• Rab. Mei 14th, 2025

KowantaraNews

RINGKAS DAN TAJAM

Jobless Jadi Trend, Dompet Ikut Send: BPS vs IMF Panas, Warteg Tetap Menang!

ByAdmin

Mei 7, 2025
Sharing is caring

Jakarta, Kowantaranews.com – Pasar tenaga kerja Indonesia kembali menjadi sorotan. Di tengah optimisme pemulihan ekonomi pasca-pandemi, data terbaru justru menunjukkan paradoks yang membingungkan: tingkat pengangguran terbuka (TPT) menurun, tetapi jumlah penganggur secara absolut justru bertambah. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan TPT pada 2025 sebesar 4,76%, dengan 7,28 juta penganggur, naik 80.000 orang dari 2024. Sementara itu, Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan angka lebih pesimis, yakni 5% pada 2025, bahkan merangkak ke 5,1% pada 2026, menjadikan Indonesia “juara” pengangguran di ASEAN-5. Perdebatan sengit antara data BPS dan proyeksi IMF ini mencerminkan ketidakpastian ekonomi, sementara warteg—warung tegal—tetap menjadi penyelamat bagi pekerja informal yang berjuang bertahan di tengah dompet yang kian “melompong”.

Latar Belakang: Perjalanan Pasar Tenaga Kerja Indonesia

Sebelum pandemi melanda pada 2020, pasar tenaga kerja Indonesia menunjukkan tren positif. TPT turun bertahap dari 5,50% pada 2016 menjadi 4,94% pada 2020, dengan jumlah penganggur sekitar 6,93 juta orang. Ekonomi relatif stabil, meskipun tanda-tanda pelemahan global mulai terasa sejak 2019 akibat ketegangan perdagangan AS-China. Namun, pandemi COVID-19 mengubah segalanya. Pada 2021, TPT melonjak ke 6,26%, dengan 8,75 juta orang kehilangan pekerjaan akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan kontraksi ekonomi yang parah.

Pemulihan mulai terlihat pada 2022 hingga 2024. TPT turun menjadi 5,83% (2022), 5,45% (2023), dan 4,82% (2024). Meski demikian, jumlah penganggur absolut tetap tinggi, mencapai 7,20 juta pada 2024. Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan angkatan kerja, terutama dari kelompok usia muda (15–24 tahun), jauh lebih cepat daripada kemampuan ekonomi untuk menyerap tenaga kerja. Data 2025 memperumit narasi pemulihan: BPS mencatat kenaikan jumlah penganggur, sementara IMF memprediksi tren yang lebih buruk. Perbedaan ini, menurut analis, mungkin berasal dari metodologi penghitungan—BPS menggunakan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang menganggap seseorang “bekerja” jika aktif minimal satu jam per minggu, sedangkan IMF cenderung menggunakan asumsi makroekonomi yang lebih konservatif.

Faktor Penghambat: Eksternal dan Internal

Pemulihan pasar tenaga kerja Indonesia terhambat oleh sejumlah faktor, baik dari luar maupun dalam negeri. Secara eksternal, pelemahan ekonomi global pasca-2019, Perang Rusia-Ukraina (2022), dan perang dagang AS-China terus menekan perekonomian Indonesia. Investasi padat karya, yang seharusnya menjadi penyelamat, lebih memilih Vietnam dan Kamboja karena biaya tenaga kerja yang lebih rendah dan iklim investasi yang lebih kompetitif. Kebijakan proteksionisme AS, terutama di bawah administrasi Donald Trump, juga memperburuk situasi. Tarif impor yang tinggi terhadap produk tekstil Indonesia diperkirakan menyebabkan 13.000 PHK pada 2024–2025, dengan potensi tambahan 15.000 PHK jika kebijakan ini diperketat.

Secara internal, masalah struktural menjadi duri dalam daging. Ketidaksesuaian keterampilan tenaga kerja dengan kebutuhan industri adalah salah satu penghambat utama. Banyak lulusan perguruan tinggi dan sekolah menengah tidak memiliki keterampilan yang relevan dengan sektor manufaktur, teknologi, atau jasa modern. Pendidikan vokasi, yang seharusnya menjembatani kesenjangan ini, masih tertinggal jauh dibandingkan negara-negara tetangga, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan pengangguran terdidik tertinggi di ASEAN.

Selain itu, investasi di Indonesia cenderung berfokus pada proyek padat modal, seperti infrastruktur, yang minim menyerap tenaga kerja lokal. Akibatnya, banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan di sektor formal, seperti industri mebel dan kerajinan (8.000–10.000 pekerja terdampak hingga Q1-2025), terpaksa beralih ke sektor informal seperti pertanian atau UMKM. Sektor informal ini, meskipun menyerap banyak tenaga kerja, sering kali menawarkan produktivitas rendah dan pendapatan yang tidak stabil. Warteg, sebagai simbol sektor informal, menjadi tumpuan bagi pekerja yang berjuang bertahan di tengah ketidakpastian ekonomi.

Warteg: Penyelamat atau Cerminan Kegagalan?

Di tengah guncangan ekonomi, warteg muncul sebagai pahlawan tak terduga. Warung makan sederhana ini tidak hanya menyediakan makanan murah meriah bagi pekerja informal, tetapi juga menjadi sumber penghidupan bagi banyak orang yang kehilangan pekerjaan formal. Dari penjual makanan hingga pelayan, warteg menyerap tenaga kerja yang terpinggirkan oleh PHK di sektor tekstil, mebel, dan kerajinan. Namun, keberadaan warteg juga mencerminkan kegagalan struktural dalam menciptakan lapangan kerja berkualitas. Banyak pekerja warteg bekerja dengan jam panjang dan upah minimum, tanpa jaminan sosial atau peluang untuk meningkatkan keterampilan. Warteg, dengan kata lain, adalah solusi sementara yang tidak mampu mengatasi akar masalah pengangguran.

Perdebatan BPS vs. IMF: Siapa yang Benar?

Perbedaan antara data BPS dan proyeksi IMF telah memicu perdebatan sengit. BPS, dengan TPT 4,76% pada 2025, menegaskan bahwa pasar tenaga kerja Indonesia masih berada di jalur pemulihan. Namun, metodologi Sakernas yang digunakan BPS menuai kritik karena dianggap terlalu longgar. Seorang pengguna X dengan nada sarkastik menulis, “Bekerja 1 jam/minggu aja udah bukan pengangguran! Tapi kok kesannya cuma buat bikin presiden tersenyum?” Kritik ini mencerminkan persepsi publik bahwa data resmi sering kali tidak selaras dengan realitas lapangan, di mana banyak pekerja informal berjuang dengan pendapatan yang tidak mencukupi.

Di sisi lain, proyeksi IMF yang lebih pesimis (5% pada 2025, 5,1% pada 2026) didasarkan pada analisis makroekonomi yang mempertimbangkan faktor global, seperti perlambatan perdagangan dunia dan ketidakpastian geopolitik. Meski lebih konservatif, proyeksi IMF juga tidak luput dari kritik karena dianggap kurang memahami dinamika lokal, seperti peran sektor informal dalam menyerap tenaga kerja. Perdebatan ini menunjukkan tantangan dalam mengukur pengangguran di negara berkembang, di mana sektor informal memainkan peran besar namun sulit dihitung secara akurat.

Baca juga : Ekonomi Loyo, Pengangguran Melejit: Warteg Tetap Ramai, Tapi Dompet Makin Sepi!

Baca juga : Ekonomi Indonesia 2025: Konsumsi Loyo, Rupiah Goyang, Warteg Tetap Jaya!

Baca juga : PHK Mengintai, Tarif Trump Menghantui, Warteg: Tenang, Ada Telor Dadar!

Solusi: Jangka Pendek dan Jangka Panjang

Untuk mengatasi krisis ini, diperlukan kombinasi solusi jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka pendek, pemerintah dapat mereplikasi program insentif pandemi, seperti subsidi upah dan stimulus konsumsi, untuk menjaga daya beli masyarakat dan mendorong produksi. Pelatihan keterampilan juga menjadi prioritas, terutama bagi pekerja yang terdampak PHK. Skema pelatihan ala Singapura, yang menargetkan pekerja usia 40 tahun ke atas, dapat dijadikan model. Program Kartu Prakerja perlu dievaluasi ulang agar lebih berfokus pada keterampilan yang dibutuhkan industri, seperti teknologi digital dan manufaktur modern.

Pemerintah juga perlu memperkuat ekonomi domestik dengan memberikan insentif ekspor dan perlindungan terhadap industri lokal, seperti tekstil, yang terpukul oleh kebijakan perdagangan internasional. Pengalihan anggaran dari proyek infrastruktur tidak urgent ke penguatan sumber daya manusia (SDM) dapat menjadi langkah strategis untuk menciptakan lapangan kerja berkualitas.

Dalam jangka panjang, reformasi pendidikan vokasi adalah kunci untuk mengatasi ketidaksesuaian keterampilan. Indonesia perlu belajar dari negara seperti Jerman atau Singapura, yang memiliki sistem vokasi yang terintegrasi dengan kebutuhan industri. Modernisasi industri dan adopsi teknologi juga harus dipercepat untuk meningkatkan daya saing global, terutama melawan Vietnam dan Kamboja. Diplomasi dagang yang lebih agresif diperlukan untuk memitigasi dampak perang dagang AS-China dan membuka pasar baru bagi produk Indonesia.

Menuju Masa Depan yang Lebih Cerah

Pasar tenaga kerja Indonesia berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, penurunan TPT menunjukkan adanya kemajuan dalam pemulihan ekonomi. Di sisi lain, kenaikan jumlah penganggur absolut dan ketimpangan antara data BPS dan IMF menggarisbawahi tantangan struktural yang belum terselesaikan. Warteg, meskipun menjadi penyelamat bagi pekerja informal, tidak dapat menggantikan lapangan kerja berkualitas yang dibutuhkan untuk mengakomodasi pertumbuhan angkatan kerja muda.

Untuk keluar dari paradoks ini, Indonesia harus bertindak cepat dengan menggabungkan solusi jangka pendek, seperti insentif dan pelatihan, dengan reformasi jangka panjang di bidang pendidikan, investasi, dan diplomasi dagang. Hanya dengan pendekatan holistik, Indonesia dapat mengubah narasi “jobless jadi trend” menjadi cerita sukses tentang lapangan kerja yang inklusif dan berkelanjutan. Sementara itu, warteg tetap berdiri kokoh sebagai simbol ketangguhan rakyat Indonesia—dan mungkin, untuk saat ini, itulah kemenangan kecil yang patut dirayakan. By Mukroni

Foto Kowantaranews

Foto Kowantaranews

  • Berita Terkait

Ekonomi Loyo, Pengangguran Melejit: Warteg Tetap Ramai, Tapi Dompet Makin Sepi!

Ekonomi Indonesia 2025: Konsumsi Loyo, Rupiah Goyang, Warteg Tetap Jaya!

PMI Anjlok, IKI Goyang, Warteg Tetap Jaya: Industri Indonesia Lawan Badai Tarif Trump!

PHK Mengintai, Tarif Trump Menghantui, Warteg: Tenang, Ada Telor Dadar!

Warteg Halal Harap-Harap Cemas: UMKM Indonesia Lawan Tarif Trump dan Gempuran Impor China!

Prabowo Jalan-jalan ke China, ASEAN Cuma Dapat Senyum dari

GPN & QRIS: Warteg Go Digital, Transaksi Nusantara Gaspol, AS Cuma Bisa Cemas!

Indonesia vs AS: Tarif Impor Bikin Heboh, Warteg Jagokan Dompet Digital!

Utang Rp 250 Triliun Numpuk, Pemerintah Frontloading Biar Warteg Tetep Jualan Tempe!

Indonesia ke AS: ‘Tarif Dikurangin Dong, Kami Beli Energi, Kedelai, Sekalian Stok Warteg!’

TikTok Tawar Tarif: AS-China Ribut, Indonesia Santai di Warteg!

Kelapa Meroket, Warteg Meratap: Drama Harga di Pasar Negeri Sawit!

Trump Tarik Tarif, Rupiah Rontok, Warteg pun Waswas: Drama Ekonomi 2025!

Danantara dan Dolar: Prabowo Bikin Warteg Nusantara atau Kebingungan?

Warteg Lawan Tarif Trump: Nasi Oreg Tempe Bikin Dunia Ketagihan!

Perang Melawan Resesi: UMKM Indonesia Bersenjatakan E-Commerce & KUR, Pemerintah Salurkan Rp171 Triliun untuk Taklukkan Pasar ASEAN!

Gempuran Koperasi Desa Merah Putih: 70.000 Pusat Ekonomi Baru Siap Mengubah Indonesia!

1 Juta Mimpi Terhambat: UMKM Berjuang Melawan Kredit Macet

Warteg Jadi Garda Terdepan Revolusi Gizi Nasional!

Skema Makan Bergizi Gratis: Asa Besar yang Membebani UMKM

Revolusi Gizi: Makan Gratis untuk Selamatkan Jutaan Jiwa dari Kelaparan

Gebrakan Sejarah: Revolusi Makan Bergizi Gratis, Ekonomi Lokal Bangkit!

PPN 12 Persen: Harapan atau Ancaman Bagi Ekonomi Rakyat?

Setengah Kekayaan Negeri dalam Genggaman Segelintir Orang: Potret Suram Kesenjangan Ekonomi Indonesia

Menuju Indonesia Tanpa Impor: Mimpi Besar atau Bom Waktu?

Gebrakan PPN 12 Persen: Strategi Berani yang Tak Menjamin Kas Negara Melejit!

Rupiah di Ujung Tanduk: Bank Indonesia Siapkan “Senjata Pamungkas” untuk Lawan Gejolak Dolar AS!

PPN Naik, Dompet Rakyat Tercekik: Ancaman Ekonomi 2025 di Depan Mata!

12% PPN: Bom Waktu untuk Ekonomi Rakyat Kecil

Prabowo Hadapi Warisan Beban Utang Raksasa: Misi Penyelamatan Anggaran di Tengah Tekanan Infrastruktur Jokowi

Rapat Elite Kabinet! Bahlil Pimpin Pertemuan Akbar Subsidi Energi demi Masa Depan Indonesia

Ekonomi Indonesia Terancam ‘Macet’, Target Pertumbuhan 8% Jadi Mimpi?

Janji Pemutihan Utang Petani: Kesejahteraan atau Jurang Ketergantungan Baru?

Indonesia Timur Terabaikan: Kekayaan Alam Melimpah, Warganya Tetap Miskin!

Menuju Swasembada Pangan: Misi Mustahil atau Harapan yang Tertunda?

QRIS dan Uang Tunai: Dua Sisi dari Evolusi Pembayaran di Indonesia

Ledakan Ekonomi Pedas: Sambal Indonesia Mengguncang Dunia!

Keanekaragaman Hayati di Ujung Tanduk: Lenyapnya Satwa dan Habitat Indonesia!

Indonesia Menuju 2045: Berhasil Naik Kelas, Tapi Kemiskinan Semakin Mengancam?

Food Estate: Ilusi Ketahanan Pangan yang Berujung Malapetaka ?

Menjelang Akhir Jabatan, Jokowi Tinggalkan PR Besar: Pembebasan Lahan IKN Tersendat!

Pangan Indonesia di Ujung Tanduk: Fase Krusial Beras dan Gula Menuju Krisis!

Tambang Pasir Laut: Ancaman Mematikan bagi Ekosistem dan Kehidupan Pesisir Indonesia!

Duel Menteri Jokowi: Ekspor Pasir Laut atau Hancurkan Lautan Indonesia?

Lonjakan Konsumsi di Tengah Tekanan Ekonomi: Masyarakat Indonesia Bertahan dengan Tabungan!

Hilirisasi Tambang: Mesin Pertumbuhan Ekonomi yang Tak Kunjung Menyala

Impor Lagi? Karena Produksi Pangan Lokal Terlalu Mewah untuk Rakyat!

Stop! Impor Makanan Mengancam! Ketahanan Pangan Indonesia di Ujung Tanduk!

Selamat Datang di Kawasan Lindung: Hutan Hilang Dijamin!

Kongsi Gula Raksasa: Kuasai Tanah, Singkirkan Hutan di Merauke!

Ekspor Pasir Laut Dibuka: Keuntungan Instan, Kerusakan Lingkungan Mengancam Masa Depan!

APBN 2025: Anggaran Jumbo, Stimulus Mini untuk Ekonomi

“Investasi di IKN Melonjak, Tapi Pesawatnya Masih Cari Parkir”

Mandeknya Pengembalian Aset BLBI: Ujian Nyali dan Komitmen Pemerintah

Jeratan Hukum Fify Mulyani dalam Kasus Poligami dan Tindak Pidana Pencucian Uang

Skandal Kuota Haji Khusus: Dugaan Penyelewengan di Balik Penyelenggaraan Haji 2024

IKN di Persimpangan: Anggaran Menyusut, Investasi Swasta Diharapkan

Warteg Menolak IKN, Apa Warteg Menolak IKAN ?

Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang

Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online

Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani

Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu

Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi

Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya

Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan

Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.

Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang

KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat

Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?

Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka 

Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu

Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis

Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi

Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik

Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama

Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal

Kowartami  Resmikan  Warteg  Republik  Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat

Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit

Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik

Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi

Nongkrong Sambil Mencicip Surabi dengan Beragam Topping di Bandung

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *