• Ming. Okt 6th, 2024

KowantaraNews

RINGKAS DAN TAJAM

Relawan Tanam Pohon atau Tanam Konflik? PT MEG dan Drama Eco City di Pulau Rempang

ByAdmin

Sep 21, 2024
Sharing is caring

Jakarta, Kowantaranews.com -Pulau Rempang, yang dahulu dikenal sebagai salah satu pulau tenang di Kepulauan Riau, kini menjadi pusat perhatian nasional. Bukan karena keindahan alamnya, melainkan karena konflik yang semakin panas terkait Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City. Proyek ambisius ini bertujuan untuk mengembangkan kawasan tersebut menjadi pusat ekonomi baru yang modern dan ramah lingkungan. Namun, sayangnya, mimpi besar ini lebih sering dihiasi oleh drama dan kekerasan daripada harmonisasi pembangunan. Salah satu pelaku utama dalam kisah ini adalah PT Makmur Elok Graha (PT MEG), perusahaan yang bertanggung jawab atas pengembangan proyek tersebut. Ironisnya, perusahaan yang membawa nama “Elok” justru lebih sering disebut dalam konteks bentrokan dan intimidasi.

Awal Mula Konflik: Dari Sengketa Lahan hingga Intimidasi

Pada tanggal 18 September 2024, bentrokan kembali terjadi di Pulau Rempang antara warga lokal yang menolak PSN Rempang Eco City dan petugas dari PT MEG. Kekacauan ini dipicu oleh klaim sepihak perusahaan yang menyatakan bahwa sebagian kawasan di Kampung Goba, Pulau Rempang, adalah milik mereka. Tentu saja, warga yang sudah lama mendiami kawasan itu tidak tinggal diam. Mereka menuntut bukti sah kepemilikan lahan dari pihak perusahaan, yang malah berujung pada konfrontasi fisik.

Warga menyampaikan keberatan mereka, menuntut PT MEG untuk menunjukkan dokumen yang sah atas klaim tersebut. Namun, respons yang diterima justru berupa tindakan intimidasi. Cekcok dan kekerasan fisik tak terelakkan, menyebabkan luka-luka di kedua belah pihak. Humas Badan Pengusahaan (BP) Batam, Ariastuty, menyebutkan bahwa beberapa petugas PT MEG juga menjadi korban dalam bentrokan tersebut.

Namun, peristiwa ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Konflik antara warga dan PT MEG sudah berlangsung cukup lama, terutama sejak proyek PSN Rempang Eco City diumumkan. Warga menolak pembangunan proyek ini karena khawatir akan kehilangan tanah dan rumah mereka, yang telah mereka tinggali secara turun-temurun. Sebaliknya, PT MEG mengklaim bahwa proyek ini akan membawa manfaat besar bagi ekonomi lokal dan nasional, termasuk penciptaan lapangan kerja dan pembangunan infrastruktur.

Tindakan Ilegal PT MEG: Tanam Pohon atau Tanam Konflik?

Namun, di tengah semua narasi pembangunan dan modernisasi, muncul pertanyaan penting: Apakah tindakan PT MEG di Pulau Rempang sah secara hukum? Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyoroti bahwa aktivitas PT MEG di Pulau Rempang tidak memiliki landasan hukum yang jelas. Komisioner Mediasi Komnas HAM, Prabianto Mukti Wibowo, dengan tegas menyatakan bahwa PT MEG belum memiliki Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang sah, sehingga keberadaan mereka di sana bisa dianggap ilegal.

Menurut Prabianto, meskipun sudah ada Memorandum of Understanding (MoU) antara PT MEG dan BP Batam, proses penerbitan HPL dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) masih dalam tahap pengajuan. Dengan kata lain, PT MEG beroperasi di Pulau Rempang tanpa dasar hukum yang kuat. “Artinya, PT MEG berada di lokasi itu tanpa landasan hukum,” tegas Prabianto. Ia menambahkan bahwa kepolisian seharusnya bersikap lebih objektif dan mengutamakan perlindungan terhadap warga, bukan terhadap perusahaan yang bertindak di luar kerangka hukum.

Lebih jauh, Komnas HAM merekomendasikan agar pembangunan PSN Rempang Eco City dipertimbangkan kembali, terutama terkait rencana relokasi warga. Menurut Prabianto, jika perlu, lokasi pembangunan pabrik bisa dipindahkan ke tempat lain yang tidak mengancam hak-hak warga. Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, yang menekankan pentingnya melindungi hak tanah dan hunian bagi masyarakat lokal.

Strategi “Hijau” PT MEG: Relawan Tanam Pohon atau Dalih?

Sementara itu, pihak BP Batam mencoba menenangkan situasi dengan menyatakan bahwa petugas PT MEG yang berada di Pulau Rempang bukanlah petugas keamanan atau perwakilan perusahaan dalam kapasitas komersial, melainkan “tim relawan” yang bertugas untuk melakukan penanaman pohon di kawasan hutan yang gundul akibat aktivitas ilegal sebelumnya. Kepala Biro Humas, Promosi, dan Protokol BP Batam, Ariastuty, menegaskan bahwa tindakan tersebut adalah bagian dari upaya konservasi lingkungan dan tidak ada kaitannya dengan konflik lahan.

Namun, pernyataan ini justru memicu lebih banyak skeptisisme. Prabianto dengan tajam menolak narasi tersebut dan menuduh BP Batam serta PT MEG memanipulasi fakta. “Menyebut mereka relawan yang hanya ingin menanam pohon adalah rekayasa. Ini adalah cara untuk menutupi tindakan mereka yang sebenarnya bertujuan untuk mempercepat pengambilalihan lahan,” katanya. Prabianto menyatakan bahwa menghadapkan kelompok-kelompok tertentu dengan warga yang menolak proyek ini adalah langkah yang tidak dapat dibenarkan.

Bagi warga Pulau Rempang, keberadaan “relawan” PT MEG tidaklah meyakinkan. Mereka justru melihatnya sebagai upaya untuk memuluskan agenda perusahaan tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat. Konflik ini, bagi mereka, lebih seperti permainan kata-kata—apakah PT MEG benar-benar ingin menanam pohon atau hanya menanam konflik?

Baca juga : Menjaga KPK: Ketatnya Pengawasan, Longgarnya Etika

Baca juga : Drama Kepemimpinan Kadin: Siapa Bos, Siapa ‘Bos’?

Baca juga : Drama Kadin: Aklamasi Sah, Kuorum Bisa Disanggah

Intimidasi dan Kekerasan: Sebuah Strategi Bisnis?

Selain manipulasi narasi, penggunaan kekerasan dan intimidasi menjadi salah satu metode yang disorot dalam pembangunan PSN Rempang Eco City. Anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro, juga ikut angkat bicara, meminta agar perusahaan maupun BP Batam tidak menggunakan pendekatan intimidasi atau kekerasan dalam menghadapi penolakan warga. Menurutnya, pendekatan semacam ini tidak bisa dibenarkan dalam situasi apa pun, terutama jika melibatkan aparat keamanan.

Bentrokan yang terus terjadi antara warga dan pihak perusahaan memperlihatkan adanya pola yang mengkhawatirkan, di mana pendekatan dialogis dan inklusif yang seharusnya diutamakan dalam pembangunan justru diabaikan. PT MEG tampaknya lebih memilih untuk menekan warga melalui berbagai cara, termasuk klaim sepihak atas lahan dan penggunaan kekuatan fisik.

Johanes Widijantoro juga mengingatkan bahwa dalam situasi seperti ini, peran kepolisian sangat penting. Mereka harus menjalankan tugas mereka secara profesional dan netral, bukan sebagai alat yang berpihak kepada perusahaan. Namun, banyak warga yang merasa bahwa penegak hukum tidak sepenuhnya berada di pihak mereka, dan hal ini semakin memperuncing ketidakpercayaan terhadap pihak berwenang.

PSN Rempang Eco City: Mimpi Indah yang Berujung Mimpi Buruk?

PSN Rempang Eco City, di atas kertas, adalah proyek yang menjanjikan. Pulau Rempang akan diubah menjadi kawasan ekonomi yang modern dan ramah lingkungan, dengan potensi untuk menciptakan ribuan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan daerah, dan menarik investasi asing. Pemerintah berharap proyek ini dapat menjadi salah satu pilar pembangunan ekonomi nasional di masa depan.

Namun, di balik semua janji itu, kenyataan di lapangan menunjukkan gambaran yang sangat berbeda. Bagi warga Pulau Rempang, proyek ini lebih terasa sebagai ancaman daripada peluang. Kehilangan lahan, rumah, dan cara hidup tradisional mereka adalah risiko nyata yang mereka hadapi. Konflik berkepanjangan dengan PT MEG dan BP Batam hanya memperkuat perasaan bahwa mereka adalah pihak yang dilupakan dalam proses pembangunan ini.

Di tengah semua itu, Komnas HAM, Ombudsman, dan berbagai kelompok masyarakat sipil terus menekan pemerintah dan pihak terkait untuk meninjau ulang proyek ini. Mereka menyerukan agar pendekatan yang lebih manusiawi dan inklusif diambil, serta agar hak-hak warga Pulau Rempang dijamin dan dilindungi.

Konflik yang terjadi di Pulau Rempang adalah cerminan dari tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menjalankan proyek pembangunan besar. Di satu sisi, ada ambisi untuk memodernisasi kawasan dan menarik investasi. Di sisi lain, ada hak-hak warga yang harus dilindungi. Kasus ini menunjukkan bahwa ketika dialog dan pendekatan manusiawi diabaikan, yang tersisa hanyalah ketegangan dan kekerasan.

Pertanyaan besar yang muncul dari konflik ini adalah apakah PT MEG dan pihak terkait benar-benar ingin menanam pohon untuk masa depan, atau justru menanam konflik yang semakin memperkeruh suasana di Pulau Rempang? Jawaban dari pertanyaan ini mungkin akan menentukan nasib ribuan warga yang kini berada di tengah pusaran konflik tersebut. *Mukroni

Foto Kowantaranews

  • Berita Terkait :

Menjaga KPK: Ketatnya Pengawasan, Longgarnya Etika

Drama Kepemimpinan Kadin: Siapa Bos, Siapa ‘Bos’?

Drama Kadin: Aklamasi Sah, Kuorum Bisa Disanggah

300 Triliun Hilang, Hukuman Ditebus dengan Rp 5.000: Harga Keadilan di Tanah Timah

Munaslub: Ketika Kuorum Jadi Interpretasi Pribadi

Drama Munaslub: Ketika Kursi Ketua Kadin Jadi Rebutan, Hukum Cuma Penonton?

Anindya Bakrie Naik Tahta Kadin: Munaslub ala ‘Keluarga Besar’ yang Ditolak 20+ Provinsi

Tinjauan Pro dan Kontra Penempatan Komponen Cadangan di Ibu Kota Nusantara

Strategi Presiden Jokowi dalam Memilih Pimpinan KPK: Membaca Dinamika Politik dan Hukum di Indonesia

Jeratan Hukum Fify Mulyani dalam Kasus Poligami dan Tindak Pidana Pencucian Uang

Skandal Kuota Haji Khusus: Dugaan Penyelewengan di Balik Penyelenggaraan Haji 2024

IKN di Persimpangan: Anggaran Menyusut, Investasi Swasta Diharapkan

Warteg Menolak IKN, Apa Warteg Menolak IKAN ?

Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang

Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online

Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani

Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu

Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi

Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya

Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan

Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.

Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang

KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat

Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?

Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka 

Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu

Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis

Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi

Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik

Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama

Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal

Kowartami  Resmikan  Warteg  Republik  Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat

Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit

Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik

Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *