• Ming. Jan 26th, 2025

KowantaraNews

RINGKAS DAN TAJAM

Warisan Feodalisme dalam Politik Indonesia

ByAdmin

Nov 21, 2024
Sharing is caring

Jakarta, Kowantaranews.com -Feodalisme, sebagai suatu sistem sosial-politik, dikenal karena ciri khasnya: relasi hierarkis antara penguasa dan rakyat berbasis patronase dan loyalitas pribadi. Sistem ini mendominasi masyarakat di berbagai belahan dunia pada masa lalu, termasuk Nusantara di bawah kerajaan-kerajaan tradisional. Meski Indonesia kini telah merdeka dan menganut sistem demokrasi, warisan feodalisme ternyata masih membekas dalam berbagai aspek politik modern. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: sejauh mana feodalisme masih memengaruhi praktik politik Indonesia saat ini?

Jejak Feodalisme di Masa Lalu

Pada masa kerajaan Nusantara, hubungan kekuasaan sangat kental dengan pola feodal. Raja atau penguasa dipandang sebagai sosok yang memiliki legitimasi ilahi, sedangkan rakyat berada dalam posisi subordinat yang wajib tunduk dan memberikan loyalitas mutlak. Dalam tatanan seperti ini, kedekatan dengan penguasa menjadi penentu akses terhadap sumber daya dan kekuasaan.

Meskipun sistem kerajaan perlahan memudar setelah kolonialisme dan kemerdekaan Indonesia, banyak unsur dari struktur sosial tersebut tetap bertahan. Ketergantungan pada figur pemimpin, pola patron-klien, dan kecenderungan untuk mengutamakan kepentingan pribadi atau golongan adalah beberapa contoh warisan yang masih terasa hingga kini.

Feodalisme dalam Politik Modern

Feodalisme di Indonesia tidak lagi hadir dalam bentuk asli, tetapi telah beradaptasi dengan konteks modern. Salah satu manifestasinya adalah dalam pola kepemimpinan yang masih mengandalkan hubungan patron-klien. Dalam banyak kasus, politik di Indonesia sering kali berpusat pada sosok individu, bukan pada visi atau program partai politik. Fenomena ini terlihat jelas dalam kontestasi politik lokal dan nasional.

Pemimpin yang terpilih cenderung dikelilingi oleh lingkaran patronase, di mana loyalitas individu atau kelompok tertentu lebih dihargai daripada kompetensi atau kapasitas. Hal ini menciptakan jejaring kekuasaan yang berlapis-lapis, di mana setiap lapisan bergantung pada lapisan di atasnya, mirip dengan struktur feodal masa lalu.

Selain itu, pola hubungan kekuasaan berbasis darah atau keluarga juga masih sangat kentara. Fenomena dinasti politik, misalnya, mencerminkan bagaimana garis keturunan tetap menjadi faktor penting dalam politik Indonesia. Beberapa nama keluarga besar, baik di tingkat nasional maupun daerah, terus mendominasi peta politik. Mereka sering kali memanfaatkan koneksi keluarga untuk membangun kekuatan politik, menciptakan oligarki yang mengontrol akses terhadap kekuasaan.

Dinasti Politik dan Patronase

Fenomena dinasti politik adalah salah satu contoh nyata dari warisan feodalisme. Nama-nama seperti Sukarno, Soeharto, hingga keluarga-keluarga politik lokal di berbagai daerah menjadi bukti betapa tradisi ini masih relevan. Dinasti politik memungkinkan kekuasaan bertahan dalam lingkaran keluarga, yang sering kali menggunakan pengaruh, sumber daya, dan jaringan mereka untuk menjaga kontrol atas kekuasaan.

Selain itu, budaya patronase di Indonesia juga memperkuat pola feodal. Para politisi kerap membangun jejaring dukungan dengan memberikan “imbalan” kepada pendukung mereka, baik dalam bentuk materi, posisi, atau proyek pemerintah. Hubungan ini tidak hanya menguntungkan para pendukung tetapi juga memperkokoh posisi sang pemimpin, yang menjadi tokoh sentral dalam hierarki kekuasaan.

Budaya ini menyebabkan politik sering kali lebih menyerupai “pasar loyalitas” daripada arena kompetisi ide. Pemilih dan pendukung lebih banyak memilih berdasarkan hubungan emosional atau kedekatan pribadi, bukan karena visi atau misi yang diusung. Akibatnya, kualitas kebijakan yang dihasilkan sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat luas.

Baca juga : Dari Bukhari ke Bung Karno: Wisata Ziarah dan Diplomasi Berbumbu Sejarah

Baca juga : Revitalisasi Cagar Budaya Nasional Muarajambi Menuju Pengakuan UNESCO sebagai Warisan Dunia

Baca juga : Napak Tilas Perjuangan di Jalan Matraman: Halte Tegalan dan Matraman 1 sebagai Simbol Perlawanan Sultan Agung Raja Mataram Islam dan Kyai Rangga Bupati Tegal Melawan VOC

Feodalisme dalam Simbol dan Budaya

Warisan feodalisme juga terlihat dalam cara masyarakat memandang pemimpin politik. Sebagian besar masyarakat masih melihat pemimpin sebagai figur “raja” yang harus dihormati dan dijunjung tinggi. Kritik terhadap pemimpin sering kali dianggap sebagai tindakan tidak sopan, bahkan subversif. Sikap ini menunjukkan bahwa meskipun demokrasi telah diterapkan, budaya politik Indonesia belum sepenuhnya demokratis.

Simbolisme dalam politik juga mencerminkan unsur-unsur feodal. Misalnya, kemewahan dalam acara-acara politik, penggunaan gelar atau panggilan kehormatan, hingga pengkultusan individu dalam kampanye menciptakan citra “penguasa” yang jauh dari rakyat. Padahal, demokrasi idealnya menciptakan hubungan yang setara antara pemimpin dan rakyatnya.

Dampak Negatif Warisan Feodalisme

Warisan feodalisme dalam politik Indonesia membawa berbagai dampak negatif, antara lain:

  1. Merusak Meritokrasi
    Ketergantungan pada hubungan patron-klien menghambat meritokrasi. Posisi strategis sering kali diberikan kepada orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan pemimpin, bukan berdasarkan kompetensi atau kemampuan mereka.
  2. Menghambat Reformasi Demokrasi
    Budaya feodal bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang mengedepankan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi rakyat. Selama pola hubungan hierarkis ini tetap dominan, sulit bagi Indonesia untuk mewujudkan demokrasi yang substansial.
  3. Korupsi dan Nepotisme
    Sistem patronase menciptakan peluang besar untuk praktik korupsi dan nepotisme. Ketergantungan antara pemimpin dan pendukung sering kali diwarnai dengan transaksi yang tidak transparan, yang merugikan kepentingan publik.
  4. Memperlebar Ketimpangan Kekuasaan
    Struktur politik berbasis feodal cenderung memperkuat ketimpangan kekuasaan. Kelompok kecil yang berada di puncak hierarki memiliki kontrol besar atas sumber daya dan keputusan politik, sementara masyarakat luas tetap berada dalam posisi subordinat.

Upaya Mengatasi Feodalisme dalam Politik

Menghapuskan warisan feodalisme dalam politik Indonesia bukanlah tugas yang mudah, tetapi langkah-langkah berikut dapat membantu mempercepat proses tersebut:

  1. Peningkatan Literasi Politik
    Masyarakat perlu dididik untuk memahami pentingnya memilih pemimpin berdasarkan visi, misi, dan kapasitas, bukan karena hubungan emosional atau kedekatan pribadi. Literasi politik yang baik akan membantu masyarakat menilai pemimpin secara objektif.
  2. Penguatan Partai Politik
    Partai politik harus bertransformasi menjadi institusi yang berfokus pada ideologi dan program, bukan sekadar kendaraan politik individu. Dengan demikian, partai dapat menjadi penyeimbang kekuatan dalam sistem politik.
  3. Penegakan Hukum yang Tegas
    Korupsi, nepotisme, dan praktik patronase harus diberantas dengan penegakan hukum yang tegas dan transparan. Pemimpin yang melanggar etika politik harus dihukum untuk memberikan efek jera.
  4. Reformasi Sistem Pemilu
    Sistem pemilu harus dirancang untuk mendorong kompetisi yang sehat, di mana kandidat dipilih berdasarkan kapasitas dan integritas, bukan popularitas semata.
  5. Pemberdayaan Komunitas Lokal
    Masyarakat di tingkat lokal perlu diberdayakan agar dapat terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan politik. Hal ini akan mengurangi ketergantungan pada patron-patron politik.

Feodalisme dalam politik Indonesia bukanlah fenomena yang sepenuhnya menghilang, tetapi telah berubah bentuk sesuai dengan konteks modern. Warisan ini menjadi salah satu tantangan terbesar dalam membangun demokrasi yang sehat dan inklusif. Untuk mengatasinya, dibutuhkan komitmen bersama dari masyarakat, pemimpin, dan institusi politik untuk menciptakan sistem yang lebih adil, transparan, dan berbasis meritokrasi. Dengan langkah-langkah yang tepat, Indonesia dapat melepaskan diri dari belenggu warisan feodal dan maju menuju demokrasi yang substansial. By Mukroni

Foto Jernih

  • Berita Terkait :

Dari Bukhari ke Bung Karno: Wisata Ziarah dan Diplomasi Berbumbu Sejarah

Revitalisasi Cagar Budaya Nasional Muarajambi Menuju Pengakuan UNESCO sebagai Warisan Dunia

Napak Tilas Perjuangan di Jalan Matraman: Halte Tegalan dan Matraman 1 sebagai Simbol Perlawanan Sultan Agung Raja Mataram Islam dan Kyai Rangga Bupati Tegal Melawan VOC

Kyai Rangga Bupati Tegal: Diplomat Perjuangan Sultan Agung melawan VOC di Batavia pada Abad ke-17

Jejak Sejarah Tegal dan Peran Sentralnya dalam Mataram Islam: Dari Pangeran Purbaya hingga Warung Tegal

Sejarah Warteg: Evolusi dari Logistik Perang hingga Bisnis Kuliner Populer

Cerita Munculnya Warteg, Berawal untuk Logistik Prajurit Sultan Agung

Wajib Sertifikasi Halal UMKM Diundur ke 2026: Kebijakan dan Alasan Pemerintah

Teriak Pedagang Warteg Saat Harga Beras Dekati Rp 700 Ribu per Karung

Menggali Asa Warteg: Perspektif Terhadap Pembangunan Multi-Kota

Implikasi Kepresidenan Prabowo: Faisal Basri Ramal Utang RI Tembus Rp16.000 T

Bermetamorfosis bersama Kowantara: Menguak 10 Langkah Warteg Berpeluang Menjadi Agen Perubahan dalam Pemilihan Presiden yang Bijak

10 Saran KOWANTARA bagi Warteg Apabila ada Pelanggan Mengeluarkan Kata-Kata Merendahkan seperti Bodoh dan Tolol

Pedagang Warteg dan Daya Beli Masyarakat Tertatih-tatih Di Akhir Jabatan Jokowi

Saran KOWANTARA : 10 Sikap Warteg Jika ada Pejabat Tinggi yang Melihat Sebelah Mata Keberadaan Warteg

Warteg Bakal Dilarang di IKN, Begini Saran Kowantara

Ayo Gibran Bersuara Jangan Diam !, Ada Menteri  yang Sebelah Mata Terhadap Warteg

Presiden Jokowi Ajak Warga Singapura Tinggal di IKN, Menterinya Melarang Warteg di IKN

Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang

Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online

Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani

Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu

Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi

Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya

Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan

Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.

Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang

KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat

Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?

Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka 

Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu

Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis

Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi

Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik

Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama

Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal

Kowartami  Resmikan  Warteg  Republik  Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat

Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit

Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik

Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi

Nongkrong Sambil Mencicip Surabi dengan Beragam Topping di Bandung

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *