Jakarta, Kowantaranews.com – Di tengah hiruk-pikuk ibu kota, aroma orek tempe, sayur jengkol dan ayam goreng dari warteg kecil di sudut Jalan Sabang masih setia menggoda pejalan kaki. Warung Tegal, atau yang lebih akrab disebut warteg, tetap menjadi oase bagi perut-perut kelaparan di tengah badai ekonomi yang kian mengguncang Indonesia. Namun, di balik piring-piring penuh lauk yang disajikan dengan cepat, ada cerita lain yang mengemuka: ekonomi yang loyo, pengangguran yang melonjak, dan dompet masyarakat yang semakin tipis. Meski warteg tetap ramai, cerita di dalamnya kini bukan lagi soal kenyang, tetapi soal bertahan hidup.
Pertumbuhan Ekonomi yang Tersendat
Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk kuartal pertama 2025, yang hanya mencapai 4,87%. Angka ini turun dari 5,11% pada periode yang sama tahun lalu, menandakan pelemahan momentum ekonomi nasional. Konsumsi rumah tangga, yang menyumbang 54,53% dari Produk Domestik Bruto (PDB), tetap menjadi tulang punggung pertumbuhan. Namun, laju konsumsi melambat tipis menjadi 4,89% dibandingkan 4,91% pada 2024. “Ini bukan cuma soal angka. Ini soal kepercayaan masyarakat yang mulai goyah,” ujar ekonom senior, Dr. Rizal Ramli, dalam wawancara dengan media lokal.
Penyebab utama pelemahan konsumsi adalah tekanan daya beli, terutama di kalangan kelompok menengah bawah. Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) yang dirilis Bank Indonesia menunjukkan penurunan dalam beberapa bulan terakhir, diduga akibat kekhawatiran akan stabilitas pekerjaan dan kenaikan harga barang pokok. “Dulu, orang ke warteg还能 beli dua lauk, sekarang banyak yang cuma pesan telur sama tempe biar hemat,” ungkap Ibu Marni, pemilik Warteg Mpok Nini di Jakarta Pusat, yang sudah 15 tahun berjualan.
Selain konsumsi rumah tangga, belanja pemerintah juga menjadi penutup lubang yang kini justru semakin lebar. Belanja pemerintah mengalami kontraksi sebesar 1,38% pada Q1 2025, berbanding terbalik dengan lonjakan 20,44% pada periode yang sama tahun lalu. Pengetatan fiskal dan penundaan proyek infrastruktur menjadi biang keladi. “Proyek jalan tol dan IKN itu memang besar, tapi banyak yang tertunda. Akibatnya, multiplier effect ke ekonomi lokal juga terhambat,” jelas Dr. Lana Soelistianingsih, ekonom dari Universitas Indonesia.
Sementara itu, ekspor yang tumbuh 6,78% memberikan sedikit angin segar, tetapi tetap rentan terhadap gejolak global. Perlambatan ekonomi Tiongkok, mitra dagang utama Indonesia, serta ketidakpastian kebijakan perdagangan AS pasca-pemilu 2024, menjadi ancaman nyata. “Kalau Tiongkok batuk, kita bisa pilek. Apalagi kalau AS tiba-tiba naikkan tarif impor,” ujar seorang analis perdagangan dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin).
Gelombang PHK dan Lonjakan Pengangguran
Di sisi lain, pasar tenaga kerja Indonesia sedang menghadapi badai yang lebih ganas. Data BPS mencatat angka pengangguran pada Februari 2025 mencapai 7,28 juta orang, naik 83.000 orang dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Lebih mengkhawatirkan, sebanyak 24.036 kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) tercatat pada awal 2025, terutama di sektor manufaktur, tekstil, dan ritel yang terdampak penurunan permintaan domestik dan global.
Salah satu korban PHK adalah Budi Santoso, 34 tahun, mantan pekerja pabrik tekstil di Tangerang. “Awal tahun ini saya kena PHK. Katanya perusahaan harus efisiensi karena pesanan dari luar negeri turun drastis,” cerita Budi sambil menyantap nasi rames di warteg langganannya. Kini, Budi beralih menjadi driver ojek online, tetapi pendapatannya jauh dari cukup untuk menghidupi keluarganya. “Dulu bisa nabung, sekarang buat makan sehari-hari saja susah.”
Penyebab kenaikan pengangguran ini bersifat ganda: struktural dan siklikal. Secara struktural, ada ketimpangan antara pertumbuhan angkatan kerja dan penyerapan tenaga kerja. Setiap tahun, ratusan ribu lulusan baru memasuki pasar kerja, tetapi lapangan kerja yang tersedia tidak sebanding. “Banyak anak muda kita yang lulus SMA atau kuliah, tapi keterampilannya tidak match dengan kebutuhan industri. Akhirnya, mereka jadi pengangguran terdidik,” ungkap Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, dalam konferensi pers baru-baru ini.
Secara siklikal, penurunan permintaan global dan domestik memaksa perusahaan melakukan efisiensi, termasuk PHK massal atau bahkan penutupan usaha. Beberapa perusahaan multinasional juga mulai merelokasi operasinya ke negara lain dengan biaya produksi lebih rendah, seperti Vietnam. “Vietnam itu seperti magnet sekarang. Biaya tenaga kerja murah, infrastruktur bagus, dan kebijakan investasinya ramah,” kata seorang pengusaha tekstil yang enggan disebutkan namanya.
Warteg: Saksi Bisu Krisis
Di tengah gelombang ekonomi yang tak menentu, warteg tetap menjadi penyelamat bagi jutaan warga Indonesia. Dari pekerja kantoran hingga driver ojek online, warteg menawarkan makanan murah, cepat, dan mengenyangkan. Namun, Ibu Marni dari Warteg Mpok Nini mengaku merasakan perubahan pola konsumsi pelanggannya. “Dulu banyak yang pesan ayam atau ikan, sekarang lebih banyak yang pilih tempe, tahu, atau kolplay. Ada juga yang minta nasi setengah porsi biar lebih murah,” katanya sambil mengaduk sayur kolplay di wajan besar.
Warteg, yang biasanya ramai dari pagi hingga malam, kini menjadi cerminan kondisi ekonomi masyarakat. Meski tetap ramai, omzet warteg tidak lagi sehebat dulu. “Pelanggan banyak, tapi belanjanya lebih hemat. Jadi untung saya juga menipis,” tambah Ibu Marni. Fenomena ini mencerminkan siklus negatif yang dihadapi Indonesia: konsumsi lemah memicu PHK, yang menurunkan pendapatan, dan akhirnya melemahkan konsumsi lebih jauh.
Respons Pemerintah: Antara Harapan dan Tantangan
Pemerintah tidak tinggal diam menghadapi situasi ini. Sebagai langkah preventif, Kementerian Ketenagakerjaan telah meluncurkan sistem peringatan dini PHK dan meningkatkan sinkronisasi data antarlembaga, seperti Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan BPS. “Kami ingin bisa mendeteksi potensi PHK lebih cepat, sehingga bisa mengambil langkah antisipasi,” ujar Menteri Ida.
Sebagai langkah kuratif, pemerintah juga meningkatkan manfaat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) menjadi 60% dari upah selama enam bulan. Program ini diharapkan dapat meringankan beban pekerja yang terkena PHK. Namun, efektivitas JKP diragukan jika penciptaan lapangan kerja baru tetap lambat. “JKP itu seperti obat pereda nyeri. Membantu sementara, tapi tidak menyembuhkan penyakitnya,” kritik Rizal Ramli.
Selain itu, pemerintah juga berupaya menjaga stabilitas ekonomi melalui kebijakan moneter dan fiskal. Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan di level 6%, sementara Kementerian Keuangan mengalokasikan anggaran stimulus untuk UMKM dan sektor padat karya. Namun, tanpa reformasi struktural seperti peningkatan keterampilan tenaga kerja atau diversifikasi ekonomi, langkah-langkah ini berisiko hanya menjadi solusi jangka pendek.
Perbandingan Regional: Belajar dari Vietnam
Dalam konteks regional, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih lebih baik dibandingkan Malaysia (4,4%) dan Singapura (3,8%), tetapi kalah jauh dari Vietnam (6,9%). Vietnam menjadi sorotan karena keberhasilannya menarik investasi asing, terutama di sektor manufaktur elektronik dan tekstil. “Vietnam punya keunggulan di infrastruktur, biaya tenaga kerja, dan kebijakan pro-investasi. Kita harus belajar dari mereka,” ujar Ketua Kadin, Arsjad Rasjid.
Vietnam juga agresif dalam mendorong ekspor dan mengembangkan sektor teknologi, yang membuat ekonominya lebih tahan terhadap gejolak global. Indonesia, di sisi lain, masih bergantung pada ekspor komoditas seperti batu bara dan minyak sawit, yang rentan terhadap fluktuasi harga global.
Baca juga : Ekonomi Indonesia 2025: Konsumsi Loyo, Rupiah Goyang, Warteg Tetap Jaya!
Baca juga : PHK Mengintai, Tarif Trump Menghantui, Warteg: Tenang, Ada Telor Dadar!
Baca juga : PMI Anjlok, IKI Goyang, Warteg Tetap Jaya: Industri Indonesia Lawan Badai Tarif Trump!
Risiko dan Rekomendasi
Tantangan terbesar Indonesia saat ini adalah mencegah siklus negatif ekonomi yang semakin dalam. Konsumsi yang lemah, pengangguran yang meningkat, dan ketergantungan pada ekspor adalah bom waktu yang harus segera dinetralkan. Untuk itu, beberapa rekomendasi dapat dipertimbangkan:
Jangka Pendek:
- Stimulus Fiskal: Alokasikan anggaran untuk UMKM melalui kredit murah dan subsidi energi untuk menjaga daya beli masyarakat.
- Insentif Pajak: Berikan keringanan pajak bagi perusahaan yang mempertahankan tenaga kerja atau merekrut pekerja baru.
Jangka Panjang:
- Diversifikasi Ekonomi: Kembangkan sektor hijau (energi terbarukan) dan digital (teknologi finansial, e-commerce) untuk mengurangi ketergantungan pada ekspor komoditas.
- Peningkatan SDM: Perluas pelatihan vokasi berbasis industri untuk menyesuaikan keterampilan tenaga kerja dengan kebutuhan pasar.
- Infrastruktur: Percepat proyek strategis seperti IKN dan jaringan logistik untuk menarik investasi dan menciptakan lapangan kerja.
- Koordinasi Kebijakan: Sinergikan kebijakan moneter, fiskal, dan ketenagakerjaan untuk menciptakan pertumbuhan yang inklusif.
Warteg Tetap Berdiri, Tapi…
Kembali ke warteg, Ibu Marni tetap optimis meski dompet pelanggannya kian menipis. “Selama orang masih perlu makan, warteg nggak akan sepi. Tapi saya harap pemerintah bisa bantu, biar kita semua nggak cuma bertahan, tapi bisa hidup layak,” katanya dengan senyum. Warteg memang tetap ramai, tetapi kisah di dalamnya adalah cerminan perjuangan bangsa menghadapi ekonomi yang loyo dan pengangguran yang melejit. Di tengah tantangan ini, Indonesia harus bergerak cepat, bukan hanya untuk mengisi perut, tetapi juga untuk mengisi harapan. By Mukroni
Foto Kowantaranews
- Berita Terkait
Ekonomi Indonesia 2025: Konsumsi Loyo, Rupiah Goyang, Warteg Tetap Jaya!
PMI Anjlok, IKI Goyang, Warteg Tetap Jaya: Industri Indonesia Lawan Badai Tarif Trump!
PHK Mengintai, Tarif Trump Menghantui, Warteg: Tenang, Ada Telor Dadar!
Warteg Halal Harap-Harap Cemas: UMKM Indonesia Lawan Tarif Trump dan Gempuran Impor China!
Prabowo Jalan-jalan ke China, ASEAN Cuma Dapat Senyum dari
GPN & QRIS: Warteg Go Digital, Transaksi Nusantara Gaspol, AS Cuma Bisa Cemas!
Indonesia vs AS: Tarif Impor Bikin Heboh, Warteg Jagokan Dompet Digital!
Utang Rp 250 Triliun Numpuk, Pemerintah Frontloading Biar Warteg Tetep Jualan Tempe!
Indonesia ke AS: ‘Tarif Dikurangin Dong, Kami Beli Energi, Kedelai, Sekalian Stok Warteg!’
TikTok Tawar Tarif: AS-China Ribut, Indonesia Santai di Warteg!
Kelapa Meroket, Warteg Meratap: Drama Harga di Pasar Negeri Sawit!
Trump Tarik Tarif, Rupiah Rontok, Warteg pun Waswas: Drama Ekonomi 2025!
Danantara dan Dolar: Prabowo Bikin Warteg Nusantara atau Kebingungan?
Warteg Lawan Tarif Trump: Nasi Oreg Tempe Bikin Dunia Ketagihan!
Gempuran Koperasi Desa Merah Putih: 70.000 Pusat Ekonomi Baru Siap Mengubah Indonesia!
1 Juta Mimpi Terhambat: UMKM Berjuang Melawan Kredit Macet
Warteg Jadi Garda Terdepan Revolusi Gizi Nasional!
Skema Makan Bergizi Gratis: Asa Besar yang Membebani UMKM
Revolusi Gizi: Makan Gratis untuk Selamatkan Jutaan Jiwa dari Kelaparan
Gebrakan Sejarah: Revolusi Makan Bergizi Gratis, Ekonomi Lokal Bangkit!
PPN 12 Persen: Harapan atau Ancaman Bagi Ekonomi Rakyat?
Menuju Indonesia Tanpa Impor: Mimpi Besar atau Bom Waktu?
Gebrakan PPN 12 Persen: Strategi Berani yang Tak Menjamin Kas Negara Melejit!
Rupiah di Ujung Tanduk: Bank Indonesia Siapkan “Senjata Pamungkas” untuk Lawan Gejolak Dolar AS!
PPN Naik, Dompet Rakyat Tercekik: Ancaman Ekonomi 2025 di Depan Mata!
12% PPN: Bom Waktu untuk Ekonomi Rakyat Kecil
Rapat Elite Kabinet! Bahlil Pimpin Pertemuan Akbar Subsidi Energi demi Masa Depan Indonesia
Ekonomi Indonesia Terancam ‘Macet’, Target Pertumbuhan 8% Jadi Mimpi?
Janji Pemutihan Utang Petani: Kesejahteraan atau Jurang Ketergantungan Baru?
Indonesia Timur Terabaikan: Kekayaan Alam Melimpah, Warganya Tetap Miskin!
Menuju Swasembada Pangan: Misi Mustahil atau Harapan yang Tertunda?
QRIS dan Uang Tunai: Dua Sisi dari Evolusi Pembayaran di Indonesia
Ledakan Ekonomi Pedas: Sambal Indonesia Mengguncang Dunia!
Keanekaragaman Hayati di Ujung Tanduk: Lenyapnya Satwa dan Habitat Indonesia!
Indonesia Menuju 2045: Berhasil Naik Kelas, Tapi Kemiskinan Semakin Mengancam?
Food Estate: Ilusi Ketahanan Pangan yang Berujung Malapetaka ?
Menjelang Akhir Jabatan, Jokowi Tinggalkan PR Besar: Pembebasan Lahan IKN Tersendat!
Pangan Indonesia di Ujung Tanduk: Fase Krusial Beras dan Gula Menuju Krisis!
Tambang Pasir Laut: Ancaman Mematikan bagi Ekosistem dan Kehidupan Pesisir Indonesia!
Duel Menteri Jokowi: Ekspor Pasir Laut atau Hancurkan Lautan Indonesia?
Lonjakan Konsumsi di Tengah Tekanan Ekonomi: Masyarakat Indonesia Bertahan dengan Tabungan!
Hilirisasi Tambang: Mesin Pertumbuhan Ekonomi yang Tak Kunjung Menyala
Impor Lagi? Karena Produksi Pangan Lokal Terlalu Mewah untuk Rakyat!
Stop! Impor Makanan Mengancam! Ketahanan Pangan Indonesia di Ujung Tanduk!
Selamat Datang di Kawasan Lindung: Hutan Hilang Dijamin!
Kongsi Gula Raksasa: Kuasai Tanah, Singkirkan Hutan di Merauke!
Ekspor Pasir Laut Dibuka: Keuntungan Instan, Kerusakan Lingkungan Mengancam Masa Depan!
APBN 2025: Anggaran Jumbo, Stimulus Mini untuk Ekonomi
“Investasi di IKN Melonjak, Tapi Pesawatnya Masih Cari Parkir”
Mandeknya Pengembalian Aset BLBI: Ujian Nyali dan Komitmen Pemerintah
Jeratan Hukum Fify Mulyani dalam Kasus Poligami dan Tindak Pidana Pencucian Uang
Skandal Kuota Haji Khusus: Dugaan Penyelewengan di Balik Penyelenggaraan Haji 2024
IKN di Persimpangan: Anggaran Menyusut, Investasi Swasta Diharapkan
Warteg Menolak IKN, Apa Warteg Menolak IKAN ?
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat
Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit
Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik
Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi
Nongkrong Sambil Mencicip Surabi dengan Beragam Topping di Bandung