Jakarta, Kowantaranews.com -Indonesia dikenal sebagai negeri yang kaya akan sumber daya alam, terbentang dari Sabang hingga Merauke, menyimpan harta yang melimpah di setiap sudutnya. Namun, di tengah kekayaan yang melimpah ini, rakyat Indonesia Timur masih terus terjerat dalam kemiskinan dan ketertinggalan yang mengakar. Kawasan yang kaya akan hasil bumi, tambang, perikanan, dan keindahan alam justru tetap berada dalam bayang-bayang ketidakadilan, dengan pembangunan dan kesejahteraan yang lebih berpihak pada wilayah barat Indonesia. Situasi ini terus berlanjut tanpa adanya perubahan signifikan, membuktikan bahwa janji kesejahteraan bagi rakyat Indonesia Timur masih sebatas retorika kosong.
Potret Ketimpangan Barat-Timur
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Triwulan II-2024 menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia didominasi oleh provinsi-provinsi di Pulau Jawa, yang menyumbang sekitar 57,04% dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) nasional. Sebagai perbandingan, Pulau Sumatra berkontribusi 22,08%, Kalimantan 8,18%, dan Sulawesi 7,16%. Sementara itu, Maluku dan Papua hanya menyumbang 2,70% dari PDRB. Angka-angka ini menggambarkan betapa timpangnya kontribusi ekonomi kawasan barat dan timur, dengan mayoritas kekayaan yang dihasilkan kawasan timur justru tidak dinikmati oleh masyarakatnya sendiri.
Ironisnya, daerah seperti Papua dan Maluku yang kaya sumber daya alam, termasuk tambang emas, tembaga, nikel, hingga perikanan yang melimpah, justru memiliki angka kemiskinan tertinggi di Indonesia. Berdasarkan data BPS, dari 17 provinsi di kawasan timur, 13 di antaranya tercatat sebagai wilayah dengan tingkat kemiskinan tertinggi. Sementara di Jawa, meskipun banyak daerah maju dan berkembang pesat, ketimpangan ini malah semakin meningkat.
Alokasi Anggaran: Ketidakadilan yang Berlangsung Lama
Jika menelusuri keuangan negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 memperlihatkan adanya ketimpangan dalam distribusi anggaran. Dari total transfer ke daerah sebesar Rp857,6 triliun, kawasan timur hanya menerima sekitar Rp345,65 triliun. Bandingkan dengan Jawa Timur (Rp129,3 triliun), Jawa Barat (Rp121,93 triliun), dan Jawa Tengah (Rp111,89 triliun) yang secara total hampir menyamai seluruh anggaran untuk 17 provinsi di kawasan timur.
Minimnya alokasi anggaran bagi wilayah timur membuat mereka semakin kesulitan untuk mengejar ketertinggalan dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Sebagai contoh, realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada 2022 untuk seluruh provinsi di Sulawesi, Maluku, Papua, Bali, dan Nusa Tenggara hanya mencapai Rp75,1 triliun. Angka ini bahkan lebih kecil dibandingkan APBD DKI Jakarta pada periode yang sama, yang mencapai Rp77,9 triliun. Kondisi ini memperlihatkan bahwa kesenjangan antarwilayah sudah menjadi hal yang sistemik dan berlangsung lama.
Eksploitasi Tanpa Imbalan
Eksploitasi sumber daya alam di kawasan timur tidak hanya menimbulkan kerusakan lingkungan, tetapi juga menyisakan kemiskinan bagi penduduk lokal. Selama ini, hasil kekayaan dari tambang dan perikanan lebih banyak dinikmati oleh perusahaan-perusahaan besar yang berbasis di ibu kota, dengan sedikit sekali keuntungan yang kembali ke daerah asalnya. Sebagai contoh, sumber daya perikanan di perairan Indonesia bagian timur sangat besar, tetapi pemerintah sering gagal mengelola potensi tersebut secara adil. Pada 2015, Presiden Joko Widodo pernah mengungkapkan bahwa Indonesia merugi hingga Rp3.000 triliun per tahun akibat aktivitas penangkapan ikan ilegal di perairan timur. Kapal-kapal asing dengan mudahnya mengeksploitasi laut timur tanpa adanya perlindungan yang memadai.
Tambang emas di Papua, yang dioperasikan oleh perusahaan besar, mengirimkan hasil produksinya ke luar negeri, namun masyarakat di sekitar tambang tidak merasakan dampak kesejahteraan dari eksploitasi sumber daya alam mereka sendiri. Jalan dan infrastruktur di sekitar area tambang bahkan masih tertinggal jauh dibandingkan dengan daerah lain di Pulau Jawa.
Aspirasi Negara Federal untuk Menangani Ketimpangan
Situasi ketimpangan yang dialami Indonesia Timur membuat banyak pihak kembali menggagas ide negara federal sebagai solusi. Dalam sistem federal, daerah-daerah akan memiliki otonomi lebih besar dalam mengelola kekayaan mereka sendiri, memungkinkan pembangunan yang lebih merata dan sesuai dengan kebutuhan lokal. Gagasan negara federal ini sebenarnya bukan hal baru, tetapi sudah muncul jauh sebelum Indonesia merdeka.
Pada tahun 1917, R.M.S. Soerio Koesoemo, Satiman, dan Abdul Rachman dari Komite Nasionalisme Jawa menekankan perlunya mempertahankan budaya dan identitas lokal, suatu pemikiran yang akhirnya berkembang menjadi gagasan federasi. Bahkan Hendrikus Colijn, seorang politisi dan militer Belanda, dalam brosurnya tahun 1918, pernah mengusulkan sistem federal untuk Hindia Belanda, dengan harapan pembangunan di setiap wilayah dapat berlangsung lebih adil dan sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Namun, wacana negara federal di Indonesia sempat meredup, terutama setelah proklamasi kemerdekaan dan adanya propaganda yang mengaitkan negara federal dengan kepentingan kolonial. Hal ini membuat federalisme dianggap sebagai ancaman terhadap persatuan nasional. Padahal, tujuan utama dari federasi adalah memberikan otonomi yang lebih besar pada daerah untuk mengurus kebutuhan mereka sendiri tanpa harus bergantung pada pemerintah pusat.
Baca juga : Menuju Swasembada Pangan: Misi Mustahil atau Harapan yang Tertunda?
Baca juga : QRIS dan Uang Tunai: Dua Sisi dari Evolusi Pembayaran di Indonesia
Baca juga : Ledakan Ekonomi Pedas: Sambal Indonesia Mengguncang Dunia!
Jalan Keluar atau Ancaman Disintegrasi?
Banyak yang beranggapan bahwa mengembalikan wacana federalisme di Indonesia bisa berpotensi memecah belah bangsa. Namun, sesungguhnya federalisme bukanlah disintegrasi, melainkan sebuah pendekatan lain dalam mengelola negara yang sangat heterogen. Mengingat Indonesia terdiri dari ratusan suku dan budaya yang tersebar di berbagai pulau, federalisme bisa menjadi pilihan untuk meredakan ketegangan yang muncul akibat ketidakadilan dalam distribusi sumber daya.
Model federal memungkinkan daerah untuk merancang pembangunan sesuai dengan karakteristik masing-masing, termasuk dalam hal pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Dengan kebijakan yang terdesentralisasi, masyarakat di daerah akan merasa memiliki kontrol lebih besar terhadap masa depan mereka, mengurangi potensi konflik akibat ketimpangan. Kawasan timur, yang selama ini tertinggal dan termarjinalkan, bisa mendapatkan kesempatan lebih besar untuk maju dan berkembang.
Menakar Kemauan Politik Pemerintah Pusat
Untuk mewujudkan kesejahteraan yang merata, pemerintah pusat harus memiliki kemauan politik yang kuat dalam menangani ketimpangan yang ada. Selama ini, perubahan dalam kebijakan pemerintahan cenderung setengah hati dan tidak menyentuh akar permasalahan. Kebijakan-kebijakan yang lebih pro-kawasan timur masih terhambat oleh dominasi politik dari Pulau Jawa.
Penunjukan kabinet dan pejabat yang didominasi oleh tokoh-tokoh dari Jawa sering kali menimbulkan kecenderungan kebijakan yang berpusat pada kepentingan Jawa. Tidak heran jika muncul ungkapan sarkastis bahwa “kucing lebih diterima di istana daripada orang dari kawasan timur.” Ungkapan ini menggambarkan perasaan keterpinggiran masyarakat kawasan timur dalam kebijakan nasional yang tidak berpihak pada mereka.
Membangun Kesadaran dan Semangat Lokal
Masyarakat di kawasan timur tidak bisa lagi hanya berharap dari pemerintah pusat. Kesadaran untuk memperjuangkan hak-hak dan kepentingan sendiri harus mulai dibangun. Semangat lokal ini penting untuk mendorong masyarakat agar lebih aktif dalam memperjuangkan kesejahteraan mereka, baik melalui jalur politik maupun ekonomi.
Beberapa tokoh dari kawasan timur, seperti Ben Mboi, mantan Gubernur Nusa Tenggara Timur, juga pernah mengusulkan bentuk federal sebagai solusi untuk pemerataan pembangunan di kawasan timur. Ia mengingatkan bahwa manajemen sentralistik telah gagal memenuhi kebutuhan daerah yang beragam. Federalisme, menurut Ben Mboi, bukanlah ancaman, melainkan cara untuk menyeimbangkan distribusi kekayaan dan kesejahteraan.
Mengubah Sistem untuk Masa Depan yang Lebih Adil
Sudah hampir 79 tahun Indonesia berdiri, dan selama itu pula kawasan timur masih tertinggal dalam banyak aspek. Waktu yang cukup panjang untuk membuktikan bahwa sistem yang ada saat ini perlu evaluasi menyeluruh. Jika sistem sentralistik tidak mampu memberikan kesejahteraan yang merata, mungkin sudah saatnya Indonesia mempertimbangkan bentuk pemerintahan yang lebih otonom bagi daerah-daerah, khususnya di kawasan timur.
Memastikan tercapainya kesejahteraan bagi seluruh rakyat adalah tanggung jawab setiap pemerintahan. Federalisme mungkin tidak akan langsung mengubah keadaan dalam semalam, tetapi memberi daerah kesempatan untuk mengelola diri mereka sendiri bisa membuka jalan menuju pemerataan yang lebih adil. Hanya dengan cara berbeda, hasil berbeda dapat dicapai.
Dengan kondisi saat ini, masyarakat Indonesia Timur menantikan janji-janji pembangunan yang tidak hanya menjadi angin lalu, tetapi betul-betul diwujudkan. *Mukroni
Sumber Kompas
Foto theconversation.com
- Berita Terkait
Menuju Swasembada Pangan: Misi Mustahil atau Harapan yang Tertunda?
QRIS dan Uang Tunai: Dua Sisi dari Evolusi Pembayaran di Indonesia
Ledakan Ekonomi Pedas: Sambal Indonesia Mengguncang Dunia!
Keanekaragaman Hayati di Ujung Tanduk: Lenyapnya Satwa dan Habitat Indonesia!
Indonesia Menuju 2045: Berhasil Naik Kelas, Tapi Kemiskinan Semakin Mengancam?
Food Estate: Ilusi Ketahanan Pangan yang Berujung Malapetaka ?
Menjelang Akhir Jabatan, Jokowi Tinggalkan PR Besar: Pembebasan Lahan IKN Tersendat!
Pangan Indonesia di Ujung Tanduk: Fase Krusial Beras dan Gula Menuju Krisis!
Tambang Pasir Laut: Ancaman Mematikan bagi Ekosistem dan Kehidupan Pesisir Indonesia!
Duel Menteri Jokowi: Ekspor Pasir Laut atau Hancurkan Lautan Indonesia?
Lonjakan Konsumsi di Tengah Tekanan Ekonomi: Masyarakat Indonesia Bertahan dengan Tabungan!
Hilirisasi Tambang: Mesin Pertumbuhan Ekonomi yang Tak Kunjung Menyala
Impor Lagi? Karena Produksi Pangan Lokal Terlalu Mewah untuk Rakyat!
Stop! Impor Makanan Mengancam! Ketahanan Pangan Indonesia di Ujung Tanduk!
Selamat Datang di Kawasan Lindung: Hutan Hilang Dijamin!
Kongsi Gula Raksasa: Kuasai Tanah, Singkirkan Hutan di Merauke!
Ekspor Pasir Laut Dibuka: Keuntungan Instan, Kerusakan Lingkungan Mengancam Masa Depan!
APBN 2025: Anggaran Jumbo, Stimulus Mini untuk Ekonomi
“Investasi di IKN Melonjak, Tapi Pesawatnya Masih Cari Parkir”
Mandeknya Pengembalian Aset BLBI: Ujian Nyali dan Komitmen Pemerintah
Jeratan Hukum Fify Mulyani dalam Kasus Poligami dan Tindak Pidana Pencucian Uang
Skandal Kuota Haji Khusus: Dugaan Penyelewengan di Balik Penyelenggaraan Haji 2024
IKN di Persimpangan: Anggaran Menyusut, Investasi Swasta Diharapkan
Warteg Menolak IKN, Apa Warteg Menolak IKAN ?
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat
Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit
Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik
Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi
Nongkrong Sambil Mencicip Surabi dengan Beragam Topping di Bandung