Jakarta, Kowantaranews.com -Pada tahun 2024, daya beli masyarakat Indonesia mengalami penurunan yang signifikan. Fenomena ini menjadi perhatian penting karena konsumsi rumah tangga adalah pendorong utama pertumbuhan ekonomi nasional, menyumbang sekitar 55 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Penurunan daya beli masyarakat tidak hanya mempengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran akan dampaknya terhadap perekonomian secara keseluruhan.
Penyebab Penurunan Daya Beli
Ada beberapa faktor utama yang berkontribusi terhadap melemahnya daya beli masyarakat. Salah satu yang paling mencolok adalah kenaikan harga kebutuhan pokok, terutama pangan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada triwulan pertama tahun 2024, inflasi untuk komponen harga bergejolak mencapai angka yang mengkhawatirkan. Inflasi tahunan untuk Januari 2024 tercatat sebesar 7,22 persen, meningkat menjadi 8,47 persen pada Februari, dan terus naik hingga 10,33 persen pada Maret. Komoditas utama seperti beras, daging ayam, telur, cabai merah, bawang putih, dan tomat menjadi penyumbang terbesar inflasi tersebut.
Kenaikan harga ini tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan masyarakat. Banyak pekerja, terutama di sektor informal, mengalami stagnasi upah. Bahkan bagi mereka yang bekerja di sektor formal, peningkatan gaji tidak cukup untuk mengejar laju inflasi. Akibatnya, daya beli menurun karena masyarakat harus mengalokasikan sebagian besar pendapatan mereka untuk kebutuhan dasar, mengurangi pengeluaran untuk barang-barang lain.
Selain itu, peningkatan cicilan kredit konsumer setelah pandemi COVID-19 juga memberikan tekanan tambahan pada keuangan rumah tangga. Menurut laporan Mandiri Spending Index (MSI), kredit konsumer meningkat hingga 44,8 persen setelah pandemi, sedangkan peningkatan rata-rata penghasilan bersih hanya 15 persen selama periode 2017-2023. Kesenjangan ini menunjukkan bahwa banyak rumah tangga harus menggunakan tabungan mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan membayar cicilan.
Dampak Terhadap Konsumsi Masyarakat
Dampak dari penurunan daya beli sangat terasa dalam pola konsumsi masyarakat. Data menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2024 hanya tumbuh 4,91 persen secara tahunan, lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi nasional yang berkisar 5 persen. Sementara konsumsi meningkat dibandingkan triwulan IV-2023 yang tumbuh 4,47 persen, angka ini masih jauh dari tingkat yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat.
Penurunan konsumsi ini paling jelas terlihat dalam penjualan barang-barang yang biasanya memiliki permintaan tinggi selama musim liburan, seperti pakaian dan alas kaki. Pada triwulan I-2024, penjualan untuk kategori ini tumbuh melambat meskipun ada perayaan Ramadhan dan Idul Fitri, yang biasanya mendorong lonjakan belanja. Ini menunjukkan bahwa masyarakat memilih untuk menunda atau mengurangi pembelian barang-barang yang dianggap tidak mendesak, fokus pada kebutuhan dasar terlebih dahulu.
Baca juga : Proposed Nutritious Free Meal Budget for Children Sparks Debate Over Cost and Comparison to Prison Meals
Baca juga : Kekhawatiran Kowantara Terhadap Minyak Goreng Kemasan Palsu
Strategi Masyarakat Menghadapi Situasi
Dalam menghadapi situasi ini, masyarakat menerapkan berbagai strategi untuk mengelola keuangan mereka. Salah satunya adalah “downtrading,” atau memilih barang-barang dengan harga lebih rendah sebagai alternatif. Berdasarkan data MSI, meskipun kunjungan belanja meningkat sebesar 3,3 persen pada tahun 2024 dibandingkan tahun sebelumnya, nilai rata-rata keranjang belanja per perjalanan justru turun 0,9 persen. Ini menunjukkan bahwa masyarakat cenderung membeli barang dalam jumlah yang lebih kecil, tetapi lebih sering, untuk menyesuaikan dengan anggaran yang lebih ketat.
Selain itu, banyak rumah tangga yang terpaksa menguras tabungan mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Fenomena “makan tabungan” ini semakin diperparah oleh kebutuhan untuk membayar cicilan kredit. Berdasarkan data MSI, porsi tabungan terhadap pendapatan mengalami penurunan, dengan tingkat tabungan yang tumbuh negatif 22,4 persen selama periode 2017-2018. Ini mencerminkan tekanan finansial yang dihadapi banyak keluarga, terutama di kelas menengah dan menengah bawah.
Implikasi Jangka Panjang
Penurunan daya beli masyarakat memiliki implikasi yang lebih luas terhadap perekonomian. Konsumsi rumah tangga yang lemah dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan, mengingat kontribusinya yang signifikan terhadap PDB. Selain itu, jika masyarakat terus mengurangi konsumsi dan menguras tabungan, ini bisa menyebabkan penurunan lebih lanjut dalam tingkat tabungan nasional, yang penting untuk investasi jangka panjang.
Situasi ini juga menimbulkan tantangan bagi kebijakan ekonomi pemerintah. Di satu sisi, diperlukan upaya untuk menekan inflasi dan mengendalikan harga kebutuhan pokok. Di sisi lain, kebijakan untuk mendorong pertumbuhan pendapatan, baik melalui peningkatan upah maupun penciptaan lapangan kerja yang lebih baik, juga sangat penting. Selain itu, perlindungan terhadap konsumen dan dukungan untuk kelompok rentan, seperti melalui bantuan sosial, menjadi semakin penting dalam konteks daya beli yang terpuruk.
Melemahnya daya beli masyarakat adalah fenomena kompleks yang disebabkan oleh kombinasi faktor ekonomi, termasuk inflasi, stagnasi pendapatan, dan peningkatan beban utang. Dampaknya terhadap konsumsi rumah tangga sangat nyata, dengan penurunan dalam pengeluaran untuk barang-barang tidak mendesak dan peningkatan ketergantungan pada tabungan. Untuk menghadapi tantangan ini, perlu ada pendekatan terpadu yang melibatkan kebijakan fiskal, moneter, dan sosial yang mendukung pertumbuhan ekonomi inklusif dan berkelanjutan. Masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta harus bekerja sama untuk mengatasi dampak negatif dari situasi ini dan memastikan pemulihan yang kuat dan merata bagi semua lapisan masyarakat. *Mukroni
Sumber Kompas
Foto Kowantaranews
- Berita Terkait :
Sejarah Warteg: Evolusi dari Logistik Perang hingga Bisnis Kuliner Populer
Cerita Munculnya Warteg, Berawal untuk Logistik Prajurit Sultan Agung
Wajib Sertifikasi Halal UMKM Diundur ke 2026: Kebijakan dan Alasan Pemerintah
Teriak Pedagang Warteg Saat Harga Beras Dekati Rp 700 Ribu per Karung
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat
Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit
Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik
Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi
Nongkrong Sambil Mencicip Surabi dengan Beragam Topping di Bandung
Gurihnya Coto Makassar Legendaris di Air Mancur Bogor, Yuk ke Sana