Jakarta, Kowantaranews.com -Di sudut kota industri seperti Bekasi, Tangerang, atau Surabaya, aroma telur dadar goreng dan sambal terasi dari warteg kecil selalu jadi penutup luka para buruh. Di tengah ancaman PHK massal yang kian nyata pada 2025, ditambah kebijakan tarif resiprokal AS yang mencekik industri tekstil dan alas kaki, warteg bukan sekadar tempat makan. Ia adalah oase harapan, tempat buruh berbagi cerita, keluh kesah, dan tawa pahit sembari menyantap nasi sepiring dengan lauk sederhana, seperti orek tempe, balado terong dan lainnya. Ketika Hari Buruh 2025 mendekat, sorotan tertuju pada dinamika ekonomi global, kebijakan ketenagakerjaan yang kontroversial, dan peran warteg sebagai penyelamat dompet di tengah badai ekonomi.
Tarif Trump: Ancaman Nyata bagi Buruh
Kebijakan tarif resiprokal sebesar 32% yang diterapkan AS pada ekspor Indonesia, khususnya tekstil dan alas kaki, bak petir di siang bolong. Industri tekstil, tulang punggung ekonomi di Jawa Barat dan Jawa Tengah, terhuyung-huyung. Data Kementerian Perdagangan mencatat ekspor tekstil ke AS menyumbang $5 miliar pada 2024, namun turun 12% akibat tarif awal. Dengan tarif baru ini, proyeksi 2025 bahkan lebih suram: penurunan ekspor bisa mencapai 20%, memicu penutupan pabrik dan PHK hingga 150.000 pekerja.
“AS adalah pasar utama kami. Kalau tarif naik, pembeli lari ke Vietnam atau Bangladesh. Pabrik di sini sudah mulai kurangi shift,” keluh Budi, mandor di sebuah pabrik garmen di Bekasi. Daya saing produk Indonesia anjlok, terutama karena biaya produksi yang lebih tinggi dibandingkan negara tetangga. Tarif ini juga menggerus kepercayaan pembeli global terhadap stabilitas pasokan Indonesia, membuat kontrak jangka panjang kian sulit didapat.
Di warteg Bu Marni, dekat kawasan industri Cikarang, para buruh berkumpul sore itu. Sambil menyendok sayur kolplay dan tempe orek, mereka berbagi kabar: “Katanya bulan depan ada PHK lagi. Aku kontrak, pasti kena duluan.” Warteg jadi ruang aman untuk curhat, tempat di mana ketidakpastian ekonomi disiram dengan teh manis panas dan candaan ringan. “Tenang, Mas, di warteg ini telur dadar selalu ada!” canda Bu Marni, mencoba meredakan ketegangan.
Kerentanan Buruh: Usia, Pendidikan, dan Status Kerja
Industri tekstil dan alas kaki di Indonesia mengandalkan pekerja dengan profil rentan: usia muda (15–24 tahun) dan lansia (65+ tahun), serta pendidikan rendah. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), 76% pekerja tekstil tidak lulus SD atau SMP, membuat mereka sulit beralih ke sektor lain seperti teknologi atau jasa saat krisis melanda. Lansia, yang menyumbang 5% pekerja tekstil, menghadapi risiko lebih besar karena minimnya jaminan sosial—hanya 20% terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan.
Status kerja non-permanen memperparah situasi. Sekitar 38–48% pekerja di industri besar-menengah berstatus kontrak atau harian, memudahkan perusahaan melakukan PHK. Pascapandemi, sektor tekstil sudah kehilangan 100.000 pekerja pada 2023. “Saya kerja kontrak tiga tahun, tapi tiap tahun deg-degan. Kalau pesanan turun, ya sudahlah, pulang kampung,” ujar Siti, 22 tahun, yang kini membantu di warteg sambil mencari pekerjaan baru.
Warteg, dengan harga nasi sepiring Rp10.000–15.000, jadi penyelamat bagi buruh kontrak yang upahnya pas-pasan. “Di warteg, Rp20.000 sudah kenyang. Kalau ke restoran, dompetku nangis,” kata Siti sambil tertawa. Di tengah ancaman PHK, warteg menawarkan kepastian sederhana: makanan murah, porsi cukup, dan suasana akrab.
UU Cipta Kerja: Fleksibilitas yang Mengkhawatirkan
UU Cipta Kerja, yang disahkan pada 2020, kembali jadi sorotan menjelang Hari Buruh 2025. Kebijakan ini dikritik karena mendorong fleksibilitas upah dan memperbanyak kontrak kerja waktu tertentu (PKWT). Studi International Labour Organization (ILO) pada 2023 menunjukkan UU ini menurunkan upah riil pekerja garmen sebesar 3–5%, sementara ketidakpastian kerja meningkat. “Upah minimum naik cuma 6–8% setahun, tapi harga beras di pasar naik 10%. Mana cukup?” keluh Joko, buruh garmen yang jadi pelanggan setia warteg Bu Marni.
Serikat buruh, seperti Aspek Indonesia dan KSPI, menyoroti tiga isu utama: stagnasi upah minimum, banjir impor tekstil murah (naik 15% pada 2024), dan lemahnya perlindungan hukum bagi pekerja. Aksi May Day 2025 diperkirakan akan diwarnai tuntutan revisi UU Cipta Kerja, kenaikan upah minimum 15%, penghapusan PKWT tanpa batas, dan pengendalian impor. “Kami bukan cuma minta upah naik, tapi juga kepastian kerja. Kalau kontrak terus, kapan bisa nabung?” tegas Andi, koordinator serikat buruh lokal, sembari memesan telur dadar di warteg.
Warteg Bu Marni sendiri jadi saksi bisu diskusi panas soal UU Cipta Kerja. “Mereka bilang UU ini bikin perusahaan gampang PHK. Tapi ya sudahlah, yang penting wartegku ramai, buruh tetap makan,” ujar Bu Marni, setengah bercanda. Warteg, dengan meja-meja sederhananya, jadi ruang demokrasi kecil di mana buruh menyuarakan aspirasi.
Respons Industri: Investasi Hulu dan Ketergantungan AS
Asosiasi Pertekstilan dan Sepatu Indonesia (APSyFI) mengusulkan investasi Rp10 triliun di sektor hulu tekstil, seperti produksi poliester, untuk mengimbangi tarif AS. Kebijakan anti-dumping (tarif 20% pada impor tekstil tertentu) juga digulirkan. Namun, langkah ini belum menjawab kerentanan pekerja di sektor hilir—garmen dan alas kaki—yang mempekerjakan 70% tenaga kerja tekstil. “Investasi hulu bagus, tapi garmen yang mati duluan. Kami butuh pasar baru,” kata Rina, pemilik usaha garmen skala kecil.
Ketergantungan pada pasar AS memperbesar risiko. Ekspor ke Uni Eropa hanya menyumbang 15% total ekspor tekstil, dan pasar ASEAN belum digarap maksimal. “Kalau AS kolplay, kami kehabisan napas. Harusnya pemerintah kejar perjanjian dagang dengan Eropa atau promosi ke Singapura,” saran Rina, yang kini mulai menjual produknya di warteg sebagai sampingan.
Warteg, lagi-lagi, jadi penutup celah. Banyak pekerja garmen yang beralih jadi pedagang kecil, menjajakan pakaian atau aksesori di sekitar warteg. “Di warteg ramai, jadi aku jualan kaos murah di sini. Lumayan buat nambah,” ujar Rina.
Implikasi Sosioekonomi: Kemiskinan dan Ketimpangan
PHK massal berpotensi mendorong pekerja berpendidikan rendah jatuh ke garis kemiskinan (<Rp2 juta/bulan). Data BPS 2024 menunjukkan tingkat kemiskinan perkotaan naik 0,5%, dan PHK 150.000 pekerja pada 2025 bisa memperburuk angka ini. Lansia, yang minim jaminan sosial, jadi kelompok paling rentan. “Saya 67 tahun, masih kerja jahit karena anak butuh biaya sekolah. Kalau di-PHK, mau ke mana?” keluh Mbah Sari, pekerja garmen yang sering makan di warteg.
Ketimpangan sosial juga mengintai. Wilayah industri seperti Jawa Barat dan Banten, yang menyumbang 60% produksi tekstil, bisa menyaksikan kesenjangan pendapatan membengkak. Biaya sosial, seperti subsidi pengangguran atau bantuan sosial, diperkirakan mencapai Rp3 triliun jika krisis berlanjut.
Namun, warteg tetap setia. Dengan harga lauk Rp3.000–5.000, warteg menjaga daya beli buruh tetap hidup. “Di warteg, semua sama. Buruh, pedagang, bahkan mandor, makan bareng. Nggak ada ketimpangan di sini,” kata Bu Marni, tersenyum.
Baca juga : Warteg Halal Harap-Harap Cemas: UMKM Indonesia Lawan Tarif Trump dan Gempuran Impor China!
Baca juga : Prabowo Jalan-jalan ke China, ASEAN Cuma Dapat Senyum dari
Baca juga : GPN & QRIS: Warteg Go Digital, Transaksi Nusantara Gaspol, AS Cuma Bisa Cemas!
Rekomendasi: Solusi untuk Buruh dan Warteg
Untuk meredam krisis, beberapa langkah strategis diperlukan:
- Pendidikan Vokasi: Latih 500.000 pekerja dalam 3 tahun untuk keterampilan seperti desain digital atau teknologi produksi, dengan anggaran Rp5 triliun dari APBN.
- Revisi UU Ketenagakerjaan: Batasi PKWT maksimal 2 tahun dan tetapkan upah minimum sektoral (naik 10–12% per tahun).
- Diplomasi Perdagangan: Kejar perjanjian dagang dengan Uni Eropa (target 2026) dan promosikan ekspor ke ASEAN (potensi $2 miliar).
- Insentif Industri: Berikan keringanan pajak 30% untuk IKM garmen dan subsidi energi untuk menekan biaya produksi.
Warteg juga bisa dilibatkan dalam solusi. Pemerintah bisa menjadikan warteg sebagai pusat distribusi bantuan sosial atau tempat pelatihan wirausaha kecil bagi pekerja ter-PHK. “Kalau buruh belajar dagang di warteg, kan bisa buka usaha sendiri. Wartegku siap jadi kelas!” ujar Bu Marni, setengah bercanda.
Warteg, Telur Dadar, dan Harapan
Hari Buruh 2025 akan jadi panggung besar bagi buruh Indonesia untuk menuntut keadilan ekonomi. Tarif Trump, ancaman PHK, dan UU Cipta Kerja menciptakan badai sempurna bagi industri tekstil dan alas kaki. Namun, di tengah ketidakpastian, warteg tetap berdiri tegak sebagai simbol ketahanan. Dengan telur dadar seharga Rp4.000 dan nasi sepiring yang hangat, warteg bukan hanya tempat makan, tapi juga ruang harapan, solidaritas, dan tawa di tengah krisis.
“PHK mengintai, tarif Trump menghantui, tapi tenang, di warteg selalu ada telur dadar!” kata Bu Marni, mengakhiri obrolan sore itu. Dan di setiap sudut kota industri, warteg akan terus jadi penutup luka, menyediakan kepastian kecil di tengah badai besar. By Mukroni
Foto Kowantaranews
- Berita Terkait
Warteg Halal Harap-Harap Cemas: UMKM Indonesia Lawan Tarif Trump dan Gempuran Impor China!
Prabowo Jalan-jalan ke China, ASEAN Cuma Dapat Senyum dari
GPN & QRIS: Warteg Go Digital, Transaksi Nusantara Gaspol, AS Cuma Bisa Cemas!
Indonesia vs AS: Tarif Impor Bikin Heboh, Warteg Jagokan Dompet Digital!
Utang Rp 250 Triliun Numpuk, Pemerintah Frontloading Biar Warteg Tetep Jualan Tempe!
Indonesia ke AS: ‘Tarif Dikurangin Dong, Kami Beli Energi, Kedelai, Sekalian Stok Warteg!’
TikTok Tawar Tarif: AS-China Ribut, Indonesia Santai di Warteg!
Kelapa Meroket, Warteg Meratap: Drama Harga di Pasar Negeri Sawit!
Trump Tarik Tarif, Rupiah Rontok, Warteg pun Waswas: Drama Ekonomi 2025!
Danantara dan Dolar: Prabowo Bikin Warteg Nusantara atau Kebingungan?
Warteg Lawan Tarif Trump: Nasi Oreg Tempe Bikin Dunia Ketagihan!
Gempuran Koperasi Desa Merah Putih: 70.000 Pusat Ekonomi Baru Siap Mengubah Indonesia!
1 Juta Mimpi Terhambat: UMKM Berjuang Melawan Kredit Macet
Warteg Jadi Garda Terdepan Revolusi Gizi Nasional!
Skema Makan Bergizi Gratis: Asa Besar yang Membebani UMKM
Revolusi Gizi: Makan Gratis untuk Selamatkan Jutaan Jiwa dari Kelaparan
Gebrakan Sejarah: Revolusi Makan Bergizi Gratis, Ekonomi Lokal Bangkit!
PPN 12 Persen: Harapan atau Ancaman Bagi Ekonomi Rakyat?
Menuju Indonesia Tanpa Impor: Mimpi Besar atau Bom Waktu?
Gebrakan PPN 12 Persen: Strategi Berani yang Tak Menjamin Kas Negara Melejit!
Rupiah di Ujung Tanduk: Bank Indonesia Siapkan “Senjata Pamungkas” untuk Lawan Gejolak Dolar AS!
PPN Naik, Dompet Rakyat Tercekik: Ancaman Ekonomi 2025 di Depan Mata!
12% PPN: Bom Waktu untuk Ekonomi Rakyat Kecil
Rapat Elite Kabinet! Bahlil Pimpin Pertemuan Akbar Subsidi Energi demi Masa Depan Indonesia
Ekonomi Indonesia Terancam ‘Macet’, Target Pertumbuhan 8% Jadi Mimpi?
Janji Pemutihan Utang Petani: Kesejahteraan atau Jurang Ketergantungan Baru?
Indonesia Timur Terabaikan: Kekayaan Alam Melimpah, Warganya Tetap Miskin!
Menuju Swasembada Pangan: Misi Mustahil atau Harapan yang Tertunda?
QRIS dan Uang Tunai: Dua Sisi dari Evolusi Pembayaran di Indonesia
Ledakan Ekonomi Pedas: Sambal Indonesia Mengguncang Dunia!
Keanekaragaman Hayati di Ujung Tanduk: Lenyapnya Satwa dan Habitat Indonesia!
Indonesia Menuju 2045: Berhasil Naik Kelas, Tapi Kemiskinan Semakin Mengancam?
Food Estate: Ilusi Ketahanan Pangan yang Berujung Malapetaka ?
Menjelang Akhir Jabatan, Jokowi Tinggalkan PR Besar: Pembebasan Lahan IKN Tersendat!
Pangan Indonesia di Ujung Tanduk: Fase Krusial Beras dan Gula Menuju Krisis!
Tambang Pasir Laut: Ancaman Mematikan bagi Ekosistem dan Kehidupan Pesisir Indonesia!
Duel Menteri Jokowi: Ekspor Pasir Laut atau Hancurkan Lautan Indonesia?
Lonjakan Konsumsi di Tengah Tekanan Ekonomi: Masyarakat Indonesia Bertahan dengan Tabungan!
Hilirisasi Tambang: Mesin Pertumbuhan Ekonomi yang Tak Kunjung Menyala
Impor Lagi? Karena Produksi Pangan Lokal Terlalu Mewah untuk Rakyat!
Stop! Impor Makanan Mengancam! Ketahanan Pangan Indonesia di Ujung Tanduk!
Selamat Datang di Kawasan Lindung: Hutan Hilang Dijamin!
Kongsi Gula Raksasa: Kuasai Tanah, Singkirkan Hutan di Merauke!
Ekspor Pasir Laut Dibuka: Keuntungan Instan, Kerusakan Lingkungan Mengancam Masa Depan!
APBN 2025: Anggaran Jumbo, Stimulus Mini untuk Ekonomi
“Investasi di IKN Melonjak, Tapi Pesawatnya Masih Cari Parkir”
Mandeknya Pengembalian Aset BLBI: Ujian Nyali dan Komitmen Pemerintah
Jeratan Hukum Fify Mulyani dalam Kasus Poligami dan Tindak Pidana Pencucian Uang
Skandal Kuota Haji Khusus: Dugaan Penyelewengan di Balik Penyelenggaraan Haji 2024
IKN di Persimpangan: Anggaran Menyusut, Investasi Swasta Diharapkan
Warteg Menolak IKN, Apa Warteg Menolak IKAN ?
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat
Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit
Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik
Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi
Nongkrong Sambil Mencicip Surabi dengan Beragam Topping di Bandung