Jakarta, Kowantaranews.com -Saat Presiden Joko Widodo berbicara di hadapan kepala daerah seluruh Indonesia di Ibu Kota Nusantara (IKN) pada 13 Agustus 2024, ia mengungkapkan sebuah pernyataan yang sarat akan makna sejarah dan simbolisme. Jokowi, dalam video yang disiarkan ulang di akun YouTube resmi, menyampaikan betapa dirinya merasa dibayang-bayangi oleh aroma kolonial saat menjalankan tugas kenegaraan di Istana Negara dan Istana Presiden—bangunan yang dulunya merupakan tempat tinggal gubernur jenderal kolonial Belanda. Menurut Jokowi, selama 79 tahun setelah kemerdekaan, bangsa Indonesia terus menempati bangunan tersebut, yang kini menjadi simbol pemerintahan modern Indonesia.
Dengan semangat yang sama, Jokowi menekankan bahwa pembangunan IKN adalah upaya untuk melepaskan diri dari bayang-bayang kolonial dan menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kemampuan untuk membangun ibu kota sesuai dengan cita-cita dan keinginan bangsa. IKN bukan hanya sekadar ibu kota baru, tetapi juga simbol kebangkitan dan kemandirian bangsa Indonesia, jauh dari pengaruh dan warisan kolonialisme.
Namun, di balik ambisi besar ini, ada kisah-kisah lain yang jarang terungkap—kisah tentang tanah, lahan, dan masyarakat yang telah lama mendiami kawasan yang kini menjadi pusat pembangunan IKN. Di balik janji untuk membangun masa depan yang cerah, terdapat bayang-bayang masa lalu yang terus menghantui masyarakat setempat, terutama dalam hal penguasaan dan kepemilikan lahan.
Lahan dan Hak Guna Usaha: Bayang-Bayang Baru bagi Warga Lokal
Di sebuah rumah kayu sederhana di Kelurahan Sepaku, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, seorang pria bernama Pandi (51) menyimak pernyataan Jokowi dalam video tersebut. Namun, senyuman kecut menghiasi wajahnya saat ia mendengar Jokowi berbicara tentang memupus aroma kolonial. Bagi Pandi, masalah yang dihadapinya justru lebih kompleks. “Tapi izin HGU (Hak Guna Usaha) di IKN lebih-lebih dari [pemerintah] kolonial,” ujarnya.
Pernyataan Pandi merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan IKN, yang memberikan berbagai insentif dan kemudahan fasilitas perizinan bagi pelaku usaha. Dalam pasal yang cukup kontroversial, Perpres ini memberikan jaminan kepastian jangka waktu HGU hingga 190 tahun. Satu siklus HGU bisa berlangsung hingga 95 tahun, dan dapat diperpanjang untuk siklus kedua.
Bagi warga seperti Pandi, yang tinggal hanya 15 kilometer dari pusat pembangunan IKN, peraturan ini menimbulkan ketakutan baru. Lahan tempat mereka tinggal selama puluhan tahun kini dihadapkan pada ketidakpastian, terutama dengan tumpang tindih klaim kepemilikan yang sudah terjadi sejak lama.
Pandi, seperti banyak warga lainnya di Sepaku, hanya memiliki dokumen segel untuk lahan rumahnya, yang ia peroleh pada 2019. Beberapa warga lain bahkan hanya memiliki surat keterangan kepemilikan bangunan dan tanaman di atas tanah negara atau adat. Kondisi ini membuat mereka rentan terhadap penggusuran dan kehilangan lahan tanpa mendapatkan ganti rugi yang adil.
Baca juga : Lampu Kuning dari Kelas Menengah RI: Menurunnya Daya Beli dan Dampak Sosial Ekonomi
Baca juga : Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Daya Beli yang Melemah
Asrirapi: Potret Kekhawatiran Warga Sepaku
Salah satu warga yang merasakan langsung dampak dari kebijakan ini adalah Asrirapi (51), seorang warga Kelurahan Sepaku. Ia memiliki surat keterangan kepemilikan bangunan dan tanaman di atas tanah negara atau adat, yang diterbitkan pada tahun 2001. Sebelum memiliki surat ini, keluarganya telah menggarap dan menguasai lahan tersebut secara turun-temurun sejak tahun 1960-an. Kepemilikan lahan yang mereka anut didasarkan pada warisan garapan turun-temurun, dengan batas-batas yang hanya berupa pohon buah.
Namun, masalah muncul ketika Asrirapi mencoba untuk meningkatkan status surat lahannya menjadi sertifikat. Usaha tersebut selalu gagal karena lahan rumah dan kebunnya masuk dalam area Hutan Tanaman Industri (HTI) yang telah diberikan izin oleh pemerintah sejak 1970-an. Kini, area HTI tersebut digunakan untuk pembangunan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) IKN.
Dengan status surat keterangan yang dimiliki Asrirapi, ia khawatir tidak akan mendapatkan ganti rugi yang adil jika rumah dan lahannya terkena dampak pembangunan IKN. Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, ia hanya akan mendapatkan ganti rugi untuk bangunan dan tanaman yang dimilikinya, sementara lahan itu sendiri dianggap sebagai tanah negara.
“Kalau bukan warga seperti kami, mana bisa IKN dibangun di sini. Warga kok yang babat alas, bikin jalan, dan hidup duluan di sini,” keluh Asrirapi. Bagi Asrirapi dan banyak warga lainnya, kebijakan ini tidak hanya tidak adil, tetapi juga mengabaikan kontribusi mereka dalam membuka dan menggarap lahan yang kini menjadi bagian dari IKN.
Sengkarut Lahan dan Tafsir Tanah Negara
Masalah sengkarut lahan di IKN tidak berhenti pada kasus Pandi dan Asrirapi. Menurut Rikardo Simarmata, seorang peneliti dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, masalah tumpang tindih penguasaan tanah di wilayah IKN telah menjadi permasalahan yang serius. Dalam penelitian yang diterbitkan di Jurnal Ilmu Hukum Veritas et Justitia Vol 9 No 1 Tahun 2023, Rikardo meneliti kesahihan klaim pemerintah pusat tentang lahan di IKN yang disebut sebagai tanah negara.
Dari hasil penelitian literatur dan lapangan, Rikardo menemukan bahwa lahan IKN yang luasnya sekitar 250.000 hektar tidak semuanya merupakan tanah negara. Ada lahan yang dikuasai oleh warga, diklaim sebagai tanah adat, hingga tanah kesultanan. Menurutnya, ada tumpang tindih antara sistem penguasaan tanah formal yang dijalankan oleh pemerintah dengan sistem penguasaan tanah informal yang dijalankan oleh warga.
Tumpang tindih ini, menurut Rikardo, diawali oleh tafsir birokrasi atas “tanah negara” yang cenderung formalistik dan tidak peka terhadap realitas penguasaan tanah yang ada di lapangan. Akibatnya, banyak warga yang merasa hak atas tanah mereka diabaikan, dan mereka berpotensi kehilangan lahan tanpa mendapatkan ganti rugi yang layak.
Penelitian Rikardo menyoroti bahwa masalah ini memiliki implikasi besar terhadap legitimasi sistem penguasaan informal yang dimiliki oleh masyarakat. Jika tidak ada penghormatan terhadap hak atas tanah yang dimiliki masyarakat hukum adat, implementasi peraturan perundang-undangan terkait IKN bisa menimbulkan ketidakadilan dan konflik sosial yang lebih besar di masa depan.
Mencari Solusi: Menemukan Titik Tengah
Saat diwawancara di Balikpapan pada 10 Agustus 2024, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyatakan bahwa pemerintah sedang berusaha mencari solusi untuk menangani dampak sosial kemasyarakatan (PDSK) yang timbul akibat pembangunan IKN. Menurut AHY, pemerintah ingin mencari titik tengah yang dapat menyelesaikan masalah lahan tanpa merugikan warga.
Namun, AHY juga menekankan bahwa negara memiliki keterbatasan dan ada koridor hukum yang harus dijaga. Pernyataan ini menunjukkan bahwa meskipun pemerintah berusaha untuk menyelesaikan masalah ini, tantangan yang dihadapi tidaklah mudah, terutama mengingat kompleksitas permasalahan lahan di IKN.
Masa Depan IKN: Simbol Kemajuan atau Bayang-Bayang Kolonial Baru?
Pembangunan IKN adalah proyek ambisius yang bertujuan untuk membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih cerah. Namun, di balik ambisi besar tersebut, ada bayang-bayang masa lalu yang terus menghantui, terutama dalam hal penguasaan lahan dan hak-hak masyarakat lokal.
Bagi Pandi, Asrirapi, dan banyak warga lainnya di sekitar IKN, pembangunan ibu kota baru ini bukan hanya soal kemajuan dan modernisasi. Ini juga soal keadilan, penghormatan terhadap hak-hak tanah, dan pengakuan atas kontribusi mereka dalam membuka lahan yang kini menjadi pusat pemerintahan Indonesia di masa depan.
Pemerintah perlu mengakui bahwa pembangunan IKN tidak hanya tentang meninggalkan simbol-simbol kolonial seperti yang diungkapkan oleh Jokowi. Lebih dari itu, pemerintah harus memastikan bahwa pembangunan ini tidak menciptakan bayang-bayang kolonial baru yang justru memperburuk kehidupan masyarakat setempat.
Jika tidak, IKN mungkin akan dikenal bukan hanya sebagai simbol kemajuan, tetapi juga sebagai tempat di mana sejarah kolonialisme menemukan bentuk barunya di tengah upaya membangun masa depan yang lebih baik. *Mukroni
Foto Kowantara news
- Berita Terkait :
Lampu Kuning dari Kelas Menengah RI: Menurunnya Daya Beli dan Dampak Sosial Ekonomi
Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Daya Beli yang Melemah
Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Utang
Lonjakan Harga Kopi Robusta: Peluang dan Tantangan bagi Perkopian Indonesia
Mengintip Tingginya Biaya Hidup di Timor Leste: Air Mineral Rp 10 Ribu, Fenomena dan Faktor Penyebab
Sejarah Warteg: Evolusi dari Logistik Perang hingga Bisnis Kuliner Populer
Cerita Munculnya Warteg, Berawal untuk Logistik Prajurit Sultan Agung
Wajib Sertifikasi Halal UMKM Diundur ke 2026: Kebijakan dan Alasan Pemerintah
Teriak Pedagang Warteg Saat Harga Beras Dekati Rp 700 Ribu per Karung
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat
Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit
Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik
Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi
Nongkrong Sambil Mencicip Surabi dengan Beragam Topping di Bandung