Jakarta, Kowantaranews.com -Pemilihan kepala daerah (pilkada) yang seharusnya menjadi pesta demokrasi rakyat kini berubah menjadi ajang transaksi kekuasaan yang menguntungkan segelintir elite politik. Fenomena calon tunggal yang terus menyebar di seluruh daerah bukan hanya tanda kemunduran demokrasi, tetapi juga mengindikasikan bahwa politik kita semakin dikendalikan oleh oligarki. Demokrasi yang sehat, yang seharusnya memberikan ruang pilihan lebih luas bagi rakyat, semakin terdistorsi oleh kepentingan segelintir elite yang berupaya mempertahankan kekuasaan mereka tanpa adanya kompetisi yang sebenarnya.
Pilkada serentak pada November 2024 menjadi puncak dari krisis demokrasi ini. Di 35 daerah, hanya ada satu pasangan calon kepala daerah yang akan bertarung. Meski Mahkamah Konstitusi sudah melonggarkan ambang batas pencalonan kepala daerah, yang seharusnya memacu partai politik untuk mengajukan lebih banyak kandidat, realitas menunjukkan sebaliknya. Alih-alih memperkuat demokrasi, partai politik malah semakin terjebak dalam politik transaksional, menutup ruang kontestasi, dan membiarkan calon tunggal mendominasi. Apa yang terjadi di lapangan bukan lagi pertarungan ide dan kebijakan, melainkan panggung sandiwara kekuasaan yang direkayasa untuk melanggengkan dominasi oligarki.
Baca juga : Revolusi Kotak Kosong! Perlawanan Masyarakat Brebes Guncang Pilkada dengan Gerakan Anti-Calon Tunggal
Baca juga : Karang Taruna, Pencetak Generasi Pemimpin Masa Depan
Baca juga : Ternate dalam Waspada: Curah Hujan Masih Tinggi, Banjir Susulan Mengancam
Demokrasi di Tangan Oligarki
Fenomena calon tunggal bukanlah hal baru dalam politik Indonesia, namun dalam beberapa tahun terakhir, praktik ini semakin marak. Pada pilkada 2015, hanya ada tiga daerah yang menyaksikan adanya calon tunggal. Namun, jumlah ini terus bertambah secara signifikan: sembilan pada 2017, 16 pada 2018, 25 pada 2020, hingga kini mencapai 35 pada 2024. Ini bukan sekadar statistik. Ini adalah alarm bahaya bahwa ruang demokrasi sedang terancam dan politik kita sedang menuju jalan buntu.
Calon tunggal menjadi tanda nyata dari bagaimana oligarki bekerja. Dalam situasi ini, partai-partai politik tidak lagi berfungsi sebagai jembatan antara rakyat dan kekuasaan, melainkan sebagai mesin-mesin kekuasaan yang dipenuhi dengan kepentingan transaksional. Partai-partai besar berkonsolidasi, mengesampingkan calon-calon alternatif demi melindungi aliansi politik mereka. Yang tersisa hanyalah satu calon yang dipilih bukan karena kualitas kepemimpinan atau visi politik yang jelas, melainkan karena dia adalah bagian dari jaringan kekuasaan yang lebih besar.
Salah satu contoh nyata dari fenomena ini terjadi di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat. Di sini, koalisi penantang yang sudah mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum harus mundur karena intervensi kekuasaan. Calon tunggal yang tersisa adalah Annisa Suci Ramadhani, yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Presiden Joko Widodo. Fenomena seperti ini bukan hanya terjadi di Dharmasraya. Banyak daerah lain menghadapi skenario serupa, di mana calon-calon penantang terpaksa mundur atau tidak mendapatkan dukungan politik yang memadai karena tekanan dari elite pusat.
Di Jakarta, kita hampir menyaksikan drama calon tunggal serupa. Meski akhirnya muncul dua pasangan calon tambahan, hal ini tidak serta merta mencerminkan adanya kontestasi politik yang sehat. Apa yang terjadi di Jakarta lebih menunjukkan upaya partai politik untuk mempertahankan status quo daripada memberikan pilihan yang sebenarnya bagi rakyat. Kompetisi yang muncul hanya di permukaan, sementara di belakang layar, skenario politik diatur oleh elite dengan tujuan melanggengkan kekuasaan mereka.
Ruang Demokrasi yang Menyempit
Pilkada seharusnya menjadi arena di mana berbagai calon kepala daerah dengan latar belakang yang berbeda bersaing untuk mendapatkan kepercayaan rakyat. Namun, realitas yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Dengan semakin maraknya calon tunggal, ruang demokrasi menjadi semakin sempit. Rakyat semakin kekurangan pilihan, dan partisipasi politik menjadi semakin tidak berarti. Demokrasi yang seharusnya memberikan peluang untuk perubahan dan pembaruan kini hanya menjadi ajang pengulangan kekuasaan dari satu elite ke elite lainnya.
Peningkatan jumlah calon tunggal dalam pilkada adalah indikator jelas bahwa sistem politik kita sedang mengalami stagnasi. Jika partai-partai politik terus mengesampingkan peran mereka sebagai penyaring dan penyedia calon-calon pemimpin daerah yang kompeten, maka kita akan semakin jauh dari demokrasi yang sebenarnya. Partai politik seharusnya berfungsi sebagai instrumen penting dalam memberikan rakyat pilihan yang beragam. Namun, dalam konteks politik saat ini, partai-partai besar lebih fokus pada keuntungan pragmatis dan jangka pendek, serta kepentingan kekuasaan daripada memperjuangkan aspirasi rakyat.
Hal ini juga menciptakan lingkaran setan di mana elite politik terus-menerus mempertahankan kekuasaan dengan cara mengontrol dan membatasi akses calon-calon potensial dari luar lingkaran mereka. Dalam sistem seperti ini, sangat sulit bagi calon independen atau calon yang memiliki dukungan rakyat luas untuk maju ke panggung politik. Kekuatan politik telah terkonsentrasi di tangan segelintir orang, dan rakyat hanya dijadikan penonton dalam permainan besar ini.
Kotak Kosong sebagai Bentuk Perlawanan
Di tengah krisis demokrasi ini, gerakan memilih kotak kosong muncul sebagai simbol perlawanan yang sah terhadap sistem politik yang rusak. Kotak kosong bukan sekadar pilihan pasif atau apatisme politik, melainkan sebuah pernyataan tegas bahwa rakyat menolak proses politik yang sudah dimanipulasi oleh elite. Memilih kotak kosong adalah bentuk resistensi terhadap calon tunggal yang dipaksakan tanpa persaingan yang adil.
Gerakan kotak kosong ini telah muncul di berbagai daerah sebagai bentuk penolakan aktif terhadap calon tunggal. Meski sering kali gerakan ini dihadapkan pada tekanan politik yang besar, dukungan terhadap kotak kosong semakin kuat. Para pemilih yang mendukung kotak kosong percaya bahwa lebih baik menolak kandidat yang ada daripada mendukung pemimpin yang dipaksakan oleh elite politik. Bagi mereka, memilih kotak kosong adalah bentuk perlawanan terhadap politik transaksional dan oligarki yang menggerogoti sistem demokrasi kita.
Secara hukum, memilih kotak kosong adalah hak yang dijamin oleh undang-undang. Jika kotak kosong memenangkan pemilihan, pilkada harus diulang. Meski ini berarti biaya tambahan harus dikeluarkan, banyak yang berpendapat bahwa ini adalah harga yang layak untuk membela martabat demokrasi. Pilkada ulang dengan lebih banyak kandidat yang memiliki kompetensi dan integritas akan memberikan peluang yang lebih adil bagi rakyat untuk memilih pemimpin mereka.
Memperjuangkan Demokrasi yang Sehat
Mendukung gerakan kotak kosong bukan berarti anti-demokrasi. Sebaliknya, ini adalah cara untuk menjaga agar demokrasi tetap hidup. Gerakan ini menjadi penyeimbang terhadap kekuatan oligarki yang terus merajalela dalam politik lokal. Jika fenomena calon tunggal terus dibiarkan, rakyat akan kehilangan kepercayaan pada sistem politik, dan demokrasi akan semakin terdegradasi menjadi sekadar prosedur tanpa esensi.
Untuk menyelamatkan demokrasi, partai politik harus mengembalikan fungsinya sebagai penyedia alternatif calon pemimpin yang kompeten. Partai harus meninggalkan praktik politik transaksional dan kembali kepada prinsip-prinsip demokrasi yang sehat, di mana kompetisi politik didasarkan pada ide dan kebijakan, bukan pada jaringan kekuasaan yang eksklusif. Selain itu, rakyat perlu terus mendukung gerakan-gerakan perlawanan terhadap oligarki seperti kotak kosong, yang memberikan sinyal bahwa rakyat menolak tunduk pada kekuasaan yang dipaksakan.
Kita tidak boleh membiarkan pilkada menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan segelintir elite. Pilkada harus menjadi sarana untuk memperkuat demokrasi, memberikan ruang bagi calon-calon baru yang memiliki visi untuk membawa perubahan positif. Jika kita gagal mempertahankan prinsip-prinsip dasar demokrasi ini, maka masa depan politik kita hanya akan dikuasai oleh mereka yang memiliki kekuatan dan uang, bukan oleh mereka yang benar-benar ingin melayani rakyat.
Dalam keadaan darurat demokrasi seperti ini, memilih kotak kosong adalah pukulan telak yang perlu diberikan kepada elite politik yang merusak tatanan demokrasi. Rakyat harus berani berdiri dan mengatakan, “Kami tidak akan tunduk pada kekuasaan yang dipaksakan!” Ini adalah saatnya untuk mengembalikan demokrasi kepada rakyat dan menuntut pemimpin yang benar-benar mewakili kepentingan masyarakat, bukan elite politik. *Mukroni
Foto Kompasiana
- Berita Terkait :
Karang Taruna, Pencetak Generasi Pemimpin Masa Depan
Ternate dalam Waspada: Curah Hujan Masih Tinggi, Banjir Susulan Mengancam
Purwokerto Calon Ibu Kota Provinsi Banyumasan: Inilah Wilayah yang Akan Bergabung
Sejarah Warteg: Evolusi dari Logistik Perang hingga Bisnis Kuliner Populer
Cerita Munculnya Warteg, Berawal untuk Logistik Prajurit Sultan Agung
Wajib Sertifikasi Halal UMKM Diundur ke 2026: Kebijakan dan Alasan Pemerintah
Teriak Pedagang Warteg Saat Harga Beras Dekati Rp 700 Ribu per Karung
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat
Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit
Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik
Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi