Dampak Perubahan Iklim

Jika masalah lahan dan regenerasi petani belum cukup mengkhawatirkan, perubahan iklim menambah kompleksitas tantangan yang dihadapi sektor pertanian Indonesia. El Nino, yang melanda Indonesia dalam dua tahun terakhir, telah memberikan dampak negatif signifikan terhadap produksi pangan. Produksi beras menurun secara drastis akibat kekeringan yang berkepanjangan, yang mempengaruhi luas panen padi serta produktivitas tanaman.

Pada tahun 2024, potensi produksi beras diperkirakan turun sebanyak 0,76 juta ton, sementara luas panen padi berkurang sekitar 0,17 juta hektar. Kondisi ini membuat langkah awal menuju swasembada pangan menjadi lebih berat, karena pemerintah harus berjuang keras untuk mengembalikan produksi padi dan luas tanam ke tingkat yang optimal hanya untuk mengimbangi penurunan akibat dampak El Nino.

Perubahan iklim juga berdampak pada infrastruktur irigasi. Ketersediaan sumber air menjadi semakin terbatas, sementara jaringan irigasi di banyak wilayah masih belum memadai. Banyak sawah yang bergantung pada air hujan, sehingga ketika musim kemarau tiba, mereka tidak dapat berproduksi secara optimal. Ketersediaan air yang konsisten dan sistem irigasi yang baik adalah syarat penting untuk mencapai swasembada pangan. Tanpa itu, target yang ditetapkan oleh pemerintah akan sulit dicapai.

Baca juga : QRIS dan Uang Tunai: Dua Sisi dari Evolusi Pembayaran di Indonesia

Baca juga : Ledakan Ekonomi Pedas: Sambal Indonesia Mengguncang Dunia!

Baca juga : Keanekaragaman Hayati di Ujung Tanduk: Lenyapnya Satwa dan Habitat Indonesia!

Tantangan Produktivitas

Produktivitas padi nasional dalam satu dekade terakhir berada dalam fase leveling off, alias pertumbuhan yang mendatar. Rerata produktivitas padi nasional sekitar 5 ton per hektar, yang relatif stagnan. Peningkatan produktivitas dalam jangka pendek tampaknya sulit dicapai tanpa adanya perubahan besar dalam penggunaan teknologi pertanian, penyediaan benih unggul, dan perbaikan sistem irigasi.

Menurut Kepala Peneliti Bidang Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra PG Talottov, ada keraguan besar terhadap kemampuan pemerintah dalam mencapai swasembada pangan dalam waktu 4-5 tahun. Ia menyoroti bahwa dalam kondisi saat ini, dibutuhkan upaya yang sangat besar hanya untuk sekadar mempertahankan produksi pangan, apalagi meningkatkannya secara signifikan.

Salah satu upaya yang digadang-gadang pemerintah adalah mencetak sawah baru seluas 3 juta hektar dalam waktu lima tahun. Namun, tantangan di lapangan tidak semudah itu. Menurut Abra, meskipun lahan untuk pencetakan sawah baru tersedia, kondisi lahan tersebut mungkin tidak ideal untuk pertanian, baik dari segi infrastruktur pendukung maupun produktivitas.

Di sisi lain, pertumbuhan tahunan sektor pertanian Indonesia justru melambat dari 4,24 persen pada 2014 menjadi hanya 1,3 persen pada 2023. Pada triwulan I-2024, sektor pertanian bahkan mengalami kontraksi sebesar 3,54 persen secara tahunan. Dengan berbagai indikator yang menunjukkan perlambatan, target swasembada pangan semakin terlihat seperti janji ambisius yang membutuhkan upaya luar biasa untuk dapat direalisasikan.

Reforma Agraria dan Penyelesaian Konflik Agraria

Selain masalah teknis di lapangan, pemerintah juga harus menghadapi masalah sosial-ekonomi yang berkaitan dengan agraria. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa dalam periode 2015-2023, terjadi 2.939 konflik agraria di atas lahan seluas 6,3 juta hektar, yang melibatkan sekitar 1,7 juta rumah tangga petani. Konflik agraria ini memperburuk situasi, karena ketimpangan penguasaan lahan semakin tajam. Sebanyak 25 juta hektar lahan dikuasai oleh korporasi di sektor sawit, tambang, dan kayu, sementara 17 juta petani gurem menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar.

Program reforma agraria yang digadang-gadang oleh pemerintahan Prabowo-Gibran akan menjadi kunci untuk menyelesaikan masalah ini. Redistribusi tanah kepada petani kecil dan penyelesaian konflik agraria menjadi syarat mutlak untuk mendukung keberhasilan swasembada pangan. Namun, mengingat lonjakan konflik agraria dalam satu dekade terakhir, pelaksanaan reforma agraria ini jelas membutuhkan komitmen yang kuat dan langkah konkret dari pemerintah.

Harapan atau Ilusi?

Dengan segala tantangan yang ada, cita-cita swasembada pangan dalam 4-5 tahun ke depan tampak seperti tugas yang sangat berat, jika bukan mustahil. Dari masalah lahan, krisis tenaga kerja di sektor pertanian, dampak perubahan iklim, hingga ketidakpastian produktivitas, semua faktor ini menambah kompleksitas permasalahan.

Meski demikian, harapan masih ada. Jika pemerintah mampu menghadapi tantangan ini dengan kebijakan yang tepat, investasi yang cukup dalam teknologi dan infrastruktur, serta komitmen untuk menyelesaikan masalah agraria, maka swasembada pangan bukanlah sekadar mimpi. Tapi tanpa langkah konkret, janji ini hanya akan menjadi harapan yang tertunda, sementara Indonesia terus bergantung pada impor pangan untuk memenuhi kebutuhan domestiknya. *Mukroni

Foto Kowantaranews

  • Berita Terkait

QRIS dan Uang Tunai: Dua Sisi dari Evolusi Pembayaran di Indonesia

Ledakan Ekonomi Pedas: Sambal Indonesia Mengguncang Dunia!

Keanekaragaman Hayati di Ujung Tanduk: Lenyapnya Satwa dan Habitat Indonesia!

Indonesia Menuju 2045: Berhasil Naik Kelas, Tapi Kemiskinan Semakin Mengancam?

Food Estate: Ilusi Ketahanan Pangan yang Berujung Malapetaka ?

Menjelang Akhir Jabatan, Jokowi Tinggalkan PR Besar: Pembebasan Lahan IKN Tersendat!

Pangan Indonesia di Ujung Tanduk: Fase Krusial Beras dan Gula Menuju Krisis!

Tambang Pasir Laut: Ancaman Mematikan bagi Ekosistem dan Kehidupan Pesisir Indonesia!

Duel Menteri Jokowi: Ekspor Pasir Laut atau Hancurkan Lautan Indonesia?

Lonjakan Konsumsi di Tengah Tekanan Ekonomi: Masyarakat Indonesia Bertahan dengan Tabungan!

Hilirisasi Tambang: Mesin Pertumbuhan Ekonomi yang Tak Kunjung Menyala

Impor Lagi? Karena Produksi Pangan Lokal Terlalu Mewah untuk Rakyat!

Stop! Impor Makanan Mengancam! Ketahanan Pangan Indonesia di Ujung Tanduk!

Selamat Datang di Kawasan Lindung: Hutan Hilang Dijamin!

Kongsi Gula Raksasa: Kuasai Tanah, Singkirkan Hutan di Merauke!

Ekspor Pasir Laut Dibuka: Keuntungan Instan, Kerusakan Lingkungan Mengancam Masa Depan!

APBN 2025: Anggaran Jumbo, Stimulus Mini untuk Ekonomi

“Investasi di IKN Melonjak, Tapi Pesawatnya Masih Cari Parkir”

Mandeknya Pengembalian Aset BLBI: Ujian Nyali dan Komitmen Pemerintah

Jeratan Hukum Fify Mulyani dalam Kasus Poligami dan Tindak Pidana Pencucian Uang

Skandal Kuota Haji Khusus: Dugaan Penyelewengan di Balik Penyelenggaraan Haji 2024

IKN di Persimpangan: Anggaran Menyusut, Investasi Swasta Diharapkan

Warteg Menolak IKN, Apa Warteg Menolak IKAN ?

Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang

Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online

Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani

Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu

Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi

Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya

Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan

Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.

Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang

KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat

Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?

Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka 

Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu

Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis

Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi

Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik

Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama

Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal

Kowartami  Resmikan  Warteg  Republik  Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat

Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit

Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik

Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi

Nongkrong Sambil Mencicip Surabi dengan Beragam Topping di Bandung

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *