Jakarta, Kowantaranews.com – Pemerintahan Prabowo Subianto berada di persimpangan jalan. Di tengah ancaman resesi global yang kian nyata, indikator ekonomi domestik seperti pelemahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), depresiasi rupiah yang mencapai level terendah di kisaran Rp16.640–16.957 per dolar AS, serta penurunan daya beli masyarakat menjadi alarm keras. Di sisi lain, ambisi besar Prabowo untuk menjadikan Indonesia sebagai kekuatan ekonomi global pada 2050—sebagaimana diproyeksikan oleh Goldman Sachs—terus digaungkan. Namun, sorotan kini tertuju pada kebijakan ekonomi jangka pendek, khususnya pembentukan Danantara (Daya Anagata Nusantara) dan respons terhadap tekanan eksternal seperti kebijakan tarif impor Donald Trump. Pertanyaannya, apakah langkah-langkah ini akan membawa Indonesia menuju “Warteg Nusantara” yang merakyat dan inklusif, ataukah justru menjerumuskan ke dalam kebingungan ekonomi yang lebih dalam?
Danantara: Ambisi atau Beban Baru?
Pembentukan Danantara menjadi salah satu kebijakan paling kontroversial di awal pemerintahan Prabowo. Lembaga ini, yang resmi diluncurkan pada 2025 dengan target mengelola aset senilai $900 miliar, diharapkan menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi melalui konsolidasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tujuannya mulia: menciptakan dana kekayaan berbasis aset negara untuk mendanai proyek-proyek strategis, meningkatkan investasi, dan memperkuat posisi Indonesia di pasar global. Namun, di balik ambisi tersebut, banyak pihak mempertanyakan transparansi dan efektivitasnya.
Kritik utama terhadap Danantara adalah pengalihan dividen BUMN yang sebelumnya masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sejumlah ekonom, termasuk dari Center of Economic and Law Studies (Celios), menyebut langkah ini berisiko melemahkan kas negara, terutama di saat Indonesia membutuhkan likuiditas untuk menghadapi tekanan ekonomi global. “Ini seperti mengambil tabungan keluarga untuk membuka usaha baru yang belum jelas prospeknya,” ujar seorang analis Celios. Lebih jauh, kekhawatiran muncul bahwa Danantara rentan menjadi alat politisasi, mengingat riwayat pengelolaan BUMN yang kerap diwarnai korupsi dan inefisiensi. Proyek gasifikasi batubara, yang sempat menuai kontroversi di masa lalu, disebut-sebut sebagai salah satu contoh bagaimana dana besar bisa terbuang sia-sia tanpa hasil signifikan.
Meski begitu, pendukung Danantara berargumen bahwa konsolidasi ini adalah langkah visioner. Mereka membandingkannya dengan sovereign wealth fund seperti di Norwegia atau Singapura, yang berhasil mengelola aset negara untuk keuntungan jangka panjang. Namun, perbandingan ini dianggap prematur. Norwegia memiliki tata kelola yang transparan dan tingkat korupsi rendah, sementara Indonesia masih bergulat dengan tantangan birokrasi dan integritas. Tanpa reformasi struktural yang mendalam, Danantara berisiko menjadi “gajah putih” yang megah di atas kertas, tetapi kosong di lapangan.
Baca juga : Warteg Lawan Tarif Trump: Nasi Oreg Tempe Bikin Dunia Ketagihan!
Baca juga : Gempuran Koperasi Desa Merah Putih: 70.000 Pusat Ekonomi Baru Siap Mengubah Indonesia!
Dolar dan Tekanan Eksternal: Lobi atau Fundamental?
Di sisi lain, tekanan eksternal semakin memperumit situasi. Kebijakan tarif impor yang diterapkan oleh pemerintahan Donald Trump di Amerika Serikat menjadi ancaman nyata bagi ekspor Indonesia, terutama komoditas unggulan seperti nikel, batubara, dan minyak sawit. Alih-alih fokus memperkuat fundamental ekonomi domestik, Prabowo memilih pendekatan lobi politik untuk meredam dampak tarif tersebut. Langkah ini, meski pragmatis, dinilai kurang strategis oleh sejumlah pakar.
Muhammad Habib dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menyarankan pendekatan “jalan tengah” yang lebih berbasis data. Menurutnya, Indonesia bisa menyeimbangkan kepentingan ekspor dengan ketahanan pangan melalui impor terbatas komoditas strategis dari AS, seperti kedelai atau gandum, sambil memperkuat diversifikasi rantai pasok global. Namun, ketergantungan Indonesia pada ekspor komoditas mentah—tanpa diversifikasi signifikan ke sektor manufaktur atau teknologi tinggi—membuat ekonomi rentan terhadap guncangan eksternal. “Kita seperti penjual bahan baku di pasar global. Kalau pembeli batuk, kita langsung flu,” ujar Habib dalam sebuah diskusi ekonomi baru-baru ini.
Depresiasi rupiah yang terus berlanjut juga menambah beban. Dengan nilai tukar yang melemah, harga barang impor melonjak, memicu inflasi yang kini mulai terasa di pasar tradisional. Warteg, simbol ketahanan ekonomi rakyat, kini menghadapi tantangan serius: harga beras naik, minyak goreng sulit didapat, dan pelanggan semakin hemat jajan. “Dulu pelanggan pesan tempe, tahu, sama ayam. Sekarang cuma minta sayur kolplay,” keluh seorang pemilik warteg di Jakarta Pusat. Ini adalah cerminan nyata bagaimana krisis makroekonomi merembet hingga ke level mikro.
Kebijakan Jangka Pendek: Stimulus atau Plester?
Untuk meredam gejolak, pemerintah meluncurkan sejumlah stimulus jangka pendek, seperti diskon tarif listrik, Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) untuk properti dan kendaraan listrik, serta penyaluran Tunjangan Hari Raya (THR) bagi aparatur sipil negara (ASN) dan pekerja swasta. Program mudik Lebaran juga digalakkan untuk mendorong perputaran ekonomi lokal. Namun, stimulus ini dinilai seperti “plester pada luka besar” yang tidak menyentuh akar masalah.
Sektor manufaktur, yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi, masih lesu. Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)—termasuk warteg yang menjadi penyangga ekonomi rakyat—juga tidak mendapat dukungan signifikan. Alih-alih, pemotongan anggaran untuk layanan publik dan pengalihan dana ke proyek-proyek “mercusuar” seperti Danantara memicu ketidakpercayaan pasar. IHSG yang terus merosot menjadi bukti bahwa investor skeptis terhadap arah kebijakan pemerintah.
Program Makan Bergizi Gratis, salah satu janji kampanye Prabowo, juga menuai kritik. Meski awalnya diharapkan dapat meningkatkan gizi anak dan mendorong konsumsi domestik, program ini terpaksa dipangkas anggarannya karena tekanan fiskal. Banyak yang memandangnya sebagai proyek simbolis yang mengalihkan fokus dari kebutuhan mendesak, seperti revitalisasi infrastruktur produktif atau pelatihan tenaga kerja untuk industri padat karya.
Deregulasi: Harapan atau Ilusi?
Sebagai respons terhadap ancaman resesi, Prabowo memerintahkan deregulasi untuk menarik investasi asing, terutama di sektor garmen dan sepatu yang diharapkan mampu menyerap tenaga kerja massal. Langkah ini mengingatkan pada keberhasilan deregulasi di era 1980-an, ketika ekspor nonmigas melonjak hingga 20%. Namun, konteks saat ini berbeda. Daya saing Indonesia di pasar global tergerus oleh biaya logistik yang tinggi, infrastruktur yang belum merata, dan tata kelola yang kerap diwarnai korupsi. Tanpa perbaikan mendasar, deregulasi berisiko hanya mempermudah eksploitasi sumber daya tanpa manfaat jangka panjang bagi masyarakat.
Tata Kelola: Krisis Kepercayaan
Citra pemerintahan Prabowo juga terpukul oleh sejumlah kontroversi. Penggunaan jet pribadi oleh menteri dan pesawat kepresidenan untuk keperluan non-darurat dianggap sebagai bukti kurangnya “sense of crisis”. Di saat warteg-warteg di pinggir jalan berjuang bertahan, perilaku pejabat yang terkesan boros memperlebar jurang kepercayaan antara rakyat dan elite penguasa. “Kami disuruh prihatin, tapi mereka naik jet. Ini apa maksudnya?” ujar seorang pedagang di Pasar Senen, Jakarta.
Menuju Warteg Nusantara atau Kebingungan?
Di tengah semua ini, visi “Warteg Nusantara” yang inklusif dan merakyat seolah semakin jauh. Warteg, yang selama ini menjadi simbol ketangguhan ekonomi rakyat, kini terancam oleh inflasi dan daya beli yang merosot. Sementara itu, Danantara—yang diharapkan menjadi mercusuar kemajuan—malah memicu kekhawatiran akan pemborosan dan politisasi. Depresiasi dolar, tekanan eksternal, dan kebijakan yang terkesan parsial membuat Indonesia ibarat macan yang kehilangan arah.
Untuk keluar dari labirin ini, pemerintah perlu mengambil langkah konkret:
- Kebijakan Berbasis Data: Gunakan analisis akurat untuk merancang stimulus yang tepat sasaran, seperti subsidi langsung ke UMKM dan warteg.
- Diversifikasi Ekonomi: Dorong sektor non-komoditas, seperti ekonomi hijau dan teknologi tinggi, untuk mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah.
- Transparansi Anggaran: Hentikan pengalihan dana ke proyek tanpa kajian mendalam, dan pastikan Danantara dikelola secara akuntabel.
- Pemberdayaan Rakyat: Jadikan UMKM dan warteg sebagai penyangga ekonomi melalui pelatihan, akses modal, dan pasar.
Pemerintahan Prabowo berdiri di tubir resesi dengan dua pilihan: mewujudkan “Warteg Nusantara” yang tangguh dan inklusif, atau terjebak dalam kebingungan akibat kebijakan yang megah namun rapuh. Danantara dan dolar menjadi ujian nyata: apakah Indonesia akan bangkit sebagai macan ekonomi, atau hanya mampu menggeram tanpa langkah pasti? Hanya waktu dan keberanian untuk mereformasi tata kelola yang akan menjawab. Sementara itu, di warteg-warteg kecil di penjuru negeri, rakyat menanti kebijakan yang bukan hanya janji, tetapi solusi nyata. By Mukroni
Foto Kowantaranews
- Berita Terkait
Warteg Lawan Tarif Trump: Nasi Oreg Tempe Bikin Dunia Ketagihan!
Gempuran Koperasi Desa Merah Putih: 70.000 Pusat Ekonomi Baru Siap Mengubah Indonesia!
1 Juta Mimpi Terhambat: UMKM Berjuang Melawan Kredit Macet
Warteg Jadi Garda Terdepan Revolusi Gizi Nasional!
Skema Makan Bergizi Gratis: Asa Besar yang Membebani UMKM
Revolusi Gizi: Makan Gratis untuk Selamatkan Jutaan Jiwa dari Kelaparan
Gebrakan Sejarah: Revolusi Makan Bergizi Gratis, Ekonomi Lokal Bangkit!
PPN 12 Persen: Harapan atau Ancaman Bagi Ekonomi Rakyat?
Menuju Indonesia Tanpa Impor: Mimpi Besar atau Bom Waktu?
Gebrakan PPN 12 Persen: Strategi Berani yang Tak Menjamin Kas Negara Melejit!
Rupiah di Ujung Tanduk: Bank Indonesia Siapkan “Senjata Pamungkas” untuk Lawan Gejolak Dolar AS!
PPN Naik, Dompet Rakyat Tercekik: Ancaman Ekonomi 2025 di Depan Mata!
12% PPN: Bom Waktu untuk Ekonomi Rakyat Kecil
Rapat Elite Kabinet! Bahlil Pimpin Pertemuan Akbar Subsidi Energi demi Masa Depan Indonesia
Ekonomi Indonesia Terancam ‘Macet’, Target Pertumbuhan 8% Jadi Mimpi?
Janji Pemutihan Utang Petani: Kesejahteraan atau Jurang Ketergantungan Baru?
Indonesia Timur Terabaikan: Kekayaan Alam Melimpah, Warganya Tetap Miskin!
Menuju Swasembada Pangan: Misi Mustahil atau Harapan yang Tertunda?
QRIS dan Uang Tunai: Dua Sisi dari Evolusi Pembayaran di Indonesia
Ledakan Ekonomi Pedas: Sambal Indonesia Mengguncang Dunia!
Keanekaragaman Hayati di Ujung Tanduk: Lenyapnya Satwa dan Habitat Indonesia!
Indonesia Menuju 2045: Berhasil Naik Kelas, Tapi Kemiskinan Semakin Mengancam?
Food Estate: Ilusi Ketahanan Pangan yang Berujung Malapetaka ?
Menjelang Akhir Jabatan, Jokowi Tinggalkan PR Besar: Pembebasan Lahan IKN Tersendat!
Pangan Indonesia di Ujung Tanduk: Fase Krusial Beras dan Gula Menuju Krisis!
Tambang Pasir Laut: Ancaman Mematikan bagi Ekosistem dan Kehidupan Pesisir Indonesia!
Duel Menteri Jokowi: Ekspor Pasir Laut atau Hancurkan Lautan Indonesia?
Lonjakan Konsumsi di Tengah Tekanan Ekonomi: Masyarakat Indonesia Bertahan dengan Tabungan!
Hilirisasi Tambang: Mesin Pertumbuhan Ekonomi yang Tak Kunjung Menyala
Impor Lagi? Karena Produksi Pangan Lokal Terlalu Mewah untuk Rakyat!
Stop! Impor Makanan Mengancam! Ketahanan Pangan Indonesia di Ujung Tanduk!
Selamat Datang di Kawasan Lindung: Hutan Hilang Dijamin!
Kongsi Gula Raksasa: Kuasai Tanah, Singkirkan Hutan di Merauke!
Ekspor Pasir Laut Dibuka: Keuntungan Instan, Kerusakan Lingkungan Mengancam Masa Depan!
APBN 2025: Anggaran Jumbo, Stimulus Mini untuk Ekonomi
“Investasi di IKN Melonjak, Tapi Pesawatnya Masih Cari Parkir”
Mandeknya Pengembalian Aset BLBI: Ujian Nyali dan Komitmen Pemerintah
Jeratan Hukum Fify Mulyani dalam Kasus Poligami dan Tindak Pidana Pencucian Uang
Skandal Kuota Haji Khusus: Dugaan Penyelewengan di Balik Penyelenggaraan Haji 2024
IKN di Persimpangan: Anggaran Menyusut, Investasi Swasta Diharapkan
Warteg Menolak IKN, Apa Warteg Menolak IKAN ?
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat
Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit
Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik
Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi
Nongkrong Sambil Mencicip Surabi dengan Beragam Topping di Bandung