Jakarta, Kowantaranews.com — Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah Indonesia tengah berada di pusaran kritik keras dari berbagai kalangan hukum dan masyarakat sipil. Kritik ini mencuat setelah adanya dugaan pelanggaran konstitusi terkait dengan syarat pencalonan kepala daerah dalam Undang-Undang Pilkada. Desakan ini muncul terutama setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang tegas mengenai hal tersebut. Para pengamat dan akademisi memperingatkan bahwa pembangkangan terhadap putusan MK tidak hanya mengancam integritas hukum negara, tetapi juga berpotensi menjerumuskan Indonesia ke dalam krisis konstitusional yang serius.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang Final dan Mengikat
Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga peradilan tertinggi dalam penyelesaian sengketa norma perundang-undangan, telah menetapkan bahwa putusannya bersifat final dan mengikat semua pihak, termasuk DPR dan presiden sebagai pembentuk undang-undang. Hal ini termaktub dalam UUD 1945, yang menjadi fondasi hukum negara. Oleh karena itu, setiap putusan MK, khususnya yang membatalkan suatu norma dalam undang-undang, tidak dapat diabaikan atau dihidupkan kembali dalam undang-undang baru dengan substansi yang sama. Namun, tindakan DPR yang belakangan ini dinilai berusaha menghidupkan kembali norma yang telah dibatalkan MK, memicu kekhawatiran akan potensi krisis konstitusional.
Bayu Dwi Anggono, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember, menegaskan bahwa MK dalam putusannya tidak hanya membatalkan suatu norma, tetapi juga membatalkan kebijakan hukum yang menjadi dasar dari norma tersebut. “Apa maknanya? MK di dalam putusannya membatalkan norma di dalam undang-undang. Tapi sesungguhnya yang dibatalkan adalah politik hukumnya, kebijakan hukumnya. Bukan soal ini dibatalkan di undang-undang ini nanti bisa dihidupkan di undang-undang yang baru. Enggak begitu konsepnya. Karena yang dibatalkan adalah kebijakan hukum yang bertentangan dengan UUD. Jadi mau diatur di mana pun, undang-undang mana pun, termasuk undang-undang baru, tetap dia bernilai inkonstitusional,” jelas Bayu.
Konteks dan Implikasi Putusan MK
Putusan MK nomor 70/PUU-XXII/2024 menyoroti Pasal 7 Ayat (2) Huruf e dalam UU No 10/2016 yang mengatur syarat usia minimal bagi calon kepala daerah, yakni 30 tahun untuk gubernur dan wakil gubernur, serta 25 tahun untuk bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota. Dalam putusan tersebut, MK menegaskan bahwa penghitungan usia minimal dilakukan sejak penetapan pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), bukan pada saat pelantikan, seperti yang diputuskan sebelumnya oleh Mahkamah Agung pada Mei 2024.
Putusan ini memiliki implikasi besar terhadap pencalonan individu tertentu, salah satunya adalah Kaesang Pangarep, putra Presiden Joko Widodo, yang saat ini belum memenuhi syarat usia minimal untuk maju sebagai calon gubernur. Dukungan yang telah diberikan oleh Partai Nasdem kepada Kaesang untuk Pilkada Jawa Tengah otomatis tertutup oleh putusan MK ini.
Selain itu, MK juga mengeluarkan putusan penting terkait ambang batas pengajuan calon oleh partai politik. Dalam putusan tersebut, Pasal 40 Ayat (1) UU Pilkada dinyatakan inkonstitusional bersyarat jika tidak dimaknai bahwa syarat pengajuan calon oleh partai atau gabungan partai politik disamakan dengan syarat calon dari jalur perseorangan. Artinya, syarat pengajuan calon oleh partai politik harus berada di antara 6,5 persen hingga 10 persen suara sah dalam pemilu sebelumnya, tergantung pada jumlah daftar pemilih tetap di daerah tersebut.
Pembangkangan DPR dan Pemerintah: Ancaman Krisis Konstitusional
Meski putusan MK tersebut sudah jelas dan mengikat, DPR melalui Rapat Panitia Kerja (Panja) Revisi UU Pilkada Badan Legislasi tampaknya memilih untuk melanjutkan pembahasan revisi UU Pilkada secara cepat. Dalam rapat Panja yang digelar pada Rabu (21/8/2024), DPR menyepakati untuk menggunakan putusan Mahkamah Agung sebagai dasar penghitungan usia calon kepala daerah, bukan putusan MK. DPR juga berencana mengubah Pasal 40 Ayat (1) UU Pilkada menjadi tidak sesuai dengan putusan MK.
Tindakan DPR ini mendapat kritik tajam dari berbagai kalangan, yang menilai bahwa langkah tersebut merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi dan putusan MK. Bayu Dwi Anggono menegaskan bahwa tindakan semacam ini akan berpotensi menimbulkan krisis konstitusional yang serius. “Tindakan semacam itu akan berpotensi menimbulkan krisis konstitusional. Kenapa? Karena tidak ada ujungnya, kan. Tidak ada kepastian hukum dan akan berakibat pada bagaimana legitimasi dari pilkada itu sendiri nantinya. Saya bayangkan ya, dari DPR nanti diundangkan, diuji lagi ke MK, dibatalkan lagi, diatur lagi. Siklusnya tidak berhenti. Ini krisis, kan?” ujar Bayu.
Baca juga : Keputusan MK Soal Pilkada 2024: Jalan Terbuka bagi Partai Kecil dan Kandidat Alternatif
Baca juga : Megawati Soekarnoputri: Perpanjangan Masa Jabatan Presiden Langgar Konstitusi
Kritik Terhadap Prosedur Revisi Kilat UU Pilkada
Selain aspek substansi, kritik juga dilayangkan terhadap prosedur revisi UU Pilkada yang dianggap tidak rasional dan tidak sesuai dengan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Bayu mempertanyakan bagaimana mungkin undang-undang yang penting dapat dibentuk dalam waktu satu hari tanpa melalui proses yang sesuai dengan prosedur baku, termasuk partisipasi publik yang bermakna.
“Bagaimana kita bisa merasionalkan pembentukan undang-undang dalam waktu satu hari? Kalau memang ada urgensi yang sangat tampak, silakan perppu. Tapi perppu kan juga harus ada syarat kegentingan yang memaksa, tidak bisa sembarangan melakukan perppu,” tegas Bayu, yang juga merupakan guru besar ilmu perundang-undangan.
Bayu menyoroti bahwa revisi kilat ini tidak sesuai dengan prosedur yang diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Prosedur ini mengamanatkan adanya partisipasi publik yang bermakna di setiap tahapan pembahasan rancangan undang-undang. Menurutnya, revisi kilat UU Pilkada ini sangat diragukan rasionalitasnya dan dipertanyakan apakah telah memenuhi tahapan-tahapan yang dipersyaratkan, terutama dalam hal partisipasi publik.
Pernyataan CALS: Rezim Otokratis dan Pembangkangan Konstitusi
Kecaman terhadap DPR dan pemerintah juga datang dari para ahli hukum tata negara yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS). Mereka menilai bahwa Presiden Joko Widodo dan partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM+) tengah menghalalkan segala cara untuk mempertajam hegemoni kekuasaan koalisi politik yang besar dan gurita dinasti politik dalam Pilkada 2024.
CALS menilai bahwa upaya mengabaikan dua putusan MK tersebut dilakukan untuk memuluskan jalan bagi Kaesang Pangarep, putra Presiden Joko Widodo, untuk mencalonkan diri sebagai wakil gubernur Jawa Tengah, meskipun Kaesang belum memenuhi syarat usia minimal yang diatur oleh MK. Mereka juga melihat adanya upaya mendelegitimasi Pilkada 2024 sejak awal dengan cara mengakali aturan main, mengurangi kompetitor riil, dan memborong dukungan partai politik dalam koalisi besar.
Dalam pandangan para akademisi yang tergabung dalam CALS, pemerintah dan DPR tengah mempertontonkan pembangkangan konstitusi serta pamer kekuasaan yang eksesif tanpa kontrol yang berarti dari lembaga legislatif. Mereka menyatakan bahwa tindakan ini mencerminkan rezim otokratis yang berusaha melanggengkan otokrasi legalisme untuk mengakumulasi kekuasaan dan mengonsolidasikan kekuatan elite politik hingga ke level pemerintahan daerah.
Peringatan dan Ancaman Boikot dari Masyarakat Sipil
Melihat dinamika yang berkembang, CALS dan berbagai kelompok masyarakat sipil memperingatkan bahwa jika DPR dan pemerintah tetap melanjutkan revisi UU Pilkada dengan mengabaikan putusan MK, maka masyarakat sipil akan mengambil tindakan tegas. Salah satu bentuk perlawanan yang mereka usulkan adalah pembangkangan sipil dan boikot terhadap Pilkada 2024 sebagai bentuk protes terhadap tirani dan otokrasi rezim Presiden Joko Widodo serta partai pendukungnya.
Desakan agar DPR dan pemerintah menghentikan pembahasan revisi UU Pilkada dan mematuhi putusan MK menjadi sorotan utama dalam diskursus politik saat ini. Kekhawatiran akan krisis konstitusional yang lebih dalam semakin menguat di tengah ketidakpastian hukum dan integritas proses demokrasi yang sedang dipertaruhkan.
Dalam konteks politik dan hukum yang semakin memanas menjelang Pilkada 2024, langkah DPR dan pemerintah dalam merevisi UU Pilkada dengan mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi dinilai berpotensi menimbulkan krisis konstitusional yang serius. Desakan dari akademisi, pakar hukum, dan kelompok masyarakat sipil agar DPR dan pemerintah menghentikan upaya tersebut menjadi semakin kuat. Jika krisis ini tidak ditangani dengan baik, legitimasi Pilkada 2024 dan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi di Indonesia bisa terancam. *Mukroni
Foto Kowantaranews
- Berita Terkait :
Keputusan MK Soal Pilkada 2024: Jalan Terbuka bagi Partai Kecil dan Kandidat Alternatif
Megawati Soekarnoputri: Perpanjangan Masa Jabatan Presiden Langgar Konstitusi
PDI-P Unggul dalam Pemilu Legislatif 2024, Delapan Partai Politik Duduki Kursi DPR
Anies Baswedan Resmi Diusung NasDem untuk Pilgub DKI Jakarta 2024
Pilpres 2024: Lima Sorotan Utama dari Sidang Perdana Gugatan di MK
Perjalanan Indonesia dari Federalisme ke Negara Kesatuan: Tantangan dan Perkembangan Pasca-RIS
Gibran sebagai Cawapres: DKPP Ambil Tindakan Serius Terhadap KPU dan Hasyim Asyari
Kowantara Bersatu untuk Mendukung AMIN, Anies dan Muhaimin: Merajut Kekuatan Bersama
Presiden Jokowi Ajak Warga Singapura Tinggal di IKN, Menterinya Melarang Warteg di IKN
Kowantara Bersatu untuk Mendukung AMIN, Anies dan Muhaimin: Merajut Kekuatan Bersama
HIKAPINDO Perjuangkan Kader Penyuluh Indonesia di DPR RI
Apa Isi Risalah At-Tauhid Sidoresmo Surabaya Untuk Anies Baswedan ?
DISKUSI PUBLIK CONTINUUM BIGDATA CENTER : “DINAMIKA POLITIK MENUJU 2024, APA KATA BIG DATA?”
Menggali Asa Warteg: Perspektif Terhadap Pembangunan Multi-Kota
Implikasi Kepresidenan Prabowo: Faisal Basri Ramal Utang RI Tembus Rp16.000 T
Pedagang Warteg dan Daya Beli Masyarakat Tertatih-tatih Di Akhir Jabatan Jokowi
Warteg Bakal Dilarang di IKN, Begini Saran Kowantara
Ayo Gibran Bersuara Jangan Diam !, Ada Menteri yang Sebelah Mata Terhadap Warteg
Presiden Jokowi Ajak Warga Singapura Tinggal di IKN, Menterinya Melarang Warteg di IKN
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat
Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit
Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik
Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi
Nongkrong Sambil Mencicip Surabi dengan Beragam Topping di Bandung
Gurihnya Coto Makassar Legendaris di Air Mancur Bogor, Yuk ke Sana