Jakarta, Kowantaranews.com -Di tengah hiruk-pikuk jalanan kota-kota besar Indonesia, para pengemudi ojek online (ojol) menjadi tulang punggung mobilitas masyarakat. Dengan helm di kepala dan jaket aplikasi berlogo mencolok, mereka melaju di antara kemacetan, mengantarkan penumpang, makanan, atau paket dengan kecepatan yang kerap bikin decak kagum. Namun, di balik keberanian mereka menembus risiko jalanan—dari kecelakaan hingga cuaca ekstrem—ada fakta yang mengkhawatirkan: sebanyak 1,75 juta pengemudi ojol di Indonesia belum terlindungi oleh jaminan sosial ketenagakerjaan dari BPJS Ketenagakerjaan. Sementara perusahaan aplikator berteriak “Gaspol!” untuk mengejar order, dan warteg menjadi pelipur lara perut kosong, nasib perlindungan sosial para pekerja ini masih terkatung-katung.
Realitas di Lapangan: Risiko Tinggi, Perlindungan Minim
Pekerjaan sebagai pengemudi ojol bukanlah profesi biasa. Setiap hari, mereka menghadapi risiko kecelakaan, mulai dari tabrakan ringan hingga insiden fatal. Data dari BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa hanya sekitar 250.000 dari total 1,75 juta pengemudi ojol yang aktif membayar iuran bulanan untuk program jaminan sosial. Artinya, lebih dari 80% pengemudi belum terdaftar, padahal program ini menawarkan manfaat krusial seperti Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) untuk biaya perawatan, Jaminan Kematian (JKM) untuk santunan keluarga, hingga bantuan pendidikan untuk anak-anak peserta.
Hingga kini, BPJS Ketenagakerjaan telah menyalurkan klaim senilai Rp 104 miliar kepada 7.200 pengemudi yang mengalami musibah. Angka ini menunjukkan dua sisi mata uang: di satu sisi, program ini terbukti membantu mereka yang terdaftar; di sisi lain, jumlah penerima manfaat yang kecil mencerminkan rendahnya partisipasi. Bagi mayoritas pengemudi yang belum terdaftar, kecelakaan kerja bisa berarti petaka finansial. Tanpa jaminan sosial, biaya rumah sakit, kehilangan pendapatan, atau bahkan beban keluarga yang ditinggalkan menjadi tanggungan pribadi.
Bayangkan seorang pengemudi bernama Budi, yang setiap hari keliling Jakarta dengan motor tuanya. Suatu hari, ia terlibat kecelakaan saat hujan deras. Motornya selip, dan ia terluka parah. Tanpa BPJS Ketenagakerjaan, Budi harus membayar biaya rumah sakit dari tabungannya yang pas-pasan, atau lebih buruk lagi, berutang. Sementara itu, keluarganya kehilangan sumber pendapatan utama. Cerita seperti ini bukan fiksi, melainkan realitas yang dihadapi ribuan pengemudi ojol setiap tahun.
Warteg: Pelipur Lara, Bukan Solusi
Di sela-sela kesibukan mengantar order, warteg (warung tegal) menjadi tempat singgah favorit para pengemudi ojol. Dengan harga terjangkau dan porsi mengenyangkan, warteg menawarkan nasi, sayur kolplay, ayam goreng, atau tempe bacem yang jadi “penutup perut” setelah berjam-jam di jalanan. Di warteg, mereka berbagi cerita, keluh kesah, dan tawa—momen sederhana yang menghibur di tengah kerasnya hidup sebagai pekerja informal. Namun, secangkir teh manis dan sepiring nasi campur tak bisa menggantikan jaminan sosial yang mereka butuhkan.
Warteg, meski jadi penyelamat perut, tak mampu menjawab tantangan struktural yang dihadapi pengemudi ojol. Banyak dari mereka mengaku kesulitan menyisihkan uang untuk iuran BPJS Ketenagakerjaan, yang sebenarnya relatif terjangkau—sekitar Rp 16.800 per bulan untuk manfaat dasar. Penghasilan harian yang fluktuatif, biaya hidup yang terus naik, dan ketidakpastian order membuat mereka memprioritaskan kebutuhan mendesak seperti bensin, cicilan motor, atau kebutuhan keluarga. Di sinilah ironinya: warteg bisa diandalkan untuk mengisi perut, tapi perlindungan jangka panjang tetap jadi mimpi yang sulit diraih.
Upaya Peningkatan Partisipasi: Kolaborasi dan Inovasi
Menghadapi masalah ini, BPJS Ketenagakerjaan tak tinggal diam. Mereka telah menjalin kerja sama dengan Kementerian Ketenagakerjaan dan berbagai komunitas pengemudi untuk meningkatkan kepesertaan. Salah satu ide inovatif adalah melibatkan perusahaan aplikator seperti Gojek dan Grab untuk memfasilitasi pembayaran iuran melalui sistem debit harian. Misalnya, setiap kali pengemudi menyelesaikan order, sebagian kecil penghasilan mereka otomatis dipotong untuk iuran BPJS. Sistem ini dianggap cocok dengan sifat kerja ojol yang fleksibel dan berbasis harian, sehingga tidak membebani mereka dengan pembayaran bulanan yang terasa berat.
Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, menegaskan bahwa pemerintah sedang berupaya menyesuaikan sistem jaminan sosial dengan karakteristik pekerja platform digital. Salah satu wacana yang dibahas adalah penguatan regulasi melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketenagakerjaan, yang diharapkan dapat mengakomodasi kebutuhan pekerja informal seperti pengemudi ojol. Yassierli menekankan bahwa perlindungan sosial bukan sekadar kewajiban, melainkan hak konstitusional setiap pekerja, sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.
Namun, upaya ini bukan tanpa hambatan. Banyak pengemudi yang masih skeptis terhadap manfaat BPJS Ketenagakerjaan, sebagian karena kurangnya sosialisasi, sebagian lagi karena pengalaman buruk dengan birokrasi. Selain itu, ketergantungan pada perusahaan aplikator untuk memfasilitasi iuran menimbulkan pertanyaan baru: apakah aplikator bersedia mengambil tanggung jawab ini, atau justru akan membebankan biaya tambahan kepada pengemudi?
Ketimpangan Relasi Kerja: Aplikator di Persimpangan
Di balik gemerlap aplikasi dan slogan “Gaspol!” yang memotivasi pengemudi untuk terus bekerja, ada ketimpangan relasi kerja yang menjadi sorotan. Timboel Siregar dari BPJS Watch menyoroti bahwa perusahaan aplikator memiliki kendali besar atas pengemudi—mulai dari penentuan tarif, distribusi order, hingga kebijakan penalti—namun tidak diwajibkan secara tegas untuk memastikan jaminan sosial. Padahal, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 5/2021 telah mengatur kewajiban perusahaan untuk mendaftarkan pekerja, termasuk dalam skema kemitraan seperti ojol, ke BPJS Ketenagakerjaan.
Siregar menilai bahwa ketimpangan ini berakar pada model bisnis platform digital, di mana pengemudi dianggap sebagai mitra, bukan karyawan. Status “mitra” ini memungkinkan aplikator menghindari tanggung jawab seperti pemberian jaminan sosial, cuti, atau tunjangan lainnya. Akibatnya, pengemudi ojol berada dalam posisi rentan: mereka menanggung risiko kerja penuh, sementara aplikator menikmati keuntungan besar dari setiap order. Siregar mendesak pemerintah untuk lebih tegas menegakkan regulasi dan, jika perlu, merevisi aturan yang ada agar lebih mengikat bagi aplikator.
Sebagai contoh, bayangkan jika Gojek atau Grab menerapkan kebijakan wajib pendaftaran BPJS untuk semua pengemudi aktif mereka. Ini bisa meningkatkan kepesertaan secara signifikan, tapi juga berpotensi menimbulkan resistensi dari aplikator yang khawatir akan biaya tambahan atau penurunan daya saing. Di sisi lain, pengemudi mungkin akan menyambut baik kebijakan ini, asalkan tidak mengurangi penghasilan bersih mereka. Tantangannya adalah menemukan titik keseimbangan yang adil bagi semua pihak.
Baca juga : PHK Bikin Kantoran Jadi Penutup Warteg: Prabowo Geleng-Geleng, Orek Tempe Tetap Sold Out!
Baca juga : Jobless Jadi Trend, Dompet Ikut Send: BPS vs IMF Panas, Warteg Tetap Menang!
Baca juga : Ekonomi Loyo, Pengangguran Melejit: Warteg Tetap Ramai, Tapi Dompet Makin Sepi!
Jalan ke Depan: Intervensi dan Komitmen Bersama
Untuk mengatasi krisis perlindungan sosial ini, diperlukan intervensi yang komprehensif. Pertama, pemerintah harus memperkuat regulasi dan pengawasan terhadap perusahaan aplikator. Sanksi tegas bagi pelanggar Permenaker No. 5/2021 bisa menjadi sinyal kuat bahwa negara serius melindungi pekerja informal. Kedua, inovasi seperti sistem debit harian untuk iuran BPJS perlu diuji coba secara luas, dengan dukungan teknologi dari aplikator. Ketiga, sosialisasi yang masif dan mudah dipahami harus dilakukan untuk mengedukasi pengemudi tentang manfaat jaminan sosial, sehingga mereka tidak lagi melihat iuran sebagai beban, melainkan investasi masa depan.
Peran komunitas pengemudi juga tak kalah penting. Organisasi seperti Serikat Pekerja Ojol atau komunitas informal di warteg bisa menjadi kanal untuk menyampaikan aspirasi dan mendorong partisipasi. Misalnya, komunitas bisa mengadakan diskusi rutin tentang pentingnya BPJS, atau bahkan membantu pengemudi yang kesulitan mendaftar karena kendala teknis.
Di sisi lain, perusahaan aplikator harus menunjukkan komitmen moral dan sosial. Sebagai entitas yang mengambil keuntungan dari kerja keras pengemudi, mereka memiliki tanggung jawab untuk memastikan kesejahteraan “mitra” mereka. Inisiatif seperti subsidi iuran BPJS atau kampanye bersama dengan pemerintah bisa menjadi langkah awal yang positif.
Warteg Tetap Setia, Tapi Masa Depan Butuh Lebih
Sementara warteg tetap setia menjadi tempat singgah para pengemudi ojol, masa depan mereka bergantung pada langkah nyata dari semua pemangku kepentingan. Perlindungan sosial bukan sekadar soal iuran atau klaim, melainkan tentang martabat dan keadilan bagi pekerja yang telah menggerakkan roda ekonomi digital. Dengan kolaborasi yang kuat antara pemerintah, aplikator, dan komunitas, serta regulasi yang progresif, mimpi untuk melihat semua pengemudi ojol terlindungi bukan lagi isapan jempol. Hingga saat itu tiba, warteg akan terus jadi saksi bisu perjuangan mereka—satu piring nasi pada satu waktu. By Mukroni
Foto Kowantaranews
- Berita Terkait
PHK Bikin Kantoran Jadi Penutup Warteg: Prabowo Geleng-Geleng, Orek Tempe Tetap Sold Out!
Jobless Jadi Trend, Dompet Ikut Send: BPS vs IMF Panas, Warteg Tetap Menang!
Ekonomi Loyo, Pengangguran Melejit: Warteg Tetap Ramai, Tapi Dompet Makin Sepi!
Ekonomi Indonesia 2025: Konsumsi Loyo, Rupiah Goyang, Warteg Tetap Jaya!
PMI Anjlok, IKI Goyang, Warteg Tetap Jaya: Industri Indonesia Lawan Badai Tarif Trump!
PHK Mengintai, Tarif Trump Menghantui, Warteg: Tenang, Ada Telor Dadar!
Warteg Halal Harap-Harap Cemas: UMKM Indonesia Lawan Tarif Trump dan Gempuran Impor China!
Prabowo Jalan-jalan ke China, ASEAN Cuma Dapat Senyum dari
GPN & QRIS: Warteg Go Digital, Transaksi Nusantara Gaspol, AS Cuma Bisa Cemas!
Indonesia vs AS: Tarif Impor Bikin Heboh, Warteg Jagokan Dompet Digital!
Utang Rp 250 Triliun Numpuk, Pemerintah Frontloading Biar Warteg Tetep Jualan Tempe!
Indonesia ke AS: ‘Tarif Dikurangin Dong, Kami Beli Energi, Kedelai, Sekalian Stok Warteg!’
TikTok Tawar Tarif: AS-China Ribut, Indonesia Santai di Warteg!
Kelapa Meroket, Warteg Meratap: Drama Harga di Pasar Negeri Sawit!
Trump Tarik Tarif, Rupiah Rontok, Warteg pun Waswas: Drama Ekonomi 2025!
Danantara dan Dolar: Prabowo Bikin Warteg Nusantara atau Kebingungan?
Warteg Lawan Tarif Trump: Nasi Oreg Tempe Bikin Dunia Ketagihan!
Gempuran Koperasi Desa Merah Putih: 70.000 Pusat Ekonomi Baru Siap Mengubah Indonesia!
1 Juta Mimpi Terhambat: UMKM Berjuang Melawan Kredit Macet
Warteg Jadi Garda Terdepan Revolusi Gizi Nasional!
Skema Makan Bergizi Gratis: Asa Besar yang Membebani UMKM
Revolusi Gizi: Makan Gratis untuk Selamatkan Jutaan Jiwa dari Kelaparan
Gebrakan Sejarah: Revolusi Makan Bergizi Gratis, Ekonomi Lokal Bangkit!
PPN 12 Persen: Harapan atau Ancaman Bagi Ekonomi Rakyat?
Menuju Indonesia Tanpa Impor: Mimpi Besar atau Bom Waktu?
Gebrakan PPN 12 Persen: Strategi Berani yang Tak Menjamin Kas Negara Melejit!
Rupiah di Ujung Tanduk: Bank Indonesia Siapkan “Senjata Pamungkas” untuk Lawan Gejolak Dolar AS!
PPN Naik, Dompet Rakyat Tercekik: Ancaman Ekonomi 2025 di Depan Mata!
12% PPN: Bom Waktu untuk Ekonomi Rakyat Kecil
Rapat Elite Kabinet! Bahlil Pimpin Pertemuan Akbar Subsidi Energi demi Masa Depan Indonesia
Ekonomi Indonesia Terancam ‘Macet’, Target Pertumbuhan 8% Jadi Mimpi?
Janji Pemutihan Utang Petani: Kesejahteraan atau Jurang Ketergantungan Baru?
Indonesia Timur Terabaikan: Kekayaan Alam Melimpah, Warganya Tetap Miskin!
Menuju Swasembada Pangan: Misi Mustahil atau Harapan yang Tertunda?
QRIS dan Uang Tunai: Dua Sisi dari Evolusi Pembayaran di Indonesia
Ledakan Ekonomi Pedas: Sambal Indonesia Mengguncang Dunia!
Keanekaragaman Hayati di Ujung Tanduk: Lenyapnya Satwa dan Habitat Indonesia!
Indonesia Menuju 2045: Berhasil Naik Kelas, Tapi Kemiskinan Semakin Mengancam?
Food Estate: Ilusi Ketahanan Pangan yang Berujung Malapetaka ?
Menjelang Akhir Jabatan, Jokowi Tinggalkan PR Besar: Pembebasan Lahan IKN Tersendat!
Pangan Indonesia di Ujung Tanduk: Fase Krusial Beras dan Gula Menuju Krisis!
Tambang Pasir Laut: Ancaman Mematikan bagi Ekosistem dan Kehidupan Pesisir Indonesia!
Duel Menteri Jokowi: Ekspor Pasir Laut atau Hancurkan Lautan Indonesia?
Lonjakan Konsumsi di Tengah Tekanan Ekonomi: Masyarakat Indonesia Bertahan dengan Tabungan!
Hilirisasi Tambang: Mesin Pertumbuhan Ekonomi yang Tak Kunjung Menyala
Impor Lagi? Karena Produksi Pangan Lokal Terlalu Mewah untuk Rakyat!
Stop! Impor Makanan Mengancam! Ketahanan Pangan Indonesia di Ujung Tanduk!
Selamat Datang di Kawasan Lindung: Hutan Hilang Dijamin!
Kongsi Gula Raksasa: Kuasai Tanah, Singkirkan Hutan di Merauke!
Ekspor Pasir Laut Dibuka: Keuntungan Instan, Kerusakan Lingkungan Mengancam Masa Depan!
APBN 2025: Anggaran Jumbo, Stimulus Mini untuk Ekonomi
“Investasi di IKN Melonjak, Tapi Pesawatnya Masih Cari Parkir”
Mandeknya Pengembalian Aset BLBI: Ujian Nyali dan Komitmen Pemerintah
Jeratan Hukum Fify Mulyani dalam Kasus Poligami dan Tindak Pidana Pencucian Uang
Skandal Kuota Haji Khusus: Dugaan Penyelewengan di Balik Penyelenggaraan Haji 2024
IKN di Persimpangan: Anggaran Menyusut, Investasi Swasta Diharapkan
Warteg Menolak IKN, Apa Warteg Menolak IKAN ?
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat
Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit
Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik
Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi
Nongkrong Sambil Mencicip Surabi dengan Beragam Topping di Bandung