Jakarta, Kowantaranews.com -Di tengah gemerlap perkembangan industri musik Indonesia, di wilayah Pantai Utara Jawa (Pantura) lahir sebuah genre yang menggabungkan suara gitar, suling, dan sentuhan dangdut khas. Musik tarling dangdut, yang telah berusia puluhan tahun, tak hanya menjadi hiburan masyarakat setempat, tetapi juga cikal bakal sebuah warisan budaya yang terus mengalirkan nilai ekonomi bagi pencipta dan musisi-musisinya. Tak hanya sekadar karya seni, musik tarling kini dipandang sebagai ladang emas yang menjanjikan, bahkan diproyeksikan bisa menjadi sumber royalti miliaran rupiah untuk generasi mendatang.
Namun, mencapai titik ini tentu bukan tanpa hambatan. Perjuangan para musisi untuk mendapatkan hak royalti dari karya mereka, baik dalam bentuk digital maupun konvensional, menjadi perjalanan yang penuh liku. Cerita perjuangan ini dapat dilihat dari pengalaman Solihin, seorang musisi tarling dangdut muda asal Indramayu, yang telah berhasil menciptakan lagu-lagu viral dan memonetisasi karyanya melalui sistem royalti yang adil. Kisah Solihin menggambarkan bagaimana royalti dari musik tarling dangdut menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari musisi di daerah Pantura.
Royalti: Gaji Tetap dari Karya
Setiap tanggal 20 hingga 25 setiap bulan, senyum merekah selalu menghiasi wajah Solihin (25), seorang pemuda yang berasal dari Desa Sukamelang, Kecamatan Kroya, Indramayu, Jawa Barat. Di hari-hari itu, ia mendapatkan “gaji” tetap, bukan sebagai pegawai negeri atau pekerja kantoran, tetapi sebagai pencipta lagu tarling dangdut. Royalti yang ia peroleh dari karya-karyanya memberikan sumber pendapatan yang konstan setiap bulan.
“Saat ini, rata-rata saya mendapatkan sekitar Rp 2 juta per bulan dari royalti,” ungkap Solihin. Baginya, jumlah itu mendekati upah minimum di Kabupaten Indramayu, sekitar Rp 2,6 juta per bulan. Pendapatan tersebut cukup untuk menopang hidupnya dan keluarganya. “Sekarang, bisa memberi makan anak dan istri dari royalti lagu,” ujarnya bangga.
Namun, pencapaian ini tidak datang begitu saja. Solihin harus menempuh perjalanan panjang untuk bisa menikmati hasil jerih payahnya sebagai pencipta lagu. Lagu pertamanya, yang berjudul “Demen Wik-wik”, terinspirasi dari viralnya musik Thailand pada 2019, menjadi awal kariernya. Karya tersebut ia tawarkan kepada seorang penyanyi lokal melalui media sosial. Meski saat itu ia belum memahami nilai ekonomis dari lagu yang diciptakannya, karyanya berhasil dijual dengan harga beberapa ratus ribu rupiah. Dari sinilah ia mulai serius menekuni dunia penciptaan lagu.
Melalui kerja keras dan kegigihannya, beberapa karya Solihin seperti “Mantan Terindah” dan “Tamu Kondangan” berhasil mendapatkan apresiasi yang luas di platform digital seperti YouTube. Bahkan, salah satu karyanya, “Terlalu Sayang”, telah didengar belasan juta kali, mengantarkannya ke panggung perhatian yang lebih besar. Lagu-lagu tersebut menjadi sumber royalti yang terus mengalir setiap bulannya, bahkan kadang mencapai Rp 11 juta dalam satu bulan.
Baca juga : Estafet Live Streaming: Toni Nababan dan Iqbal Sukses Hiburi Penonton di TikTok
Baca juga : Noa Argamani Klarifikasi: ‘Saya Tidak Pernah Dipukuli Hamas Selama Penahanan di Gaza’
Mekanisme Royalti dan Tantangan yang Dihadapi
Meski berhasil menikmati pendapatan dari karya-karyanya, perjalanan Solihin dalam mendapatkan royalti tidaklah mudah. Ia mulai mengenal dunia royalti melalui bantuan Fajar Andianto, suami dari penyanyi tarling terkenal Diana Sastra. Fajar memperkenalkan Solihin kepada penerbit musik, sebuah lembaga yang berperan penting dalam mengelola royalti bagi pencipta lagu. Awalnya, Solihin sempat ragu dengan proses ini, namun Fajar meyakinkannya bahwa pendaftaran ke penerbit adalah langkah penting agar karya-karyanya bisa terus menghasilkan royalti dalam jangka panjang.
Dengan bantuan Fajar, Solihin mendaftarkan 11 lagunya ke Mahar Pustaka Nusantara, sebuah penerbit musik di Tangerang Selatan. Dari situ, ia menandatangani kontrak yang membagi royalti sebesar 70 persen untuk dirinya sebagai pencipta lagu, sementara sisanya untuk penerbit. Meskipun harus membagi royalti, langkah ini terbukti efektif dalam memastikan bahwa Solihin terus mendapatkan penghasilan setiap bulan dari lagunya yang digunakan oleh pihak lain, seperti YouTube atau platform digital lainnya.
Namun, tak semua penyanyi atau pengguna musik tarling dangdut menerima sistem ini dengan tangan terbuka. Beberapa penyanyi bahkan keberatan dengan adanya pemotongan royalti dari konten mereka yang menggunakan lagu-lagu ciptaan Solihin. Hal ini menjadi polemik di antara komunitas musisi tarling di Indramayu, karena mereka merasa bahwa potongan untuk penerbit mengurangi pendapatan yang mereka peroleh dari monetisasi di platform digital.
“Beberapa bilang saya seenaknya mendaftarkan lagu ke penerbit. Padahal, ini adalah hak saya sebagai pencipta lagu, dan royalti ini adalah untuk kesejahteraan saya dan keluarga,” jelas Solihin. Meski begitu, ia tetap bersikap rendah hati dan berusaha menjelaskan bahwa mekanisme royalti ini penting untuk melindungi hak-hak pencipta lagu.
Lambat laun, komunitas musisi tarling dangdut di Indramayu mulai menerima kenyataan bahwa sistem royalti adalah cara yang adil untuk memastikan bahwa pencipta lagu juga mendapatkan bagian dari popularitas karya mereka. Beberapa musisi lain pun mulai mendaftarkan karya-karya mereka ke penerbit untuk memastikan royalti yang berkelanjutan.
Dukungan dari Sesama Musisi
Diana Sastra, seorang penyanyi tarling dangdut legendaris yang telah berkarier sejak tahun 1998, juga menjadi salah satu tokoh yang vokal dalam mendukung sistem royalti ini. Menurutnya, selama ini penyanyi tarling yang pertama kali merasakan keuntungan besar dari popularitas sebuah lagu, sementara pencipta lagunya hanya mendapatkan bayaran satu kali di awal. Sistem jual putus ini sering kali merugikan pencipta lagu karena setelah karyanya dijual, mereka tak lagi mendapatkan penghasilan dari lagu tersebut meskipun lagu tersebut terus digunakan dan dipopulerkan.
Diana sendiri menerapkan sistem yang berbeda. Ia membeli lagu dengan ketentuan satu kali pakai, artinya jika ia ingin menyanyikan lagu yang sama di versi atau platform lain, ia harus membayar lagi kepada pencipta lagunya. Menurutnya, inilah cara yang paling adil bagi kedua belah pihak. Diana juga mendukung penuh para pencipta lagu tarling untuk mendaftarkan karya mereka ke penerbit, agar hak-hak mereka terlindungi dan royalti dapat menjadi warisan bagi anak cucu mereka.
Namun, tantangan lain yang dihadapi adalah kepercayaan kepada penerbit. Tidak semua penerbit beroperasi dengan amanah. Diana bercerita tentang kasus di mana sebuah lagu yang telah ditonton jutaan kali di YouTube hanya memberikan royalti sebesar Rp 25.000 kepada ahli waris penciptanya. Hal ini menjadi contoh betapa pentingnya edukasi tentang hak cipta dan royalti, serta perlunya kehati-hatian dalam memilih penerbit yang dapat dipercaya.
Melestarikan Musik Tarling: Tantangan dan Harapan
Meski perjuangan untuk mendapatkan royalti masih menghadapi berbagai tantangan, masa depan musik tarling dangdut di Pantura terlihat cerah. Seiring dengan berkembangnya teknologi digital dan platform streaming seperti YouTube dan TikTok, musisi tarling memiliki lebih banyak peluang untuk memonetisasi karya mereka. Beberapa musisi bahkan beralih ke live streaming di TikTok, yang memungkinkan mereka mendapatkan pendapatan langsung dari penggemar di dalam maupun luar negeri.
Namun, perjuangan untuk mendapatkan royalti bagi para musisi tarling tak akan berakhir dalam waktu dekat. Banyak pencipta lagu dari generasi sebelumnya belum sepenuhnya menikmati royalti dari karya-karya mereka, bahkan ada yang nama pencipta lagunya tidak tercatat dengan jelas. Hal ini menimbulkan risiko pencurian karya dan klaim dari pihak lain yang tidak berhak.
Oleh karena itu, dukungan antar musisi dan upaya edukasi tentang hak cipta menjadi sangat penting. Pendirian lembaga seperti Lembaga Musik Seniman Pantura (L-Musentra) pada 2015 oleh seniman seperti Adung Abdulgani adalah salah satu langkah konkret dalam memperjuangkan hak-hak ekonomi musisi tarling. Meski sempat mengalami kendala dalam bekerja sama dengan agregator luar negeri, upaya ini menunjukkan bahwa kolaborasi antar musisi dan dukungan terhadap hak cipta bisa menjadi kunci keberhasilan dalam menjaga kelestarian musik tarling.
Pada akhirnya, harapan terbesar para musisi tarling dangdut di Pantura adalah bahwa karya mereka dapat menjadi warisan yang terus mengalirkan royalti bagi generasi mendatang. Dengan terus memperjuangkan hak-hak mereka dan menjaga karya mereka melalui penerbitan yang adil, impian tersebut bukanlah hal yang mustahil. Tarling dangdut, yang dulu mungkin hanya dipandang sebagai hiburan lokal, kini memiliki potensi menjadi warisan abadi yang membawa kesejahteraan bagi banyak keluarga di masa depan. *Mukroni
Foto arsipweb2016.cirebonkab.go.id
- Berita Terkait :
Estafet Live Streaming: Toni Nababan dan Iqbal Sukses Hiburi Penonton di TikTok
Noa Argamani Klarifikasi: ‘Saya Tidak Pernah Dipukuli Hamas Selama Penahanan di Gaza’
Kamala Harris Kehilangan Dukungan Penting di Konvensi Demokrat Karena Isu Palestina
Konvensi Nasional Partai Demokrat 2024: Penetapan Kandidat, Pesan Kebebasan, dan Insiden Tak Terduga
Elon Musk Dipertimbangkan Masuk Kabinet Trump: Menguak Dinamika Politik dan Bisnis di AS
Pidato yang Tidak Pernah Ingin Disampaikan oleh Biden
Lampu Kuning dari Kelas Menengah RI: Menurunnya Daya Beli dan Dampak Sosial Ekonomi
Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Daya Beli yang Melemah
Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Utang
Lonjakan Harga Kopi Robusta: Peluang dan Tantangan bagi Perkopian Indonesia
Mengintip Tingginya Biaya Hidup di Timor Leste: Air Mineral Rp 10 Ribu, Fenomena dan Faktor Penyebab
Sejarah Warteg: Evolusi dari Logistik Perang hingga Bisnis Kuliner Populer
Cerita Munculnya Warteg, Berawal untuk Logistik Prajurit Sultan Agung
Wajib Sertifikasi Halal UMKM Diundur ke 2026: Kebijakan dan Alasan Pemerintah
Teriak Pedagang Warteg Saat Harga Beras Dekati Rp 700 Ribu per Karung
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat
Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit
Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik
Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi
Nongkrong Sambil Mencicip Surabi dengan Beragam Topping di Bandung