Jakarta, Kowantaranews.com -Feodalisme, sebagai suatu sistem sosial-politik, dikenal karena ciri khasnya: relasi hierarkis antara penguasa dan rakyat berbasis patronase dan loyalitas pribadi. Sistem ini mendominasi masyarakat di berbagai belahan dunia pada masa lalu, termasuk Nusantara di bawah kerajaan-kerajaan tradisional. Meski Indonesia kini telah merdeka dan menganut sistem demokrasi, warisan feodalisme ternyata masih membekas dalam berbagai aspek politik modern. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: sejauh mana feodalisme masih memengaruhi praktik politik Indonesia saat ini?
Jejak Feodalisme di Masa Lalu
Pada masa kerajaan Nusantara, hubungan kekuasaan sangat kental dengan pola feodal. Raja atau penguasa dipandang sebagai sosok yang memiliki legitimasi ilahi, sedangkan rakyat berada dalam posisi subordinat yang wajib tunduk dan memberikan loyalitas mutlak. Dalam tatanan seperti ini, kedekatan dengan penguasa menjadi penentu akses terhadap sumber daya dan kekuasaan.
Meskipun sistem kerajaan perlahan memudar setelah kolonialisme dan kemerdekaan Indonesia, banyak unsur dari struktur sosial tersebut tetap bertahan. Ketergantungan pada figur pemimpin, pola patron-klien, dan kecenderungan untuk mengutamakan kepentingan pribadi atau golongan adalah beberapa contoh warisan yang masih terasa hingga kini.
Feodalisme dalam Politik Modern
Feodalisme di Indonesia tidak lagi hadir dalam bentuk asli, tetapi telah beradaptasi dengan konteks modern. Salah satu manifestasinya adalah dalam pola kepemimpinan yang masih mengandalkan hubungan patron-klien. Dalam banyak kasus, politik di Indonesia sering kali berpusat pada sosok individu, bukan pada visi atau program partai politik. Fenomena ini terlihat jelas dalam kontestasi politik lokal dan nasional.
Pemimpin yang terpilih cenderung dikelilingi oleh lingkaran patronase, di mana loyalitas individu atau kelompok tertentu lebih dihargai daripada kompetensi atau kapasitas. Hal ini menciptakan jejaring kekuasaan yang berlapis-lapis, di mana setiap lapisan bergantung pada lapisan di atasnya, mirip dengan struktur feodal masa lalu.
Selain itu, pola hubungan kekuasaan berbasis darah atau keluarga juga masih sangat kentara. Fenomena dinasti politik, misalnya, mencerminkan bagaimana garis keturunan tetap menjadi faktor penting dalam politik Indonesia. Beberapa nama keluarga besar, baik di tingkat nasional maupun daerah, terus mendominasi peta politik. Mereka sering kali memanfaatkan koneksi keluarga untuk membangun kekuatan politik, menciptakan oligarki yang mengontrol akses terhadap kekuasaan.
Dinasti Politik dan Patronase
Fenomena dinasti politik adalah salah satu contoh nyata dari warisan feodalisme. Nama-nama seperti Sukarno, Soeharto, hingga keluarga-keluarga politik lokal di berbagai daerah menjadi bukti betapa tradisi ini masih relevan. Dinasti politik memungkinkan kekuasaan bertahan dalam lingkaran keluarga, yang sering kali menggunakan pengaruh, sumber daya, dan jaringan mereka untuk menjaga kontrol atas kekuasaan.
Selain itu, budaya patronase di Indonesia juga memperkuat pola feodal. Para politisi kerap membangun jejaring dukungan dengan memberikan “imbalan” kepada pendukung mereka, baik dalam bentuk materi, posisi, atau proyek pemerintah. Hubungan ini tidak hanya menguntungkan para pendukung tetapi juga memperkokoh posisi sang pemimpin, yang menjadi tokoh sentral dalam hierarki kekuasaan.
Budaya ini menyebabkan politik sering kali lebih menyerupai “pasar loyalitas” daripada arena kompetisi ide. Pemilih dan pendukung lebih banyak memilih berdasarkan hubungan emosional atau kedekatan pribadi, bukan karena visi atau misi yang diusung. Akibatnya, kualitas kebijakan yang dihasilkan sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat luas.
Baca juga : Dari Bukhari ke Bung Karno: Wisata Ziarah dan Diplomasi Berbumbu Sejarah
Baca juga : Revitalisasi Cagar Budaya Nasional Muarajambi Menuju Pengakuan UNESCO sebagai Warisan Dunia
Feodalisme dalam Simbol dan Budaya
Warisan feodalisme juga terlihat dalam cara masyarakat memandang pemimpin politik. Sebagian besar masyarakat masih melihat pemimpin sebagai figur “raja” yang harus dihormati dan dijunjung tinggi. Kritik terhadap pemimpin sering kali dianggap sebagai tindakan tidak sopan, bahkan subversif. Sikap ini menunjukkan bahwa meskipun demokrasi telah diterapkan, budaya politik Indonesia belum sepenuhnya demokratis.
Simbolisme dalam politik juga mencerminkan unsur-unsur feodal. Misalnya, kemewahan dalam acara-acara politik, penggunaan gelar atau panggilan kehormatan, hingga pengkultusan individu dalam kampanye menciptakan citra “penguasa” yang jauh dari rakyat. Padahal, demokrasi idealnya menciptakan hubungan yang setara antara pemimpin dan rakyatnya.
Dampak Negatif Warisan Feodalisme
Warisan feodalisme dalam politik Indonesia membawa berbagai dampak negatif, antara lain:
- Merusak Meritokrasi
Ketergantungan pada hubungan patron-klien menghambat meritokrasi. Posisi strategis sering kali diberikan kepada orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan pemimpin, bukan berdasarkan kompetensi atau kemampuan mereka. - Menghambat Reformasi Demokrasi
Budaya feodal bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang mengedepankan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi rakyat. Selama pola hubungan hierarkis ini tetap dominan, sulit bagi Indonesia untuk mewujudkan demokrasi yang substansial. - Korupsi dan Nepotisme
Sistem patronase menciptakan peluang besar untuk praktik korupsi dan nepotisme. Ketergantungan antara pemimpin dan pendukung sering kali diwarnai dengan transaksi yang tidak transparan, yang merugikan kepentingan publik. - Memperlebar Ketimpangan Kekuasaan
Struktur politik berbasis feodal cenderung memperkuat ketimpangan kekuasaan. Kelompok kecil yang berada di puncak hierarki memiliki kontrol besar atas sumber daya dan keputusan politik, sementara masyarakat luas tetap berada dalam posisi subordinat.
Upaya Mengatasi Feodalisme dalam Politik
Menghapuskan warisan feodalisme dalam politik Indonesia bukanlah tugas yang mudah, tetapi langkah-langkah berikut dapat membantu mempercepat proses tersebut:
- Peningkatan Literasi Politik
Masyarakat perlu dididik untuk memahami pentingnya memilih pemimpin berdasarkan visi, misi, dan kapasitas, bukan karena hubungan emosional atau kedekatan pribadi. Literasi politik yang baik akan membantu masyarakat menilai pemimpin secara objektif. - Penguatan Partai Politik
Partai politik harus bertransformasi menjadi institusi yang berfokus pada ideologi dan program, bukan sekadar kendaraan politik individu. Dengan demikian, partai dapat menjadi penyeimbang kekuatan dalam sistem politik. - Penegakan Hukum yang Tegas
Korupsi, nepotisme, dan praktik patronase harus diberantas dengan penegakan hukum yang tegas dan transparan. Pemimpin yang melanggar etika politik harus dihukum untuk memberikan efek jera. - Reformasi Sistem Pemilu
Sistem pemilu harus dirancang untuk mendorong kompetisi yang sehat, di mana kandidat dipilih berdasarkan kapasitas dan integritas, bukan popularitas semata. - Pemberdayaan Komunitas Lokal
Masyarakat di tingkat lokal perlu diberdayakan agar dapat terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan politik. Hal ini akan mengurangi ketergantungan pada patron-patron politik.
Feodalisme dalam politik Indonesia bukanlah fenomena yang sepenuhnya menghilang, tetapi telah berubah bentuk sesuai dengan konteks modern. Warisan ini menjadi salah satu tantangan terbesar dalam membangun demokrasi yang sehat dan inklusif. Untuk mengatasinya, dibutuhkan komitmen bersama dari masyarakat, pemimpin, dan institusi politik untuk menciptakan sistem yang lebih adil, transparan, dan berbasis meritokrasi. Dengan langkah-langkah yang tepat, Indonesia dapat melepaskan diri dari belenggu warisan feodal dan maju menuju demokrasi yang substansial. By Mukroni
Foto Jernih
- Berita Terkait :
Dari Bukhari ke Bung Karno: Wisata Ziarah dan Diplomasi Berbumbu Sejarah
Revitalisasi Cagar Budaya Nasional Muarajambi Menuju Pengakuan UNESCO sebagai Warisan Dunia
Kyai Rangga Bupati Tegal: Diplomat Perjuangan Sultan Agung melawan VOC di Batavia pada Abad ke-17
Sejarah Warteg: Evolusi dari Logistik Perang hingga Bisnis Kuliner Populer
Cerita Munculnya Warteg, Berawal untuk Logistik Prajurit Sultan Agung
Wajib Sertifikasi Halal UMKM Diundur ke 2026: Kebijakan dan Alasan Pemerintah
Teriak Pedagang Warteg Saat Harga Beras Dekati Rp 700 Ribu per Karung
Menggali Asa Warteg: Perspektif Terhadap Pembangunan Multi-Kota
Implikasi Kepresidenan Prabowo: Faisal Basri Ramal Utang RI Tembus Rp16.000 T
Pedagang Warteg dan Daya Beli Masyarakat Tertatih-tatih Di Akhir Jabatan Jokowi
Warteg Bakal Dilarang di IKN, Begini Saran Kowantara
Ayo Gibran Bersuara Jangan Diam !, Ada Menteri yang Sebelah Mata Terhadap Warteg
Presiden Jokowi Ajak Warga Singapura Tinggal di IKN, Menterinya Melarang Warteg di IKN
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat
Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit
Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik
Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi
Nongkrong Sambil Mencicip Surabi dengan Beragam Topping di Bandung