Jakarta, Kowantaranews.com -Di tengah hiruk-pikuk ekonomi global yang kian tak menentu, keputusan The Federal Reserve (The Fed) untuk mempertahankan suku bunga di kisaran 4,25–4,5% bagaikan petir di siang bolong. Bukan cuma Wall Street yang gelisah, tetapi juga Bank Indonesia (BI) yang kini harus berjalan di atas tali tipis untuk menjaga stabilitas rupiah sambil menggenjot pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, rakyat Indonesia tetap setia nongkrong di warteg, memesan nasi orek tempe dengan telur asin, seolah dunia moneter tak pernah goyah. Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Mari kita ulas dengan sedikit bumbu humor, tapi tetap penuh fakta.
The Fed: “Kami Tetap Cool, Trump Jangan Ngamuk!”
Jerome Powell, bos The Fed, tampil dengan wajah serius namun penuh percaya diri saat mengumumkan bahwa suku bunga AS akan tetap tinggi. Alasan utamanya? Inflasi yang masih mengintai seperti tamu tak diundang, ditambah kekhawatiran pengangguran yang bisa melonjak akibat kebijakan tarif proteksionis ala Donald Trump. “Kami fokus pada data, bukan drama politik,” ujar Powell, seolah menyindir cuitan Trump di media sosial yang menyebutnya “terlambat bertindak” dan “lelet mikir.”
Powell menegaskan bahwa ekonomi AS masih kokoh seperti batu karang, meski ombak perdagangan global sedang bergolak. Kebijakan tarif Trump, yang menargetkan impor dari China dan negara lain, diprediksi bakal mengerek harga barang dan memicu inflasi. Di sisi lain, tarif ini juga bisa memukul sektor tenaga kerja AS, terutama di industri yang bergantung pada rantai pasok global. Dengan kata lain, The Fed sedang main catur di tengah badai, dan mereka memilih untuk tidak buru-buru memindahkan bidak.
Namun, Trump bukan tipe yang diam saja. Lewat serangkaian cuitan di platform X, ia menyerang Powell, menyebut kebijakan The Fed “konyol” dan menolak klaim bahwa inflasi atau pengangguran sedang mengancam. Bagi Trump, suku bunga rendah adalah resep ajaib untuk memanaskan mesin ekonomi AS, terutama setelah ia kembali berkuasa. Konflik ini bukan sekadar drama politik, tetapi juga sinyal bahaya bagi pasar global. Ketegangan antara Gedung Putih dan The Fed mengingatkan kita betapa pentingnya independensi bank sentral, karena kalau tidak, pasar bisa panik lebih hebat daripada antrean di warteg saat jam makan siang.
Bank Indonesia: Antara Rupiah dan Mimpi Pertumbuhan
Jauh di Jakarta, Gubernur BI Perry Warjiyo mungkin sedang menatap layar monitor dengan dahi berkerut. Keputusan The Fed membuat ruang gerak BI menyempit seperti parkiran motor di pasar tradisional. Suku bunga acuan BI yang kini bertengger di 5,75% tak bisa sembarangan diturunkan. Kenapa? Karena kalau BI nekat memotong suku bunga, rupiah bisa terjun bebas lebih cepat daripada harga sayur kolplay di musim hujan. Ditambah lagi, pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal pertama 2025 cuma mencapai 4,87%, level terendah sejak 2021. Ini artinya, ekonomi sedang ngos-ngosan, tapi BI tak punya banyak amunisi untuk nyanyi “semua pasti bisa dilupain.”
Ada beberapa faktor eksternal yang bikin BI tambah pusing. Pertama, suku bunga AS yang tinggi membuat investor global lebih suka menyimpan duit di obligasi AS ketimbang di pasar emerging seperti Indonesia. Akibatnya, aliran modal keluar (capital outflow) jadi momok menakutkan. Kedua, depresiasi yuan China akibat perang dagang dengan AS ikut memukul sentimen investor. Ketiga, gejolak geopolitik—dari ketegangan di Timur Tengah hingga isu di Laut China Selatan—membuat pasar keuangan global serasa roller coaster.
Yang lebih bikin deg-degan, cadangan devisa Indonesia turun $4,6 miliar pada April 2025. Penyebabnya? BI harus keluar masuk pasar untuk menahan amukan rupiah yang ogah diam, plus membayar utang luar negeri yang jatuh tempo. Bayangkan, ini seperti ibu-ibu warteg yang harus bayar supplier sambil nyanyi “stok beras menipis, tapi pelanggan tetep ramai.” Perry Warjiyo sendiri bilang BI akan terus jaga stabilitas, tapi kalau ada celah, mereka siap melonggarkan kebijakan. Tapi kapan celah itu datang? Sepertinya harus nunggu The Fed kasih kode dulu.
Proyeksi BI: Sabun Apa yang Paling Genit?
BI diprediksi bakal mempertahankan suku bunga hingga awal 2026, seperti sabun colek yang setia membersihkan noda walau busanya dikit. Tujuannya jelas: menjaga rupiah agar tidak lari ke jurang, mengendalikan inflasi impor, dan memberi nafas buat pertumbuhan ekonomi. Tapi ini bukan tugas mudah. Inflasi impor bisa datang dari mana saja—kenaikan harga minyak akibat gejolak geopolitik, atau biaya barang impor yang naik gara-gara tarif global. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi yang lesu butuh suntikan, tapi BI tak bisa gegabah.
Perry Warjiyo mungkin sedang berdoa agar kondisi eksternal membaik, misalnya kalau The Fed tiba-tiba bilang, “Oke, kami potong suku bunga!” atau kalau perang dagang AS-China reda seperti sinetron yang akhirnya tamat. Tapi untuk saat ini, BI harus tetap main aman, seperti penutup warteg yang selalu sigap menutup lauk dari lalat.
Tantangan Global: Dunia Serasa Main Monopoli
Di panggung global, kebijakan tarif Trump ibarat pemain Monopoli yang beli semua properti dan minta sewa selangit. Perang dagang AS-China membuat proyeksi ekonomi global suram, termasuk buat Indonesia yang bergantung pada ekspor komoditas seperti batu bara dan minyak sawit. Kalau permintaan dari China turun, dompet Indonesia bisa ikut kempis.
Selain itu, pasar modal global sedang dalam mode “risk-off,” alias investor kabur ke aset aman seperti dolar AS atau emas. Ini bikin mata uang emerging markets, termasuk rupiah, serasa naik perahu di tengah badai. Volatilitas ini diperparah oleh suku bunga AS yang tinggi, yang membuat obligasi AS jadi primadona dibandingkan saham atau obligasi di negara seperti Indonesia.
Baca juga : Ojol Belum BPJS, Aplikator Bilang ‘Gaspol!’, Warteg Jadi Penutup Perut!
Baca juga : PHK Bikin Kantoran Jadi Penutup Warteg: Prabowo Geleng-Geleng, Orek Tempe Tetap Sold Out!
Baca juga : Jobless Jadi Trend, Dompet Ikut Send: BPS vs IMF Panas, Warteg Tetap Menang!
Indonesia: Rupiah Goyang, Warteg Tetap Jaya
Di dalam negeri, dampaknya terasa nyata. Pertumbuhan ekonomi yang melambat membuat pemerintah harus mikir keras. Stimulus dibutuhkan, tapi BI tak bisa main sembarangan. Kalau suku bunga dipotong, rupiah bisa jatuh lebih dalam, dan inflasi impor bakal bikin harga tempe di warteg naik. Tapi kalau suku bunga dipertahankan, pertumbuhan ekonomi bisa makin tersendat, dan pelaku usaha kecil seperti pemilik warteg bakal protes, “Mana duitnya, Bos?”
Rupiah sendiri sedang jadi penutup cerita yang tak pasti. BI terus intervensi pasar untuk menjaga nilai tukar, tapi cadangan devisa yang menipis bikin strategi ini seperti main sulap: kelihatan keren, tapi ada batasnya. Inflasi, untungnya, diproyeksikan terkendali untuk 2025–2026, tapi risiko kenaikan harga akibat tarif global dan biaya impor tetap mengintai.
Di tengah semua ini, warteg tetap jadi penutup cerita yang manis. Rakyat Indonesia, dengan ketangguhannya, tetap antre untuk nasi orek tempe, telur ceplok, dan sambal teri, serta telur asin. Warteg adalah bukti bahwa meski rupiah goyang dan The Fed bikin pusing, hidup harus tetap jalan. “Makan dulu, urusan ekonomi belakangan,” kata seorang pelanggan warteg di Jakarta sambil nyruput kopi manis.
BI Main Akrobat, Warteg Tetap Setia
Keputusan The Fed mempertahankan suku bunga tinggi adalah cerminan kompleksitas ekonomi global di era proteksionisme. Bagi Indonesia, ini seperti tantangan akrobat: BI harus menjaga keseimbangan antara stabilitas rupiah, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi. Ketegangan politik AS-The Fed jadi pengingat bahwa independensi bank sentral adalah harta karun yang harus dijaga, karena tanpa itu, pasar bisa ambruk lebih cepat daripada tumpukan piring di warteg saat jam sibuk.
Untuk Indonesia, langkah ke depan adalah koordinasi apik antara kebijakan moneter dan fiskal. Pemerintah bisa dorong stimulus lewat insentif UMKM atau proyek infrastruktur, sementara BI jaga benteng stabilitas. Diversifikasi ekspor, penguatan cadangan devisa, dan pemantauan inflasi impor juga jadi kunci. Yang pasti, ketangguhan rakyat Indonesia, dari pelaku warteg sampai pedagang pasar, akan terus jadi penyelamat di tengah badai ekonomi global.
Jadi, meski The Fed bikin BI pusing dan rupiah ngegas, warteg tetap ramai. Karena di Indonesia, nasi rames dan sambal adalah simbol bahwa hidup selalu ada cara untuk dinikmati, apa pun yang terjadi di pasar keuangan global. By Mukroni
Foto Kowantaranews
- Berita Terkait
Ojol Belum BPJS, Aplikator Bilang ‘Gaspol!’, Warteg Jadi Penutup Perut!
PHK Bikin Kantoran Jadi Penutup Warteg: Prabowo Geleng-Geleng, Orek Tempe Tetap Sold Out!
Jobless Jadi Trend, Dompet Ikut Send: BPS vs IMF Panas, Warteg Tetap Menang!
Ekonomi Loyo, Pengangguran Melejit: Warteg Tetap Ramai, Tapi Dompet Makin Sepi!
Ekonomi Indonesia 2025: Konsumsi Loyo, Rupiah Goyang, Warteg Tetap Jaya!
PMI Anjlok, IKI Goyang, Warteg Tetap Jaya: Industri Indonesia Lawan Badai Tarif Trump!
PHK Mengintai, Tarif Trump Menghantui, Warteg: Tenang, Ada Telor Dadar!
Warteg Halal Harap-Harap Cemas: UMKM Indonesia Lawan Tarif Trump dan Gempuran Impor China!
Prabowo Jalan-jalan ke China, ASEAN Cuma Dapat Senyum dari
GPN & QRIS: Warteg Go Digital, Transaksi Nusantara Gaspol, AS Cuma Bisa Cemas!
Indonesia vs AS: Tarif Impor Bikin Heboh, Warteg Jagokan Dompet Digital!
Utang Rp 250 Triliun Numpuk, Pemerintah Frontloading Biar Warteg Tetep Jualan Tempe!
Indonesia ke AS: ‘Tarif Dikurangin Dong, Kami Beli Energi, Kedelai, Sekalian Stok Warteg!’
TikTok Tawar Tarif: AS-China Ribut, Indonesia Santai di Warteg!
Kelapa Meroket, Warteg Meratap: Drama Harga di Pasar Negeri Sawit!
Trump Tarik Tarif, Rupiah Rontok, Warteg pun Waswas: Drama Ekonomi 2025!
Danantara dan Dolar: Prabowo Bikin Warteg Nusantara atau Kebingungan?
Warteg Lawan Tarif Trump: Nasi Oreg Tempe Bikin Dunia Ketagihan!
Gempuran Koperasi Desa Merah Putih: 70.000 Pusat Ekonomi Baru Siap Mengubah Indonesia!
1 Juta Mimpi Terhambat: UMKM Berjuang Melawan Kredit Macet
Warteg Jadi Garda Terdepan Revolusi Gizi Nasional!
Skema Makan Bergizi Gratis: Asa Besar yang Membebani UMKM
Revolusi Gizi: Makan Gratis untuk Selamatkan Jutaan Jiwa dari Kelaparan
Gebrakan Sejarah: Revolusi Makan Bergizi Gratis, Ekonomi Lokal Bangkit!
PPN 12 Persen: Harapan atau Ancaman Bagi Ekonomi Rakyat?
Menuju Indonesia Tanpa Impor: Mimpi Besar atau Bom Waktu?
Gebrakan PPN 12 Persen: Strategi Berani yang Tak Menjamin Kas Negara Melejit!
Rupiah di Ujung Tanduk: Bank Indonesia Siapkan “Senjata Pamungkas” untuk Lawan Gejolak Dolar AS!
PPN Naik, Dompet Rakyat Tercekik: Ancaman Ekonomi 2025 di Depan Mata!
12% PPN: Bom Waktu untuk Ekonomi Rakyat Kecil
Rapat Elite Kabinet! Bahlil Pimpin Pertemuan Akbar Subsidi Energi demi Masa Depan Indonesia
Ekonomi Indonesia Terancam ‘Macet’, Target Pertumbuhan 8% Jadi Mimpi?
Janji Pemutihan Utang Petani: Kesejahteraan atau Jurang Ketergantungan Baru?
Indonesia Timur Terabaikan: Kekayaan Alam Melimpah, Warganya Tetap Miskin!
Menuju Swasembada Pangan: Misi Mustahil atau Harapan yang Tertunda?
QRIS dan Uang Tunai: Dua Sisi dari Evolusi Pembayaran di Indonesia
Ledakan Ekonomi Pedas: Sambal Indonesia Mengguncang Dunia!
Keanekaragaman Hayati di Ujung Tanduk: Lenyapnya Satwa dan Habitat Indonesia!
Indonesia Menuju 2045: Berhasil Naik Kelas, Tapi Kemiskinan Semakin Mengancam?
Food Estate: Ilusi Ketahanan Pangan yang Berujung Malapetaka ?
Menjelang Akhir Jabatan, Jokowi Tinggalkan PR Besar: Pembebasan Lahan IKN Tersendat!
Pangan Indonesia di Ujung Tanduk: Fase Krusial Beras dan Gula Menuju Krisis!
Tambang Pasir Laut: Ancaman Mematikan bagi Ekosistem dan Kehidupan Pesisir Indonesia!
Duel Menteri Jokowi: Ekspor Pasir Laut atau Hancurkan Lautan Indonesia?
Lonjakan Konsumsi di Tengah Tekanan Ekonomi: Masyarakat Indonesia Bertahan dengan Tabungan!
Hilirisasi Tambang: Mesin Pertumbuhan Ekonomi yang Tak Kunjung Menyala
Impor Lagi? Karena Produksi Pangan Lokal Terlalu Mewah untuk Rakyat!
Stop! Impor Makanan Mengancam! Ketahanan Pangan Indonesia di Ujung Tanduk!
Selamat Datang di Kawasan Lindung: Hutan Hilang Dijamin!
Kongsi Gula Raksasa: Kuasai Tanah, Singkirkan Hutan di Merauke!
Ekspor Pasir Laut Dibuka: Keuntungan Instan, Kerusakan Lingkungan Mengancam Masa Depan!
APBN 2025: Anggaran Jumbo, Stimulus Mini untuk Ekonomi
“Investasi di IKN Melonjak, Tapi Pesawatnya Masih Cari Parkir”
Mandeknya Pengembalian Aset BLBI: Ujian Nyali dan Komitmen Pemerintah
Jeratan Hukum Fify Mulyani dalam Kasus Poligami dan Tindak Pidana Pencucian Uang
Skandal Kuota Haji Khusus: Dugaan Penyelewengan di Balik Penyelenggaraan Haji 2024
IKN di Persimpangan: Anggaran Menyusut, Investasi Swasta Diharapkan
Warteg Menolak IKN, Apa Warteg Menolak IKAN ?
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat
Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit
Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik
Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi
Nongkrong Sambil Mencicip Surabi dengan Beragam Topping di Bandung