Jakarta, Kowantaranews.com -Pada tahun 1937, sebuah tragedi besar mengguncang dunia farmasi Amerika Serikat dan menjadi salah satu titik balik paling penting dalam sejarah regulasi obat-obatan. Elixir Sulfanilamide, sebuah obat baru yang diperkenalkan sebagai pengobatan modern, mengakibatkan kematian lebih dari 100 orang dalam beberapa minggu. Sebagian besar korban adalah anak-anak kecil, yang tanpa sadar menjadi korban praktik farmasi yang lemah dan tidak diatur.
Awal Mula Tragedi
Pada akhir 1930-an, industri farmasi Amerika berkembang pesat. Namun, lemahnya regulasi dan pengawasan menyebabkan produk-produk yang tidak aman beredar luas di pasar. Food and Drug Administration (FDA) yang bertugas mengawasi keamanan obat-obatan masih merupakan lembaga kecil dengan kekuasaan terbatas. Pada saat itu, produsen obat tidak diwajibkan untuk membuktikan keamanan produk mereka sebelum menjualnya ke publik.
Di tengah konteks ini, Elixir Sulfanilamide diperkenalkan oleh S.E. Massengill Company, sebuah perusahaan farmasi di Tennessee. Obat ini dipasarkan sebagai solusi ampuh untuk berbagai infeksi bakteri. Komposisi utama Elixir Sulfanilamide adalah sulfanilamida, antibiotik yang pada saat itu dianggap sebagai inovasi medis revolusioner. Namun, untuk membuat obat ini berbentuk cair, perusahaan mencampurkannya dengan dietilen glikol (DEG), zat kimia yang sekarang kita kenal sebagai komponen utama dalam cairan pendingin (antifreeze). (www.nytimes.com/2024/11/21)
Sayangnya, dietilen glikol sangat beracun bagi manusia. Namun, pada saat itu, tidak ada undang-undang yang mewajibkan pengujian keamanan sebelum produk dilepas ke pasar. Akibatnya, Elixir Sulfanilamide mulai dijual dan digunakan tanpa peringatan.
Tragedi yang Mengguncang Bangsa
Hanya beberapa minggu setelah Elixir Sulfanilamide diluncurkan, laporan tentang keracunan serius mulai muncul dari berbagai penjuru negara. Gejala yang dialami para korban sangat parah, meliputi nyeri perut hebat, muntah, gagal ginjal, dan akhirnya kematian. Sebagian besar korban adalah anak-anak yang diberikan obat ini untuk mengatasi infeksi umum. Dalam waktu singkat, lebih dari 100 orang kehilangan nyawa, dengan mayoritas korban berusia muda.
Kematian akibat elixir ini mengejutkan publik. Di banyak komunitas kecil, duka mendalam terasa ketika anak-anak dan anggota keluarga lainnya meninggal tanpa peringatan. Tidak ada mekanisme yang jelas untuk mencegah tragedi semacam ini, dan masyarakat mulai menyadari bahwa industri farmasi telah berjalan tanpa pengawasan yang memadai.
Baca juga : Rekor Suhu Panas di Indonesia Capai 38,4 Derajat Celsius: Dampak Perubahan Iklim Terasa di Berbagai Daerah
Baca juga : Penurunan Angka Kelahiran di Indonesia dan Tantangan Pembiayaan Kesehatan Lansia
Baca juga : Penurunan Angka Kelahiran di Indonesia dan Tantangan Pembiayaan Kesehatan Lansia
Respons FDA dan Publik
Food and Drug Administration, meskipun memiliki kekuasaan terbatas, segera bertindak. Di bawah kepemimpinan Dr. Walter G. Campbell, FDA memobilisasi sumber daya mereka untuk menarik Elixir Sulfanilamide dari pasar. Operasi besar-besaran ini melibatkan petugas FDA yang berkeliling ke seluruh negeri, melacak setiap botol elixir yang telah terjual. Dalam prosesnya, FDA tidak hanya menghadapi tantangan logistik, tetapi juga perlawanan dari beberapa pihak yang skeptis terhadap tindakan pemerintah.
Namun, tragedi ini memicu gelombang kemarahan nasional. Media massa memberitakan kejadian ini secara luas, menyoroti kurangnya regulasi dalam industri farmasi. Banyak keluarga korban bersuara, menuntut perubahan untuk mencegah insiden serupa di masa depan.
Kesalahan yang Fatal
Mengapa tragedi ini bisa terjadi? Jawabannya terletak pada lemahnya standar keamanan obat pada saat itu. Produsen Elixir Sulfanilamide tidak melakukan pengujian toksisitas terhadap produk mereka karena tidak diwajibkan oleh hukum. Mereka hanya memeriksa rasa dan stabilitas fisik obat, tanpa mempertimbangkan efek kimianya pada tubuh manusia.
Dietilen glikol, bahan utama yang digunakan sebagai pelarut, tidak dikenal sebagai zat beracun pada saat itu. Namun, kini kita tahu bahwa konsumsi dietilen glikol bahkan dalam jumlah kecil dapat menyebabkan kerusakan ginjal yang parah dan sering kali berakibat fatal.
Pelajaran dan Reformasi
Tragedi ini akhirnya membuka mata pemerintah dan masyarakat tentang perlunya regulasi yang lebih ketat dalam industri farmasi. Pada tahun 1938, setahun setelah insiden ini, Kongres Amerika Serikat mengesahkan Federal Food, Drug, and Cosmetic Act (FFDCA). Undang-undang ini memberikan FDA kekuasaan yang jauh lebih besar untuk mengawasi keamanan obat-obatan, makanan, dan kosmetik.
Beberapa poin penting dari undang-undang ini meliputi:
- Pengujian Keamanan Wajib
Produsen obat diwajibkan untuk membuktikan bahwa produk mereka aman sebelum diizinkan untuk dijual. - Pelabelan yang Jelas
Semua obat harus mencantumkan informasi lengkap tentang komposisi dan peringatan penggunaannya. - Kekuatan Penegakan Hukum
FDA diberikan wewenang untuk menyita produk berbahaya dan menghentikan distribusi obat yang tidak aman.
Dampak Jangka Panjang
Insiden Elixir Sulfanilamide menjadi momen penting dalam sejarah regulasi farmasi di Amerika Serikat. Tragedi ini tidak hanya menyelamatkan ribuan nyawa di masa depan, tetapi juga mendorong standar global dalam pengawasan obat-obatan.
Selain itu, kasus ini menjadi pengingat keras bagi produsen obat bahwa keuntungan tidak boleh mengesampingkan tanggung jawab terhadap keselamatan konsumen. Industri farmasi modern kini diwajibkan untuk mematuhi standar keamanan yang ketat, dan pengawasan terus diperbarui untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Peringatan bagi Dunia
Meski tragedi ini terjadi hampir satu abad yang lalu, pelajaran dari Elixir Sulfanilamide tetap relevan hingga hari ini. Dalam dunia yang terus berkembang, ancaman terhadap keamanan obat-obatan masih ada. Skandal produk farmasi palsu atau kurang aman terus bermunculan di berbagai negara, menunjukkan bahwa pengawasan dan regulasi yang ketat tetap menjadi kebutuhan utama.
Bagi negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia, insiden ini menjadi pengingat betapa pentingnya membangun sistem regulasi yang kuat untuk melindungi masyarakat. Setiap produk obat harus melalui pengujian menyeluruh sebelum sampai ke tangan konsumen, dan pengawasan terhadap industri farmasi harus dilakukan tanpa kompromi.
Dari Tragedi Menuju Transformasi
Elixir Sulfanilamide bukan sekadar obat yang gagal; ia adalah simbol dari risiko besar ketika keselamatan diabaikan demi efisiensi dan keuntungan. Tragedi ini memakan banyak korban, terutama anak-anak, tetapi juga menjadi titik balik penting yang memicu reformasi besar dalam pengawasan obat-obatan di Amerika Serikat.
Hari ini, tragedi itu dikenang sebagai pelajaran berharga tentang pentingnya regulasi, transparansi, dan akuntabilitas dalam industri farmasi. Dalam dunia yang terus berubah, insiden ini tetap menjadi pengingat bahwa keselamatan konsumen harus selalu menjadi prioritas utama. Elixir pembawa maut telah menjadi katalisator perubahan yang melindungi jutaan nyawa hingga saat ini. By Mukroni
Foto VOA Indonesia
- Berita Terkait :
Penurunan Angka Kelahiran di Indonesia dan Tantangan Pembiayaan Kesehatan Lansia
Sejarah Warteg: Evolusi dari Logistik Perang hingga Bisnis Kuliner Populer
Cerita Munculnya Warteg, Berawal untuk Logistik Prajurit Sultan Agung
Wajib Sertifikasi Halal UMKM Diundur ke 2026: Kebijakan dan Alasan Pemerintah
Teriak Pedagang Warteg Saat Harga Beras Dekati Rp 700 Ribu per Karung
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat
Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit
Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik
Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi
Nongkrong Sambil Mencicip Surabi dengan Beragam Topping di Bandung
Gurihnya Coto Makassar Legendaris di Air Mancur Bogor, Yuk ke Sana