Jakarta, Kowantaranews.com -Merauke, sebuah wilayah di ujung timur Indonesia, telah lama menjadi pusat ketahanan pangan di kawasan Papua. Keberhasilan ini tidak lepas dari kontribusi besar para transmigran, khususnya dari Pulau Jawa, yang datang sejak era Orde Baru melalui program transmigrasi. Selama lebih dari empat dekade, para petani ini telah memainkan peran penting dalam mengembangkan pertanian di daerah yang sebelumnya kurang terjamah. Namun, keberhasilan ini bukan hanya milik para transmigran. Penduduk lokal Papua juga telah berperan dalam melestarikan dan meningkatkan produktivitas pertanian di Merauke, menciptakan sinergi yang unik antara kedua kelompok ini.
Sejarah Transmigrasi di Merauke
Pada awal 1980-an, pemerintahan Orde Baru meluncurkan program transmigrasi besar-besaran sebagai salah satu upaya untuk mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa serta meningkatkan produktivitas lahan di daerah-daerah yang kurang berkembang. Merauke menjadi salah satu tujuan utama program ini. Ribuan petani dari Jawa, bersama dengan sejumlah kecil penduduk asli Papua, ditempatkan di lahan-lahan yang sebelumnya berupa rawa-rawa dan hutan.
Sukarmin, seorang petani berusia 64 tahun asal Grobogan, Jawa Tengah, adalah salah satu dari gelombang pertama transmigran yang tiba di Merauke pada tahun 1982. Saat itu, ia bersama 500 petani lainnya ditempatkan di sejumlah kampung di Distrik Semangga. Dengan tekad kuat untuk mengubah nasib, mereka berjuang mengatasi berbagai tantangan, mulai dari genangan air di lahan hingga kondisi cuaca yang ekstrem.
“Pada awalnya, kami harus bergotong-royong membuat saluran kecil untuk mengalirkan air dari lahan ke sungai. Saluran ini kami sebut ‘saluran cacing’,” kenang Sukarmin. Berkat kerja keras dan ketekunan, lahan yang awalnya sulit diolah kini telah berubah menjadi area pertanian produktif yang menghasilkan padi, sayuran, dan komoditas lainnya.
Peran Generasi Muda dalam Melanjutkan Warisan Pertanian
Meskipun generasi pertama transmigran seperti Sukarmin kini mulai menua, harapan untuk kelanjutan pertanian di Merauke tetap hidup berkat keterlibatan generasi muda. Anak-anak mereka, yang sebagian besar lahir dan besar di Merauke, merasa memiliki tanggung jawab moral untuk melanjutkan usaha pertanian yang telah dirintis oleh orang tua mereka.
Tomas Wanggaimu, seorang petani berusia 32 tahun asal Kampung Semangga Jaya, adalah contoh nyata dari generasi muda yang bersemangat melanjutkan usaha pertanian. Tomas adalah anak dari pasangan petani, ibunya seorang transmigran dari Grobogan, Jawa Tengah, dan ayahnya berasal dari Mappi, Papua Selatan. Sejak kecil, Tomas sudah akrab dengan kehidupan bertani. “Sejak kecil saya diajak membersihkan rumput hingga menabur pupuk,” ungkap Tomas, yang kini fokus pada budidaya tanaman hortikultura.
Tomas tidak hanya melanjutkan usaha pertanian orang tuanya, tetapi juga berusaha untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi melalui pendekatan yang lebih modern dan strategis. Bersama kelompok tani yang beranggotakan generasi kedua transmigran, Tomas aktif berdiskusi dan mencari peluang pasar yang menguntungkan. Mereka mulai berpikir lebih strategis dalam memilih komoditas yang akan ditanam, memanfaatkan situasi pasar untuk mendapatkan hasil maksimal dari usaha mereka.
“Dulu, orang tua kami menanam semua jenis tanaman tanpa memikirkan pasar. Sekarang, kami mulai berpikir bagaimana tenaga kami bisa dibayar lebih mahal dengan memilih tanaman yang sedang dibutuhkan pasar,” ujar Tomas. Pemikiran ini menunjukkan adanya perubahan paradigma dalam pertanian di Merauke, dari sekadar bertani untuk memenuhi kebutuhan sendiri, menjadi bertani dengan orientasi pasar yang lebih jelas.
Baca juga : Lampu Kuning dari Kelas Menengah RI: Menurunnya Daya Beli dan Dampak Sosial Ekonomi
Kolaborasi dengan Petani Lokal Papua
Selain transmigran, petani lokal Papua juga memiliki peran penting dalam menjaga ketahanan pangan di Merauke. Sejak awal program transmigrasi, pemerintah telah menyisipkan sejumlah keluarga asli Papua di setiap kampung transmigran. Tujuannya adalah agar warga lokal dapat belajar dan terampil dalam bidang pertanian yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.
Yakobus Riski Antono Mahuze, seorang petani muda berusia 28 tahun dari suku Marind, adalah salah satu dari sedikit petani lokal Papua yang berhasil mengembangkan usaha pertaniannya. Orang tua Riski adalah salah satu keluarga asli Papua yang ditempatkan bersama para transmigran dari Jawa di Kampung Waninggap Kai, Distrik Semangga, pada tahun 1980-an. Sejak kecil, Riski sudah terbiasa dengan aktivitas pertanian, dan meskipun putus sekolah di bangku SMP, ia terus melanjutkan usaha bertani yang diwariskan oleh ayahnya.
Sebagai generasi muda dari suku Marind, Riski ingin menunjukkan bahwa orang asli Papua juga bisa sukses dalam bidang pertanian. “Dulu, transmigran datang memperkenalkan cara merawat tanaman hingga pascapanen. Lalu, orang tua kami mengajarkan hal itu kepada kami sehingga kami bisa menekuninya,” kata Riski. Ia merasa bangga bisa melanjutkan tradisi bertani yang sudah dilakukan oleh nenek moyangnya, sekaligus membuktikan bahwa petani lokal Papua memiliki potensi besar untuk dikembangkan.
Tantangan dan Harapan bagi Pertanian di Merauke
Meskipun ada banyak keberhasilan yang dicapai, pertanian di Merauke tidak luput dari tantangan. Salah satu tantangan terbesar adalah regenerasi petani. Banyak petani yang menua dan tidak ada yang melanjutkan usaha mereka. Di sisi lain, sebagian petani lokal Papua masih menghadapi kesulitan dalam mengadopsi teknologi pertanian modern. Kurangnya pengetahuan dan keterampilan dalam mengelola lahan dan menggunakan alat-alat pertanian canggih sering kali membuat mereka merasa terpinggirkan.
Riski Mahuze mengakui bahwa kegagalan sebagian petani lokal di masa lalu menjadi pelajaran penting bagi generasi muda. Ia berharap, dengan dukungan yang tepat dari pemerintah dan pendampingan yang berkelanjutan, petani lokal Papua dapat lebih berdaya dalam mengembangkan pertanian. “Mayoritas suku kami di Papua pengetahuannya tentang pertanian masih minim. Bagaimana menggarap lahan, memberi pupuk, dan memanen, itu yang tidak ada. Walaupun pemerintah sudah memberi alat mesin pertanian, jika akhirnya petani tidak tahu cara menggunakannya, mereka hanya akan membuang atau menjualnya,” ungkap Riski.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah melalui Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Merauke terus berupaya menghadirkan inovasi dan teknologi pertanian yang bisa diakses oleh semua petani, termasuk petani lokal Papua. Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Merauke, Josefa Rumaseuw, menekankan pentingnya program-program yang dapat memacu antusiasme petani muda. Ia mencatat bahwa saat ini terdapat lebih dari 29.000 petani yang tersebar di 20 distrik di Merauke. Dalam dua kali musim tanam, para petani ini menggarap sekitar 67.000 hektar lahan pertanian, dengan 63.000 hektar di antaranya ditanami padi.
Pemerintah juga meluncurkan program nasional untuk mengoptimalkan lahan di Merauke, dengan target meningkatkan produktivitas pertanian. Program ini mencakup pengenalan alat mesin pertanian, varietas padi unggul yang adaptif terhadap perubahan iklim, serta teknologi seperti sistem pengairan dan sensor kelembaban tanah dan cuaca. Selain itu, petani juga didorong untuk mengadopsi metode tanam padi jajar legowo, yang terbukti dapat meningkatkan produktivitas dari 2-3 ton per hektar menjadi 9-10 ton per hektar.
Kolaborasi Lintas Sektor untuk Ketahanan Pangan
Tidak hanya pemerintah, sektor swasta juga mulai terlibat dalam menjaga keberlanjutan ketahanan pangan di Merauke. PT Pupuk Indonesia (Persero), misalnya, telah meluncurkan program Makmur yang bertujuan untuk memberikan pendampingan dan skema pembiayaan kepada petani. Selain itu, melalui program ini, petani juga dibantu dalam mencari pemasok untuk hasil pertanian yang mereka produksi.
Direktur Utama PT Pupuk Indonesia, Rahmad Pribadi, yang mengunjungi Merauke pada akhir Juli 2024, menyatakan optimisme bahwa keberlanjutan pertanian di wilayah ini akan semakin kuat dengan adanya kolaborasi lintas sektor. Ia melihat bahwa persatuan antara petani transmigran dan lokal Papua merupakan contoh keberagaman yang patut dicontoh oleh daerah lain di Indonesia. “Di Merauke, kita bisa melihat bagaimana persatuan dan kerjasama antara petani transmigran dan lokal Papua berhasil meningkatkan produktivitas pertanian. Ini adalah keberagaman yang bisa menjadi contoh bagi seluruh Indonesia,” ujarnya. *Mukroni
Foto Kompas
- Berita Terkait :
Lampu Kuning dari Kelas Menengah RI: Menurunnya Daya Beli dan Dampak Sosial Ekonomi
Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Daya Beli yang Melemah
Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Utang
Lonjakan Harga Kopi Robusta: Peluang dan Tantangan bagi Perkopian Indonesia
Mengintip Tingginya Biaya Hidup di Timor Leste: Air Mineral Rp 10 Ribu, Fenomena dan Faktor Penyebab
Sejarah Warteg: Evolusi dari Logistik Perang hingga Bisnis Kuliner Populer
Cerita Munculnya Warteg, Berawal untuk Logistik Prajurit Sultan Agung
Wajib Sertifikasi Halal UMKM Diundur ke 2026: Kebijakan dan Alasan Pemerintah
Teriak Pedagang Warteg Saat Harga Beras Dekati Rp 700 Ribu per Karung
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat
Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit
Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik
Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi
Nongkrong Sambil Mencicip Surabi dengan Beragam Topping di Bandung