• Jum. Jun 20th, 2025

KowantaraNews

Halal Gratis, Warteg Nge-Hits: Tanpa Drama, Cuma Solusi!

TikTok Tawar Tarif: AS-China Ribut, Indonesia Santai di Warteg!

ByAdmin

Apr 24, 2025
Sharing is caring

Jakarta, Kowantaranews.com -Di tengah hiruk-pikuk perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang kian memanas, sebuah platform digital telah menjadi medan pertempuran baru: TikTok. Aplikasi yang awalnya dikenal sebagai sarana hiburan remaja kini menjelma menjadi alat strategis dalam geopolitik dan perdagangan global. Sementara AS dan China saling lempar tarif dan tuduhan, Indonesia tampaknya memilih posisi santai—seperti sedang menyeruput teh hangat di warteg sambil menikmati drama global. Namun, di balik suasana santai itu, ada dinamika kompleks yang membentuk ekonomi, budaya, dan masa depan perdagangan dunia. Mari kita ulas bagaimana TikTok menjadi panggung perang dagang ini, dampaknya bagi Indonesia, dan implikasi globalnya.

TikTok: Dari Tarian Viral ke Strategi Ekonomi

TikTok, yang dimiliki oleh ByteDance, perusahaan asal China, bukan lagi sekadar aplikasi untuk joget-joget atau lipsync. Platform ini telah menjadi senjata ampuh dalam strategi perdagangan China untuk menghindari tarif tinggi yang diberlakukan AS, terutama pada era pemerintahan Donald Trump yang kembali berkuasa pada 2025. Dengan tarif impor yang mencapai 145% untuk berbagai produk China, Beijing menemukan cara kreatif untuk tetap menembus pasar AS: menjual langsung dari pabrik ke konsumen melalui TikTok.

Bayangkan sebuah video di TikTok: seorang pengguna memamerkan tas yang diklaim sebagai Hermès seharga $5, atau legging mirip Lululemon yang biasanya $98 dijual hanya $10. Akun seperti dhgateofficial atau rosie.sportswear menjadi ujung tombak strategi ini, mempromosikan produk murah dari platform e-commerce China seperti DHgate dan Taobao. Meski keaslian barang sering dipertanyakan—banyak yang menduga ini barang tiruan—daya tarik harga murah berhasil memikat konsumen AS. Salah satu contoh viral adalah video Wang Sen, yang menunjukkan “pabrik tas Birkin” di China. Meski video itu akhirnya dihapus, dampaknya sudah terlanjur besar: konsumen AS mulai berbondong-bondong mencari produk langsung dari sumbernya, mengabaikan rantai distribusi tradisional yang terkena tarif.

Strategi ini bukan sekadar soal harga. Algoritma TikTok, yang terkenal cerdas dalam menargetkan audiens, memungkinkan China menjangkau konsumen secara presisi. Video dengan tagar seperti #chinesemanufacturer sering kali diunggah oleh akun-akun baru dengan profil meragukan—pengikut sedikit, kualitas video ala kadarnya, dan narasi yang terkesan terlalu sempurna. Inga Trauthig, seorang peneliti keamanan siber, mencurigai ini sebagai bagian dari kampanye terkoordinasi untuk mempromosikan narasi “China punya rantai pasok terbaik di dunia.” Benar atau tidak, strategi ini berhasil: TikTok tidak hanya menjual barang, tetapi juga menjual citra dominasi manufaktur China.

Baca juga : Kelapa Meroket, Warteg Meratap: Drama Harga di Pasar Negeri Sawit!

Baca juga : Trump Tarik Tarif, Rupiah Rontok, Warteg pun Waswas: Drama Ekonomi 2025!

Baca juga : Danantara dan Dolar: Prabowo Bikin Warteg Nusantara atau Kebingungan?

Indonesia: Santai di Warteg, Tapi Waspada

Sementara AS dan China sibuk berdebat soal tarif, Indonesia tampak seperti pengunjung warteg yang santai: memesan nasi rames, menyeruput teh manis, dan mengamati drama dari kejauhan. Namun, di balik sikap santai ini, Indonesia sebenarnya menjadi salah satu sasaran utama ekspor China yang terdampak tekanan AS. Ketika pasar AS menyusut akibat tarif, China mengalihkan perhatiannya ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Data 2023 menunjukkan lonjakan impor produk tekstil dan alas kaki dari China ke Indonesia, masing-masing mencapai $646,2 juta dan $520 juta. Produk-produk ini, mulai dari kaos hingga sepatu, dijual dengan harga yang sangat kompetitif, sering kali lebih murah daripada produksi lokal. Menurut Bhima Yudhistira dari Celios, China sengaja “membuka rahasia dapur” dengan menawarkan produk berkualitas tinggi tanpa merek, yang sangat cocok dengan selera konsumen muda Indonesia. Generasi Z dan milenial, yang lebih pragmatis dan harga-sensitif, dengan senang hati membeli legging atau jaket tanpa logo ternama asal harganya terjangkau.

Namun, ada sisi lain dari cerita ini. Lonjakan impor China mengancam industri lokal, terutama UMKM tekstil dan alas kaki yang sudah lama berjuang melawan banjir barang murah. Di warteg-warung kecil, para pelaku usaha lokal mungkin masih bisa menikmati gorengan, tapi di pasar, mereka kesulitan bersaing. Harga murah memang menguntungkan konsumen, tetapi juga menciptakan ketergantungan pada impor, yang bisa menjadi bom waktu bagi ekonomi Indonesia jika tidak dikelola dengan baik.

TikTok: Panggung Promosi atau Propaganda?

Kembali ke TikTok, platform ini bukan tanpa kontroversi. Secara resmi, TikTok melarang penjualan barang palsu atau konten yang menyesatkan, tetapi penegakan aturannya sering kali lelet. Video-video yang mempromosikan produk murah dari China tetap bermunculan, meski banyak yang mencurigakan. Regina Frei, profesor sistem berkelanjutan, menyoroti opasitas rantai pasok di balik produk-produk ini. Banyak merek mewah memang merakit barang di China sebelum difinalisasi di Eropa, tetapi klaim di TikTok bahwa barang murah adalah “asli” sering kali tidak bisa diverifikasi. Konsumen pun terjebak antara godaan harga murah dan risiko membeli barang palsu.

Lebih jauh, TikTok juga menghadapi tuduhan bias politik. Meski ByteDance bersikeras bahwa data pengguna disimpan di Singapura dan AS, serta menyangkal campur tangan pemerintah China, kasus penghapusan konten sensitif—seperti video tentang kamp Muslim Uighur—memicu kecurigaan. Di AS, tekanan untuk melarang TikTok terus meningkat, dengan alasan keamanan nasional. Di Indonesia, meski TikTok Shop sempat dilarang sebelum akhirnya diintegrasikan dengan Tokopedia, kekhawatiran tentang dominasi e-commerce asing tetap ada. TikTok, dengan kata lain, bukan hanya platform hiburan, tetapi juga medan pertarungan narasi dan kekuasaan.

Implikasi Global: Dari Warteg ke Panggung Dunia

Perang dagang di TikTok memiliki implikasi jauh melampaui AS, China, dan Indonesia. Jianggan Li dari Momentum Works memprediksi bahwa relokasi manufaktur China ke Asia Tenggara akan mengubah lanskap perdagangan regional. Negara seperti Vietnam, Thailand, dan Indonesia kini menjadi tujuan investasi China, yang tidak hanya membawa modal, tetapi juga teknologi dan model bisnis baru. Ini bisa meningkatkan daya saing kawasan, tetapi juga menciptakan ketergantungan baru pada ekosistem ekonomi China.

Di sisi lain, pelemahan hubungan AS-China berpotensi mengganggu rantai pasok global. AS, yang sangat bergantung pada manufaktur China untuk barang sehari-hari, bisa menghadapi kekosongan stok jika konflik terus memburuk. Bayangkan rak-rak Walmart yang kosong—sebuah skenario yang tidak sepenuhnya mustahil. Sementara itu, negara berkembang seperti Indonesia menghadapi dilema: menikmati harga murah dari China, tetapi dengan risiko kehilangan kemandirian ekonomi.

Di warteg-warung Indonesia, obrolan mungkin masih ringan: soal harga kaos baru atau sepatu murah dari TikTok. Tapi di panggung global, pertarungan ini adalah soal kekuasaan, narasi, dan masa depan ekonomi dunia. TikTok, dengan algoritmanya yang cerdas, telah menjadi alat untuk memengaruhi persepsi dan perilaku konsumen, sekaligus memperkuat posisi China dalam perdagangan global.

Santai Tapi Strategis

Perang dagang AS-China di TikTok adalah cerminan zaman: ketika algoritma dan konten viral bisa mengubah dinamika ekonomi global. China menggunakan platform ini untuk mempertahankan dominasi manufakturnya, menghindari tarif, dan memenangkan hati konsumen. Indonesia, dengan sikap santainya di “warteg global,” menikmati manfaat harga murah, tetapi harus waspada terhadap ancaman ketergantungan dan melemahnya industri lokal.

Ke depan, ada beberapa langkah yang bisa diambil. Pertama, transparansi rantai pasok harus ditingkatkan untuk melindungi konsumen dari barang palsu dan klaim menyesatkan. Kedua, kebijakan digital yang ketat diperlukan untuk mengatur konten dan perdagangan di platform seperti TikTok. Ketiga, Indonesia perlu berinvestasi pada diversifikasi ekonomi, mengurangi ketergantungan pada impor China melalui penguatan UMKM dan industri lokal.

Sambil menikmati teh manis di warteg, Indonesia dan dunia harus menyadari bahwa TikTok bukan lagi sekadar aplikasi hiburan. Ini adalah panggung di mana ekonomi, politik, dan budaya bertabrakan. Dalam tarian tarif dan algoritma ini, langkah yang cerdas akan menentukan siapa yang tertawa terakhir—dan siapa yang hanya jadi penonton. By Mukroni

Foto Kowantaranews

  • Berita Terkait

Kelapa Meroket, Warteg Meratap: Drama Harga di Pasar Negeri Sawit!

Trump Tarik Tarif, Rupiah Rontok, Warteg pun Waswas: Drama Ekonomi 2025!

Danantara dan Dolar: Prabowo Bikin Warteg Nusantara atau Kebingungan?

Warteg Lawan Tarif Trump: Nasi Oreg Tempe Bikin Dunia Ketagihan!

Perang Melawan Resesi: UMKM Indonesia Bersenjatakan E-Commerce & KUR, Pemerintah Salurkan Rp171 Triliun untuk Taklukkan Pasar ASEAN!

Gempuran Koperasi Desa Merah Putih: 70.000 Pusat Ekonomi Baru Siap Mengubah Indonesia!

1 Juta Mimpi Terhambat: UMKM Berjuang Melawan Kredit Macet

Warteg Jadi Garda Terdepan Revolusi Gizi Nasional!

Skema Makan Bergizi Gratis: Asa Besar yang Membebani UMKM

Revolusi Gizi: Makan Gratis untuk Selamatkan Jutaan Jiwa dari Kelaparan

Gebrakan Sejarah: Revolusi Makan Bergizi Gratis, Ekonomi Lokal Bangkit!

PPN 12 Persen: Harapan atau Ancaman Bagi Ekonomi Rakyat?

Setengah Kekayaan Negeri dalam Genggaman Segelintir Orang: Potret Suram Kesenjangan Ekonomi Indonesia

Menuju Indonesia Tanpa Impor: Mimpi Besar atau Bom Waktu?

Gebrakan PPN 12 Persen: Strategi Berani yang Tak Menjamin Kas Negara Melejit!

Rupiah di Ujung Tanduk: Bank Indonesia Siapkan “Senjata Pamungkas” untuk Lawan Gejolak Dolar AS!

PPN Naik, Dompet Rakyat Tercekik: Ancaman Ekonomi 2025 di Depan Mata!

12% PPN: Bom Waktu untuk Ekonomi Rakyat Kecil

Prabowo Hadapi Warisan Beban Utang Raksasa: Misi Penyelamatan Anggaran di Tengah Tekanan Infrastruktur Jokowi

Rapat Elite Kabinet! Bahlil Pimpin Pertemuan Akbar Subsidi Energi demi Masa Depan Indonesia

Ekonomi Indonesia Terancam ‘Macet’, Target Pertumbuhan 8% Jadi Mimpi?

Janji Pemutihan Utang Petani: Kesejahteraan atau Jurang Ketergantungan Baru?

Indonesia Timur Terabaikan: Kekayaan Alam Melimpah, Warganya Tetap Miskin!

Menuju Swasembada Pangan: Misi Mustahil atau Harapan yang Tertunda?

QRIS dan Uang Tunai: Dua Sisi dari Evolusi Pembayaran di Indonesia

Ledakan Ekonomi Pedas: Sambal Indonesia Mengguncang Dunia!

Keanekaragaman Hayati di Ujung Tanduk: Lenyapnya Satwa dan Habitat Indonesia!

Indonesia Menuju 2045: Berhasil Naik Kelas, Tapi Kemiskinan Semakin Mengancam?

Food Estate: Ilusi Ketahanan Pangan yang Berujung Malapetaka ?

Menjelang Akhir Jabatan, Jokowi Tinggalkan PR Besar: Pembebasan Lahan IKN Tersendat!

Pangan Indonesia di Ujung Tanduk: Fase Krusial Beras dan Gula Menuju Krisis!

Tambang Pasir Laut: Ancaman Mematikan bagi Ekosistem dan Kehidupan Pesisir Indonesia!

Duel Menteri Jokowi: Ekspor Pasir Laut atau Hancurkan Lautan Indonesia?

Lonjakan Konsumsi di Tengah Tekanan Ekonomi: Masyarakat Indonesia Bertahan dengan Tabungan!

Hilirisasi Tambang: Mesin Pertumbuhan Ekonomi yang Tak Kunjung Menyala

Impor Lagi? Karena Produksi Pangan Lokal Terlalu Mewah untuk Rakyat!

Stop! Impor Makanan Mengancam! Ketahanan Pangan Indonesia di Ujung Tanduk!

Selamat Datang di Kawasan Lindung: Hutan Hilang Dijamin!

Kongsi Gula Raksasa: Kuasai Tanah, Singkirkan Hutan di Merauke!

Ekspor Pasir Laut Dibuka: Keuntungan Instan, Kerusakan Lingkungan Mengancam Masa Depan!

APBN 2025: Anggaran Jumbo, Stimulus Mini untuk Ekonomi

“Investasi di IKN Melonjak, Tapi Pesawatnya Masih Cari Parkir”

Mandeknya Pengembalian Aset BLBI: Ujian Nyali dan Komitmen Pemerintah

Jeratan Hukum Fify Mulyani dalam Kasus Poligami dan Tindak Pidana Pencucian Uang

Skandal Kuota Haji Khusus: Dugaan Penyelewengan di Balik Penyelenggaraan Haji 2024

IKN di Persimpangan: Anggaran Menyusut, Investasi Swasta Diharapkan

Warteg Menolak IKN, Apa Warteg Menolak IKAN ?

Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang

Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online

Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani

Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu

Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi

Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya

Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan

Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.

Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang

KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat

Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?

Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka 

Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu

Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis

Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi

Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik

Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama

Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal

Kowartami  Resmikan  Warteg  Republik  Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat

Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit

Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik

Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi

Nongkrong Sambil Mencicip Surabi dengan Beragam Topping di Bandung

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *