Jakarta, Kowantaranews.com -Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (2013–2023), nilai impor pangan Indonesia melonjak hampir dua kali lipat, dari USD 10,07 miliar menjadi USD 18,76 miliar. Tidak hanya secara nilai, volume impor delapan komoditas pangan utama — beras, jagung, gandum, kedelai, gula mentah, bawang putih, ubi kayu, dan kacang tanah — juga meningkat tajam dari 20,55 juta ton menjadi 29,01 juta ton.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah ambisi Indonesia untuk menghentikan impor pangan pada 2025 realistis? Atau justru langkah ini menjadi bom waktu yang dapat mengguncang stabilitas pangan nasional?
Realita Impor Pangan
1. Beras: Ketergantungan Tinggi yang Sulit Dihentikan
Beras menjadi salah satu komoditas yang paling krusial dalam diskusi ketahanan pangan. Selama dekade terakhir, Indonesia beberapa kali melakukan impor beras, dengan lonjakan signifikan pada 2023 (3,06 juta ton) dan 2024 (diproyeksikan lebih dari 4 juta ton). Impor ini mencatat rekor tertinggi dalam 25 tahun terakhir.
Turunnya produksi padi pada 2023 sebesar 1,40% dan 2024 sebesar 2,4% menjadi penyebab utama. Fenomena iklim El Nino, yang menggeser musim tanam, memperparah kondisi. Produksi padi Indonesia turun dari 31,54 juta ton (2022) menjadi 30,34 juta ton (2024), meninggalkan defisit sebesar 0,59 juta ton.
Meski pada 2025 diprediksi musim tanam kembali normal dan produksi beras meningkat 3–4%, keberlanjutan penghentian impor diragukan. Stok beras nasional pada awal 2025 diperkirakan aman, mencapai 7,51 juta ton, berkat impor besar-besaran pada 2024. Namun, tanpa peningkatan produktivitas yang signifikan, kemandirian ini tidak akan bertahan lama.
2. Jagung: Data yang Menyesatkan, Kebijakan yang Salah
Produksi jagung nasional selama bertahun-tahun dilaporkan mengalami lonjakan fantastis, dari 19,61 juta ton (2015) menjadi 30,50 juta ton (2019). Namun, angka tersebut terbukti tidak akurat setelah Badan Pusat Statistik (BPS) mengadopsi metode Kerangka Sampel Area (KSA). Data baru menunjukkan produksi jagung 2019 sebenarnya hanya 12,94 juta ton.
Ketidakakuratan data ini mengakibatkan kebijakan pengurangan impor jagung dari 3,50 juta ton (2015) menjadi 1,33 juta ton (2016), dengan asumsi produksi nasional cukup untuk kebutuhan dalam negeri. Akibatnya, industri pakan ternak mengalami kesulitan pasokan dan beralih menggunakan gandum, yang menyebabkan lonjakan impor gandum hingga 10,81 juta ton pada tahun yang sama.
Produksi jagung mulai membaik pada 2022 (16,53 juta ton) tetapi kembali menurun pada 2023 (14,77 juta ton). Dengan proyeksi stagnasi atau penurunan pada 2025, keputusan menghentikan impor jagung untuk pakan ternak harus didasarkan pada data produksi dan harga yang akurat untuk menghindari krisis.
3. Gula: Dari Swasembada ke Importir Terbesar
Indonesia pernah menikmati era swasembada gula pada 1994. Namun, seiring bertambahnya penduduk dan kebutuhan gula untuk industri makanan dan minuman, produksi nasional tidak mampu mengejar lonjakan permintaan.
Produktivitas tebu stagnan selama lebih dari empat dekade, dengan rata-rata 5,28 ton gula per hektar pada 2023 — jauh di bawah Thailand (6,8 ton/hektar) dan Brasil (8,7 ton/hektar). Produksi gula nasional pada 2023 hanya mencapai 2,61 juta ton, sedangkan kebutuhan konsumsi gula pasir mencapai 3,40 juta ton. Kekurangan ini sebagian besar ditutupi dengan impor gula mentah.
Impor gula mentah untuk konsumsi mencapai rata-rata 938.000 ton per tahun (2016–2023). Meski pemerintah berencana menghentikan impor gula mentah pada 2025, langkah ini dikhawatirkan akan memicu lonjakan harga gula pasir, yang sudah mencapai Rp 18.200 per kilogram pada akhir 2024.
Baca juga : Gebrakan PPN 12 Persen: Strategi Berani yang Tak Menjamin Kas Negara Melejit!
Baca juga : Rupiah di Ujung Tanduk: Bank Indonesia Siapkan “Senjata Pamungkas” untuk Lawan Gejolak Dolar AS!
Baca juga : PPN Naik, Dompet Rakyat Tercekik: Ancaman Ekonomi 2025 di Depan Mata!
Tantangan Menuju Swasembada Pangan
1. Ketergantungan pada Data yang Akurat
Kebijakan pangan sering kali didasarkan pada data yang tidak akurat atau bias sektoral. Hal ini menjadi salah satu akar masalah dalam pengambilan keputusan, seperti pada kasus jagung. BPS perlu mengambil alih seluruh proses pengumpulan data produksi pangan dengan menggunakan metode modern untuk memastikan kebijakan yang lebih efektif.
2. Fenomena Iklim
Perubahan iklim seperti El Nino memiliki dampak signifikan terhadap produksi pangan. Meski musim tanam 2025 diprediksi normal, ketergantungan pada faktor cuaca membuat swasembada pangan rentan terhadap gangguan iklim ekstrem di masa depan.
3. Produktivitas Pertanian yang Rendah
Produktivitas tanaman pangan Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan negara lain. Teknologi pertanian, infrastruktur irigasi, dan kualitas bibit perlu ditingkatkan secara signifikan untuk mendorong hasil panen yang lebih tinggi.
4. Tekanan pada Harga Pangan
Permintaan pangan bersifat inelastis, sehingga sedikit saja gangguan pada pasokan dapat menyebabkan lonjakan harga yang signifikan. Menghentikan impor tanpa peningkatan produksi akan memicu inflasi harga pangan yang merugikan konsumen, terutama masyarakat berpenghasilan rendah.
Strategi untuk Mencapai Kemandirian Pangan
- Diversifikasi Pangan Ketergantungan pada beras sebagai makanan pokok perlu dikurangi dengan mempromosikan konsumsi alternatif seperti sagu, jagung, dan ubi kayu. Diversifikasi pangan tidak hanya meningkatkan ketahanan pangan tetapi juga mendukung petani lokal yang mengelola komoditas tersebut.
- Investasi pada Teknologi Pertanian Penggunaan teknologi modern seperti irigasi tetes, mekanisasi, dan aplikasi digital untuk pemantauan lahan dapat meningkatkan produktivitas pertanian. Pemerintah perlu memberikan insentif bagi petani untuk mengadopsi teknologi ini.
- Reformasi Sistem Distribusi Stok pangan yang cukup tidak akan efektif jika distribusi tidak merata. Sistem logistik yang efisien harus dibangun untuk memastikan pasokan pangan sampai ke seluruh pelosok negeri dengan harga yang stabil.
- Perbaikan Sistem Data BPS harus diberi mandat penuh untuk mengelola data produksi pangan, menggantikan metode yang selama ini dilakukan oleh kementerian terkait. Data yang andal akan menjadi dasar pengambilan kebijakan yang lebih baik.
- Kemitraan dengan Sektor Swasta Kolaborasi dengan sektor swasta, terutama dalam hal investasi infrastruktur dan teknologi, dapat mempercepat pencapaian swasembada pangan. Pemerintah juga perlu memastikan regulasi yang mendukung kemitraan ini.
Ambisi untuk menghentikan impor pangan pada 2025 adalah langkah yang mulia tetapi penuh risiko. Tanpa peningkatan signifikan dalam produktivitas dan sistem pengelolaan pangan, kebijakan ini berpotensi menjadi bom waktu yang mengancam stabilitas harga dan ketersediaan pangan.
Swasembada pangan bukan sekadar soal menghentikan impor, melainkan juga memastikan keberlanjutan produksi, distribusi yang merata, dan keterjangkauan harga bagi masyarakat. Pemerintah perlu mengambil langkah strategis yang realistis, berbasis data akurat, dan melibatkan semua pihak untuk mewujudkan mimpi besar ini tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat luas. By Mukroni
Foto Kowantaranews
- Berita Terkait
Gebrakan PPN 12 Persen: Strategi Berani yang Tak Menjamin Kas Negara Melejit!
Rupiah di Ujung Tanduk: Bank Indonesia Siapkan “Senjata Pamungkas” untuk Lawan Gejolak Dolar AS!
PPN Naik, Dompet Rakyat Tercekik: Ancaman Ekonomi 2025 di Depan Mata!
12% PPN: Bom Waktu untuk Ekonomi Rakyat Kecil
Rapat Elite Kabinet! Bahlil Pimpin Pertemuan Akbar Subsidi Energi demi Masa Depan Indonesia
Ekonomi Indonesia Terancam ‘Macet’, Target Pertumbuhan 8% Jadi Mimpi?
Janji Pemutihan Utang Petani: Kesejahteraan atau Jurang Ketergantungan Baru?
Indonesia Timur Terabaikan: Kekayaan Alam Melimpah, Warganya Tetap Miskin!
Menuju Swasembada Pangan: Misi Mustahil atau Harapan yang Tertunda?
QRIS dan Uang Tunai: Dua Sisi dari Evolusi Pembayaran di Indonesia
Ledakan Ekonomi Pedas: Sambal Indonesia Mengguncang Dunia!
Keanekaragaman Hayati di Ujung Tanduk: Lenyapnya Satwa dan Habitat Indonesia!
Indonesia Menuju 2045: Berhasil Naik Kelas, Tapi Kemiskinan Semakin Mengancam?
Food Estate: Ilusi Ketahanan Pangan yang Berujung Malapetaka ?
Menjelang Akhir Jabatan, Jokowi Tinggalkan PR Besar: Pembebasan Lahan IKN Tersendat!
Pangan Indonesia di Ujung Tanduk: Fase Krusial Beras dan Gula Menuju Krisis!
Tambang Pasir Laut: Ancaman Mematikan bagi Ekosistem dan Kehidupan Pesisir Indonesia!
Duel Menteri Jokowi: Ekspor Pasir Laut atau Hancurkan Lautan Indonesia?
Lonjakan Konsumsi di Tengah Tekanan Ekonomi: Masyarakat Indonesia Bertahan dengan Tabungan!
Hilirisasi Tambang: Mesin Pertumbuhan Ekonomi yang Tak Kunjung Menyala
Impor Lagi? Karena Produksi Pangan Lokal Terlalu Mewah untuk Rakyat!
Stop! Impor Makanan Mengancam! Ketahanan Pangan Indonesia di Ujung Tanduk!
Selamat Datang di Kawasan Lindung: Hutan Hilang Dijamin!
Kongsi Gula Raksasa: Kuasai Tanah, Singkirkan Hutan di Merauke!
Ekspor Pasir Laut Dibuka: Keuntungan Instan, Kerusakan Lingkungan Mengancam Masa Depan!
APBN 2025: Anggaran Jumbo, Stimulus Mini untuk Ekonomi
“Investasi di IKN Melonjak, Tapi Pesawatnya Masih Cari Parkir”
Mandeknya Pengembalian Aset BLBI: Ujian Nyali dan Komitmen Pemerintah
Jeratan Hukum Fify Mulyani dalam Kasus Poligami dan Tindak Pidana Pencucian Uang
Skandal Kuota Haji Khusus: Dugaan Penyelewengan di Balik Penyelenggaraan Haji 2024
IKN di Persimpangan: Anggaran Menyusut, Investasi Swasta Diharapkan
Warteg Menolak IKN, Apa Warteg Menolak IKAN ?
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat
Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit
Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik
Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi
Nongkrong Sambil Mencicip Surabi dengan Beragam Topping di Bandung