Jakarta, Kowantaranews.com -Pada tanggal 18 September 2024, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kembali menjadi arena sengit diplomasi internasional, ketika negara-negara anggota berkumpul untuk memberikan suara mengenai sebuah resolusi kontroversial. Resolusi tersebut, yang didorong oleh Palestina dengan dukungan mayoritas negara-negara anggota, menuntut agar Israel segera mengakhiri pendudukannya di wilayah Palestina dalam waktu 12 bulan. Keputusan ini disambut oleh banyak pihak dengan harapan besar, tetapi juga tak lepas dari penolakan keras oleh beberapa negara, terutama Israel dan sekutunya, Amerika Serikat.
Dalam situasi yang hampir dapat disamakan dengan seorang penghuni kos yang diultimatum oleh pemilik rumah untuk segera hengkang, resolusi ini memaksa Israel untuk “pindah kos” dari wilayah yang telah didudukinya sejak tahun 1967. Dunia kini menantikan bagaimana kunci ‘kos’ tersebut akan dikembalikan, dan apakah penghuni yang enggan pindah ini benar-benar akan mengikuti perintah atau memilih bertahan dengan segala cara.
Latar Belakang Konflik dan Seruan PBB
Sejak tahun 1967, Israel telah menguasai berbagai wilayah yang menjadi bagian dari Palestina, termasuk Yerusalem Timur, setelah Perang Enam Hari. Pendudukan ini telah menjadi salah satu sumber ketegangan utama di Timur Tengah selama beberapa dekade. Upaya untuk menyelesaikan konflik melalui perundingan damai dan jalur diplomasi terus gagal, dan ketegangan meningkat seiring dengan pembangunan pemukiman Israel di wilayah yang diduduki, termasuk di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Majelis Umum PBB pada sidangnya kali ini, menyodorkan sebuah resolusi yang meminta Israel untuk mengakhiri pendudukannya dalam waktu 12 bulan. Resolusi tersebut juga menyerukan agar Israel menarik seluruh pasukan militernya dari wilayah Palestina yang diduduki, termasuk wilayah udara dan laut. Lebih jauh lagi, Israel juga diminta untuk mengembalikan tanah serta properti milik warga Palestina yang telah diduduki atau dihancurkan selama pendudukan tersebut.
Riyadh Mansour, Duta Besar Palestina untuk PBB, dalam pidatonya yang berapi-api, menekankan bahwa resolusi ini adalah bagian dari hak Palestina untuk memperoleh kebebasan, keadilan, dan perdamaian. “Orang-orang Palestina ingin hidup, bukan hanya bertahan hidup,” tegasnya, sambil menyeru kepada negara-negara anggota PBB untuk berdiri di sisi sejarah yang benar.
Baca juga : Kisah Fiksi Terbaru dari Jewish Chronicle: Propaganda Hasbara Israel yang Tak Kunjung Usai
Baca juga : Jerman Hambat Ekspor Senjata ke Israel di Tengah Kekhawatiran Pelanggaran HAM di Gaza
Baca juga : “Genocide Joe” dan Klub Pecinta Perang: Drama Zionisme di Panggung Gaza 2024
Sikap Israel: ‘Terorisme Diplomatik’
Tidak mengherankan, Israel langsung menolak mentah-mentah rancangan resolusi tersebut. Danny Danon, Duta Besar Israel untuk PBB, menyebut bahwa resolusi ini tidak lebih dari sebuah “terorisme diplomatik.” Menurutnya, Palestina dan para pendukungnya menggunakan diplomasi sebagai senjata untuk menghancurkan Israel, bukan untuk mencari solusi damai. Danon menuduh resolusi ini tidak realistis dan menyebutnya sebagai sebuah upaya sepihak yang mengabaikan realitas kompleks di lapangan.
“Resolusi ini adalah alat yang bisa menghancurkan Israel,” kata Danon dalam sebuah sesi pleno PBB. Menurutnya, tidak ada jaminan bahwa setelah penarikan pasukan Israel, situasi di wilayah tersebut akan stabil. Ia juga menambahkan bahwa resolusi ini tidak menyinggung soal Hamas, kelompok militan Palestina yang dianggap oleh Israel dan banyak negara Barat sebagai organisasi teroris.
Lebih lanjut, Danon menegaskan bahwa Israel selama ini telah menghadapi ancaman eksistensial dari kelompok-kelompok radikal di wilayah tersebut. Bagi Israel, keamanan nasional mereka selalu berada di garis depan, dan segala bentuk penarikan militer yang tiba-tiba tanpa adanya jaminan keamanan hanya akan membuka jalan bagi serangan yang lebih besar terhadap negara tersebut.
Amerika Serikat: Sekutu Setia yang Tak Berubah
Sebagai sekutu terdekat Israel, Amerika Serikat juga menentang resolusi ini. Linda Thomas Greenfield, Duta Besar AS untuk PBB, dalam pidatonya menekankan bahwa meskipun AS berkomitmen untuk mendukung solusi dua negara dan perdamaian di Timur Tengah, resolusi ini terlalu berat sebelah. Dia mengkritik bahwa rancangan resolusi tersebut tidak menyebutkan Hamas dan kelompok-kelompok militan lain yang bertanggung jawab atas banyak tindakan kekerasan terhadap warga Israel.
Greenfield juga menunjukkan bahwa resolusi ini melampaui kewenangan Mahkamah Internasional (ICJ), yang sebelumnya, pada Juli 2024, menyatakan bahwa pendudukan Israel di wilayah Palestina sejak 1967 adalah ilegal. Namun, bagi Amerika Serikat, keputusan ICJ tidak seharusnya menjadi satu-satunya dasar untuk menekan Israel.
Posisi AS ini bukanlah hal baru. Pada Mei 2024, ketika PBB menggelar sidang yang membahas aspirasi Palestina untuk menjadi anggota penuh PBB, AS juga menggunakan hak vetonya di Dewan Keamanan untuk memblokir aspirasi tersebut, meskipun didukung oleh mayoritas negara anggota PBB. Bagi banyak pihak, sikap AS ini mencerminkan keberpihakan yang tak tergoyahkan kepada Israel dalam setiap persoalan yang melibatkan Palestina di panggung internasional.
Dukungan Dunia untuk Palestina
Di sisi lain, 143 negara anggota PBB memberikan dukungan kuat terhadap resolusi ini, yang dilihat sebagai langkah penting untuk mencapai keadilan bagi rakyat Palestina. Negara-negara seperti Mesir, Malaysia, Iran, dan banyak negara lainnya menyatakan bahwa sudah saatnya dunia mengambil tindakan tegas terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina.
Perwakilan Mesir, misalnya, menyebut bahwa operasi militer Israel di Gaza telah merenggut lebih dari 40.000 nyawa rakyat Palestina. Mereka menekankan bahwa operasi militer tersebut tidak hanya membunuh warga sipil, tetapi juga menghancurkan infrastruktur dan memperburuk krisis kemanusiaan di wilayah tersebut.
Perwakilan Malaysia menyuarakan keprihatinannya terhadap nasib anak-anak Palestina yang tumbuh dalam ketakutan dan kekerasan. Menurut mereka, anak-anak Palestina telah menjadi korban dari salah satu kekejaman terburuk sejak Nakba tahun 1948, ketika ratusan ribu orang Palestina dipaksa meninggalkan rumah mereka.
Sementara itu, Francesca Albanese, Pelapor Khusus PBB untuk Palestina, dalam laporan terbarunya menuduh Israel melakukan kebijakan apartheid terhadap warga Palestina. Dia menekankan bahwa pendudukan Israel adalah bagian dari upaya sistematis untuk melenyapkan identitas Palestina sebagai sebuah bangsa.
“Israel telah menggunakan kekebalan internasional untuk melakukan proses eliminasi dan de-Palestinisasi wilayah yang didudukinya,” kata Albanese. Dia menyerukan kepada masyarakat internasional untuk segera mengambil langkah-langkah konkret guna mengakhiri risiko genosida terhadap rakyat Palestina.
Akankah Kunci Dikembalikan?
Meski dukungan terhadap resolusi ini sangat besar, tantangan di lapangan tetap sangat kompleks. Pertama, resolusi ini tidak mengikat secara hukum, yang berarti Israel tidak wajib mematuhinya. Kedua, kekuatan veto di Dewan Keamanan PBB, yang sering digunakan oleh AS untuk melindungi Israel, tetap menjadi kendala besar bagi tercapainya solusi damai yang nyata.
Dengan waktu 12 bulan yang diberikan, dunia kini menunggu apakah Israel benar-benar akan ‘pindah kos’ dari wilayah Palestina atau malah bertahan dengan segala konsekuensi yang menyertainya. Pertanyaannya bukan lagi apakah kunci kos tersebut akan dikembalikan, tetapi bagaimana dunia akan merespons jika Israel memilih untuk tetap menahannya.
Bagi rakyat Palestina, resolusi ini mungkin memberikan harapan baru, tetapi tanpa langkah-langkah konkret, mereka masih menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian. Di tengah-tengah konflik yang terus membara, satu hal yang pasti: jalan menuju perdamaian di Timur Tengah masih jauh dari kata selesai. *Mukroni
Foto Kowantaranews
- Berita Terkait :
Kisah Fiksi Terbaru dari Jewish Chronicle: Propaganda Hasbara Israel yang Tak Kunjung Usai
Jerman Hambat Ekspor Senjata ke Israel di Tengah Kekhawatiran Pelanggaran HAM di Gaza
“Genocide Joe” dan Klub Pecinta Perang: Drama Zionisme di Panggung Gaza 2024
Noa Argamani Klarifikasi: ‘Saya Tidak Pernah Dipukuli Hamas Selama Penahanan di Gaza’
Kamala Harris Kehilangan Dukungan Penting di Konvensi Demokrat Karena Isu Palestina
Konvensi Nasional Partai Demokrat 2024: Penetapan Kandidat, Pesan Kebebasan, dan Insiden Tak Terduga
Elon Musk Dipertimbangkan Masuk Kabinet Trump: Menguak Dinamika Politik dan Bisnis di AS
Pidato yang Tidak Pernah Ingin Disampaikan oleh Biden
Lampu Kuning dari Kelas Menengah RI: Menurunnya Daya Beli dan Dampak Sosial Ekonomi
Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Daya Beli yang Melemah
Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Utang
Lonjakan Harga Kopi Robusta: Peluang dan Tantangan bagi Perkopian Indonesia
Mengintip Tingginya Biaya Hidup di Timor Leste: Air Mineral Rp 10 Ribu, Fenomena dan Faktor Penyebab
Sejarah Warteg: Evolusi dari Logistik Perang hingga Bisnis Kuliner Populer
Cerita Munculnya Warteg, Berawal untuk Logistik Prajurit Sultan Agung
Wajib Sertifikasi Halal UMKM Diundur ke 2026: Kebijakan dan Alasan Pemerintah
Teriak Pedagang Warteg Saat Harga Beras Dekati Rp 700 Ribu per Karung
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat
Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit
Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik
Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi
Nongkrong Sambil Mencicip Surabi dengan Beragam Topping di Bandung