Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada awal 2025 memicu perdebatan sengit di kalangan ekonom, masyarakat, dan pelaku usaha. Di tengah kondisi ekonomi yang rapuh, kebijakan ini dianggap sebagai langkah berisiko yang dapat membawa lebih banyak kerugian daripada manfaat. Dengan konsumsi masyarakat yang menyumbang lebih dari separuh produk domestik bruto (PDB), kebijakan yang melemahkan daya beli masyarakat berpotensi mengguncang sendi-sendi ekonomi dan menghambat target ambisius Indonesia menjadi negara maju pada 2045.
Konsumsi: Motor Utama Ekonomi yang Melemah
Konsumsi rumah tangga, yang menyumbang sekitar 50-55% dari PDB, menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, daya beli masyarakat menunjukkan tren penurunan yang mengkhawatirkan. Menurut data Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, sejak 2022, upah riil pekerja mengalami penurunan signifikan. Bahkan, pada 2024, pertumbuhan upah riil mencatat angka negatif, memperburuk situasi ekonomi rumah tangga.
Dampaknya sangat terasa di kelas menengah, yang menyumbang sekitar 40% dari total konsumsi nasional. Dalam lima tahun terakhir, sebanyak 9,7 juta orang dari kelompok ini jatuh ke kategori ekonomi yang lebih rendah. Bagi kelompok ini, konsumsi tidak lagi ditopang oleh pendapatan semata, melainkan oleh pengurasan tabungan yang semakin menipis atau pinjaman daring. Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menunjukkan bahwa rata-rata saldo rekening kelompok masyarakat dengan tabungan di bawah Rp100 juta turun drastis dari Rp3 juta pada 2019 menjadi hanya Rp1,8 juta pada 2024.
“Daya beli masyarakat makin tergerus. Yang punya tabungan kini hidup dari tabungan, sedangkan yang tidak punya tabungan terpaksa meminjam,” ujar Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal. Hal ini terlihat dari meningkatnya tren pinjaman online (pinjol) sebagai alternatif terakhir bagi masyarakat untuk bertahan di tengah tekanan ekonomi.
Kenaikan PPN: Beban Tambahan di Tengah Daya Beli yang Melemah
Di tengah situasi ini, rencana kenaikan tarif PPN menimbulkan keresahan luas. Kenaikan pajak konsumsi tersebut dipandang sebagai beban tambahan yang tidak hanya akan menekan daya beli masyarakat, tetapi juga menimbulkan efek domino terhadap sektor-sektor lain.
Menurut Faisal, kebijakan ini dapat memperburuk kondisi ekonomi yang sudah lemah. “Kalau daya beli terus turun, konsumsi akan melemah, industri manufaktur tidak bergerak, dan investasi domestik bisa lesu. Pada akhirnya, target pertumbuhan ekonomi ambisius pemerintah hanya akan menjadi angan-angan,” ujarnya.
Baca juga : Revolusi Pangan 2025: Menjemput Kemakmuran dengan Swasembada dan Nutrisi Gratis
Baca juga : Indonesia: Magnet Besar, Tantangan Tak Berujung bagi Investor AS
Baca juga : Megaproyek Semikonduktor AS: Miliaran Dolar untuk Mengubah Peta Teknologi Dunia
Efek Domino pada Perekonomian
Melemahnya konsumsi masyarakat akan berdampak langsung pada sektor investasi dan manufaktur. Investasi, yang menjadi motor ekonomi kedua terbesar setelah konsumsi, kemungkinan besar akan melambat akibat prospek pasar domestik yang tidak menjanjikan. Ketika permintaan rendah, investor ragu untuk melakukan ekspansi usaha atau menanamkan modal baru.
Sementara itu, industri manufaktur, yang menyumbang bagian terbesar dari lapangan usaha, juga akan terkena imbas. Jika masyarakat mengurangi pembelian barang dan jasa, produksi manufaktur akan menurun. Hal ini bisa menyebabkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang memperburuk situasi ekonomi.
“Industri manufaktur adalah urat nadi perekonomian kita. Kalau mereka tidak mampu bertahan karena konsumsi turun, maka efeknya akan menjalar ke sektor-sektor lain,” kata Faisal.
Pertumbuhan Ekonomi Terancam Stagnasi
CORE Indonesia memperkirakan bahwa kebijakan kenaikan PPN dan melemahnya daya beli masyarakat akan menyeret pertumbuhan ekonomi nasional pada 2025 ke kisaran 4,8%-5,0%. Angka ini jauh dari target 8% yang dicanangkan pemerintah untuk mewujudkan cita-cita Indonesia menjadi negara maju pada 2045. Proyeksi ini sejalan dengan analisis Institute for Development of Economics and Finance (Indef), yang memprediksi pertumbuhan ekonomi 2025 berada di level 4,83%.
Dengan target pertumbuhan ekonomi yang meleset, pemerintah juga berisiko menghadapi kesenjangan penerimaan pajak atau shortfall. Direktur Riset CORE Indonesia Akhmad Akbar Sutamto menyatakan bahwa proyeksi tambahan penerimaan dari kenaikan tarif PPN kemungkinan tidak signifikan.
“Kalau konsumsi melemah, transaksi barang dan jasa juga akan menurun. Pada akhirnya, target penerimaan pajak bisa tidak tercapai, sementara roda ekonomi melambat,” ujar Akhmad.
Kritik dan Saran Alternatif
Kebijakan kenaikan PPN tidak luput dari kritik tajam. Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menyarankan agar pemerintah menunjukkan kebijakan yang lebih bijak dengan memperluas kategori barang dan jasa yang bebas PPN. Saat ini, beberapa barang kebutuhan pokok, seperti beras, daging, susu, dan telur, serta jasa medis dan pendidikan, sudah dikecualikan dari pungutan PPN.
“Pemerintah bisa memperluas pengecualian ini. Misalnya, makanan olahan yang kini dianggap kebutuhan pokok juga bisa dibebaskan dari PPN,” kata Misbakhun. Langkah ini, menurutnya, dapat membantu meredam dampak kenaikan pajak pada daya beli masyarakat. (Kompas.id, 25/11/2024)
Namun, di luar itu, beberapa ekonom juga mendesak pemerintah untuk menunda kenaikan tarif PPN hingga kondisi ekonomi lebih stabil. “Indonesia membutuhkan kebijakan fiskal yang lebih adaptif. Tidak ada gunanya meningkatkan penerimaan pajak jika dampaknya adalah penurunan ekonomi secara keseluruhan,” ujar Faisal.
Mengorbankan Mimpi Indonesia Maju?
Rencana pemerintah untuk menaikkan PPN pada 2025 ini datang di saat yang krusial. Tahun tersebut dianggap sebagai titik awal bagi Indonesia untuk melakukan lompatan ekonomi, dengan target pertumbuhan 8% dan peta jalan menuju negara maju pada 2045. Namun, lompatan ini mustahil tercapai jika pemerintah gagal menjaga konsumsi sebagai mesin utama perekonomian.
Kritikus mengingatkan bahwa kebijakan yang tidak hati-hati dapat membawa Indonesia ke arah yang sebaliknya—penurunan ekonomi yang berkepanjangan. Dengan daya beli masyarakat yang melemah, investasi yang tersendat, dan industri manufaktur yang terancam stagnasi, cita-cita Indonesia maju tampaknya berada di ujung tanduk.
Sebagai negara dengan ekonomi berbasis konsumsi, kebijakan fiskal yang tidak selaras dengan kondisi masyarakat dapat menjadi bumerang. Meskipun tujuan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak demi pembangunan dapat dimengerti, pendekatan ini perlu dipertimbangkan ulang agar tidak justru merusak fondasi ekonomi itu sendiri.
Di tengah berbagai tantangan, pemerintah harus menghadapi pilihan sulit: tetap menaikkan PPN dengan risiko melemahkan ekonomi atau mencari solusi alternatif yang lebih ramah terhadap masyarakat. Dengan suara-suara dari berbagai pihak yang menyerukan kebijakan yang lebih bijak, keputusan pemerintah pada 2025 akan menjadi penentu arah perekonomian Indonesia. Akankah mimpi Indonesia menjadi negara maju tetap hidup, atau justru karam akibat kebijakan yang kurang tepat? Hanya waktu yang akan menjawab. By Mukroni
Foto Kowantaranews
- Berita Terkait
Revolusi Pangan 2025: Menjemput Kemakmuran dengan Swasembada dan Nutrisi Gratis
Indonesia: Magnet Besar, Tantangan Tak Berujung bagi Investor AS
Dunia Bersatu di Tangan Prabowo: Perjanjian Bersejarah dengan Kanada dan Peru di KTT APEC!
Rapat Elite Kabinet! Bahlil Pimpin Pertemuan Akbar Subsidi Energi demi Masa Depan Indonesia
Ekonomi Indonesia Terancam ‘Macet’, Target Pertumbuhan 8% Jadi Mimpi?
Janji Pemutihan Utang Petani: Kesejahteraan atau Jurang Ketergantungan Baru?
Indonesia Timur Terabaikan: Kekayaan Alam Melimpah, Warganya Tetap Miskin!
Menuju Swasembada Pangan: Misi Mustahil atau Harapan yang Tertunda?
QRIS dan Uang Tunai: Dua Sisi dari Evolusi Pembayaran di Indonesia
Ledakan Ekonomi Pedas: Sambal Indonesia Mengguncang Dunia!
Keanekaragaman Hayati di Ujung Tanduk: Lenyapnya Satwa dan Habitat Indonesia!
Indonesia Menuju 2045: Berhasil Naik Kelas, Tapi Kemiskinan Semakin Mengancam?
Food Estate: Ilusi Ketahanan Pangan yang Berujung Malapetaka ?
Menjelang Akhir Jabatan, Jokowi Tinggalkan PR Besar: Pembebasan Lahan IKN Tersendat!
Pangan Indonesia di Ujung Tanduk: Fase Krusial Beras dan Gula Menuju Krisis!
Tambang Pasir Laut: Ancaman Mematikan bagi Ekosistem dan Kehidupan Pesisir Indonesia!
Duel Menteri Jokowi: Ekspor Pasir Laut atau Hancurkan Lautan Indonesia?
Lonjakan Konsumsi di Tengah Tekanan Ekonomi: Masyarakat Indonesia Bertahan dengan Tabungan!
Hilirisasi Tambang: Mesin Pertumbuhan Ekonomi yang Tak Kunjung Menyala
Impor Lagi? Karena Produksi Pangan Lokal Terlalu Mewah untuk Rakyat!
Stop! Impor Makanan Mengancam! Ketahanan Pangan Indonesia di Ujung Tanduk!
Selamat Datang di Kawasan Lindung: Hutan Hilang Dijamin!
Kongsi Gula Raksasa: Kuasai Tanah, Singkirkan Hutan di Merauke!
Ekspor Pasir Laut Dibuka: Keuntungan Instan, Kerusakan Lingkungan Mengancam Masa Depan!
APBN 2025: Anggaran Jumbo, Stimulus Mini untuk Ekonomi
“Investasi di IKN Melonjak, Tapi Pesawatnya Masih Cari Parkir”
Mandeknya Pengembalian Aset BLBI: Ujian Nyali dan Komitmen Pemerintah
Jeratan Hukum Fify Mulyani dalam Kasus Poligami dan Tindak Pidana Pencucian Uang
Skandal Kuota Haji Khusus: Dugaan Penyelewengan di Balik Penyelenggaraan Haji 2024
IKN di Persimpangan: Anggaran Menyusut, Investasi Swasta Diharapkan
Warteg Menolak IKN, Apa Warteg Menolak IKAN ?
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat
Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit
Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik
Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi
Nongkrong Sambil Mencicip Surabi dengan Beragam Topping di Bandung