Jakarta, Kowantaranews.com -Sejak terjadinya konflik berkepanjangan antara Israel dan Hamas di Gaza, dunia telah menyaksikan berbagai narasi dan klaim yang berasal dari berbagai pihak yang terlibat. Namun, satu hal yang tak pernah lekang dari sorotan adalah upaya pemerintah Israel untuk membentuk opini publik melalui strategi propaganda yang dikenal sebagai Hasbara. Hasbara bukanlah sekadar taktik komunikasi biasa, melainkan instrumen yang digunakan untuk membentuk narasi internasional tentang konflik ini, yang kerap kali berusaha menutupi tindakan Israel di wilayah Palestina yang diduduki.
Baru-baru ini, skandal yang melibatkan salah satu surat kabar Yahudi ternama, Jewish Chronicle, kembali menjadi sorotan. Dalam apa yang tampaknya menjadi “kisah fiksi” terbaru, surat kabar ini diterpa kritik keras karena menerbitkan laporan yang terbukti palsu terkait upaya pelarian kepala biro politik Hamas, Yahya Sinwar, melalui Koridor Philadelphia di Gaza. Artikel ini, yang ditulis oleh seorang yang mengaku sebagai mantan anggota pasukan khusus Israel, memicu gelombang kemarahan dan kecaman, tidak hanya dari masyarakat internasional tetapi juga dari kalangan internal Yahudi sendiri.
Hasbara dan Peran Jewish Chronicle
Dalam dunia informasi yang penuh dengan berita dan opini, Hasbara muncul sebagai strategi ampuh untuk membentuk persepsi tentang Israel di mata dunia. Dalam bahasa Ibrani, Hasbara berarti “penjelasan”, namun dalam praktiknya, istilah ini mengacu pada upaya pemerintah Israel untuk mengontrol narasi media global terkait tindakannya, khususnya di wilayah Palestina. Propaganda ini berusaha menampilkan Israel sebagai korban yang selalu terancam oleh kelompok-kelompok militan, sementara menutupi atau mengaburkan tindakan militer Israel yang sering kali berujung pada pelanggaran hak asasi manusia.
Hasbara bekerja dengan berbagai cara, mulai dari pengendalian berita di media massa hingga pembuatan konten promosi yang mendukung kebijakan Israel. Salah satu alat utama dalam upaya ini adalah media Yahudi internasional, termasuk Jewish Chronicle. Surat kabar ini kerap digunakan untuk menyebarkan narasi yang sejalan dengan kepentingan politik dan militer Israel, sering kali tanpa memperhatikan aspek jurnalistik yang obyektif.
Dalam kasus terbaru ini, Jewish Chronicle menerbitkan artikel yang menuduh Yahya Sinwar, pemimpin Hamas, berusaha melarikan diri dari Gaza melalui Koridor Philadelphia. Artikel tersebut, yang ditulis oleh seorang pria bernama Perry yang mengaku sebagai mantan anggota pasukan khusus Israel, mengklaim bahwa Sinwar telah merencanakan pelarian rahasia melalui koridor tersebut, sebuah wilayah yang dikenal sebagai jalur penghubung antara Gaza dan Mesir. Berita ini langsung diangkat oleh berbagai media Israel tanpa verifikasi mendalam.
Namun, tak lama setelah publikasi, mulai muncul pertanyaan terkait kebenaran informasi tersebut. Mantan Direktur Shin Bet, Nadav Argaman, menyatakan bahwa tidak ada bukti mengenai adanya terowongan penyelundupan di Koridor Philadelphia sejak Mesir menghancurkan terowongan-terowongan tersebut pada 2013. Selain itu, perunding senior Israel, Gershon Baskin, juga mengonfirmasi bahwa tidak ada terowongan baru yang ditemukan di wilayah tersebut.
Baca juga : Jerman Hambat Ekspor Senjata ke Israel di Tengah Kekhawatiran Pelanggaran HAM di Gaza
Baca juga : “Genocide Joe” dan Klub Pecinta Perang: Drama Zionisme di Panggung Gaza 2024
Kebohongan yang Terbongkar
Ketika artikel tersebut mulai dipertanyakan, terungkaplah bahwa Perry, sang penulis, memalsukan identitas dan informasinya. Perry bahkan tidak pernah menjadi anggota pasukan khusus Israel, dan klaim-klaimnya terkait pelarian Sinwar hanyalah rekayasa yang tidak berdasar. Artikel ini menjadi salah satu contoh terbaru dari penyebaran berita palsu yang bertujuan untuk mengalihkan perhatian dari realitas di lapangan, serta memperkuat narasi yang menguntungkan Israel.
Namun, skandal ini bukan pertama kali terjadi. Pada awal perang Israel-Hamas yang meletus pada 7 Oktober 2023, berbagai media Israel melaporkan serangkaian peristiwa mengerikan yang kemudian terbukti sebagai kebohongan. Salah satu cerita yang paling mengejutkan adalah klaim bahwa 40 bayi Israel dipenggal oleh militan Hamas. Media internasional, termasuk Le Monde dari Perancis, melakukan investigasi independen dan menemukan bahwa informasi tersebut sepenuhnya palsu. Militer Israel, bersama dengan penyelidik independen, memastikan bahwa peristiwa mengerikan itu tidak pernah terjadi.
Contoh lain dari penyebaran kebohongan yang melibatkan Israel terjadi ketika seorang sukarelawan dari organisasi tanggap darurat Israel, Zaka, bernama Chaim Otmazgin, mengaku menyaksikan pemerkosaan massal pada 7 Oktober 2023. Namun, penyelidikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan sejumlah lembaga independen lainnya menunjukkan bahwa Otmazgin sepenuhnya mengarang cerita tersebut. Pada akhirnya, ia pun mengakui bahwa semua tuduhannya adalah kebohongan.
Protokol Hannibal: Kejahatan yang Ditutupi
Selain penyebaran berita palsu, militer Israel juga menghadapi tuduhan serius terkait penerapan Protokol Hannibal. Protokol ini diberlakukan untuk mencegah warga Israel ditangkap oleh pasukan musuh, namun sering kali justru mengakibatkan korban di kalangan warga Israel sendiri. Pada 7 Oktober 2023, Brigadir Jenderal Barak Hiram memerintahkan serangan ke Kibbutz Be’eri, sebuah wilayah yang dikuasai Israel. Serangan ini berujung pada tewasnya 14 warga sipil Israel, termasuk seorang wanita bernama Pessi Cohen. Media Israel, seperti Yedioth Ahronot, mengungkap bahwa setidaknya 70 mobil yang berisi warga sipil Israel ditembaki oleh helikopter dan drone milik IDF, menyebabkan banyak korban tewas dan kendaraan-kendaraan tersebut hangus terbakar.
Kepala Staf Angkatan Udara Israel, Tomer Bar, mengakui bahwa pasukannya memang menembaki warga Israel dalam insiden tersebut. Namun, ia menegaskan bahwa para prajurit tidak bersalah karena tindakan mereka dianggap sesuai dengan prosedur di lapangan. Meski IDF mengklaim telah menyelidiki insiden ini secara menyeluruh dan menyimpulkan bahwa prajurit mereka tidak bersalah, banyak pihak yang meragukan kebenaran hasil penyelidikan ini.
Hasbara: Mesin Propaganda yang Tak Pernah Padam
Sejak konflik di Gaza pecah, Israel telah menjalankan kampanye propaganda besar-besaran melalui berbagai saluran, termasuk media internasional dan media sosial. Menurut laporan dari The Jerusalem Post, Israel telah memproduksi lebih dari 200 video promosi yang disiarkan di Eropa dan Amerika Utara, dengan tujuan menggalang simpati dan dukungan dari masyarakat internasional. Video-video tersebut ditayangkan di berbagai acara besar, termasuk pertandingan olahraga dan momen penting lainnya yang memiliki jangkauan audiens luas.
Selain itu, Pusat Informasi Nasional (NIC) Israel juga mengatur ribuan wawancara dengan jurnalis dari berbagai negara untuk mempromosikan narasi Israel tentang perang di Gaza. Beberapa selebritas internasional, termasuk komedian Amerika Serikat Michael Rapaport, diundang untuk memberikan dukungan publik kepada Israel. Bahkan, Mosab Hassan Yousef, anak salah satu pendiri Hamas yang kini menjadi mata-mata untuk Shin Bet, diikutsertakan dalam kampanye ini untuk menunjukkan bahwa bahkan orang-orang di lingkaran dalam Hamas pun mendukung tindakan Israel.
Namun, meskipun Hasbara terus berjalan dengan intens, dukungan internasional terhadap Israel terus menurun. Jajak pendapat yang dilakukan oleh CBS News pada Juni 2024 menunjukkan bahwa 61 persen responden Amerika Serikat menilai bahwa pemerintah mereka tidak seharusnya mempersenjatai Israel. Di kalangan Demokrat, angka ini bahkan mencapai 77 persen.
Penurunan Dukungan dan Masa Depan Hasbara
Dalam jajak pendapat lain yang dilakukan oleh YouGov dan IMEU Policy Project di negara bagian ayunan Amerika Serikat, seperti Pennsylvania, Arizona, dan Georgia, mayoritas pemilih menyatakan bahwa mereka akan mendukung calon yang berkomitmen untuk menghentikan pasokan senjata ke Israel. Hasil ini mencerminkan semakin melemahnya dukungan terhadap Israel, bahkan di kalangan pendukung tradisionalnya di Amerika Serikat.
Skandal seperti yang terjadi dengan Jewish Chronicle hanya memperkuat pandangan bahwa Hasbara bukanlah strategi yang berfokus pada kebenaran, melainkan alat propaganda untuk mengaburkan realitas konflik. Sementara mesin propaganda ini terus berjalan, semakin banyak masyarakat internasional yang mulai mempertanyakan narasi yang disampaikan oleh Israel dan sekutunya.
Dengan meningkatnya skeptisisme global terhadap klaim-klaim Israel dan turunnya dukungan publik, pertanyaan besarnya adalah: sampai kapan Hasbara akan mampu menutupi kenyataan pahit di lapangan? Di tengah kebohongan yang semakin terkuak, masa depan strategi ini semakin dipertanyakan, dan masyarakat dunia semakin mendambakan transparansi dan kebenaran dalam konflik yang tak kunjung usai ini. *Mukroni
Foto Kowantaranews
- Berita Terkait :
Jerman Hambat Ekspor Senjata ke Israel di Tengah Kekhawatiran Pelanggaran HAM di Gaza
“Genocide Joe” dan Klub Pecinta Perang: Drama Zionisme di Panggung Gaza 2024
Noa Argamani Klarifikasi: ‘Saya Tidak Pernah Dipukuli Hamas Selama Penahanan di Gaza’
Kamala Harris Kehilangan Dukungan Penting di Konvensi Demokrat Karena Isu Palestina
Konvensi Nasional Partai Demokrat 2024: Penetapan Kandidat, Pesan Kebebasan, dan Insiden Tak Terduga
Elon Musk Dipertimbangkan Masuk Kabinet Trump: Menguak Dinamika Politik dan Bisnis di AS
Pidato yang Tidak Pernah Ingin Disampaikan oleh Biden
Lampu Kuning dari Kelas Menengah RI: Menurunnya Daya Beli dan Dampak Sosial Ekonomi
Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Daya Beli yang Melemah
Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Utang
Lonjakan Harga Kopi Robusta: Peluang dan Tantangan bagi Perkopian Indonesia
Mengintip Tingginya Biaya Hidup di Timor Leste: Air Mineral Rp 10 Ribu, Fenomena dan Faktor Penyebab
Sejarah Warteg: Evolusi dari Logistik Perang hingga Bisnis Kuliner Populer
Cerita Munculnya Warteg, Berawal untuk Logistik Prajurit Sultan Agung
Wajib Sertifikasi Halal UMKM Diundur ke 2026: Kebijakan dan Alasan Pemerintah
Teriak Pedagang Warteg Saat Harga Beras Dekati Rp 700 Ribu per Karung
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat
Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit
Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik
Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi
Nongkrong Sambil Mencicip Surabi dengan Beragam Topping di Bandung