Jakarta, Kowantaranews.com -Empat tahun sudah berlalu sejak pemerintah Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan cepat mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja atau yang lebih dikenal sebagai Omnibus Law. UU yang sejak awal digadang-gadang akan menjadi “game changer” dalam upaya meningkatkan investasi dan menciptakan lapangan kerja ini kini justru menghadapi kritik tajam dari berbagai kalangan. Mulai dari buruh, akademisi, hingga pengusaha, semua mengungkapkan kekecewaan mereka terhadap efektivitas UU ini dalam mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya.
Proses Pengesahan yang Penuh Kontroversi
UU Cipta Kerja disahkan dengan proses yang tidak biasa dan penuh dengan kontroversi. Saat itu, Badan Legislasi DPR menggelar rapat kerja secara diam-diam bahkan sampai larut malam pada malam minggu untuk meloloskan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja ke Rapat Paripurna DPR guna disetujui menjadi undang-undang. Tujuan resmi dari pengesahan RUU ini sangat ambisius, yakni untuk menyederhanakan perizinan usaha, menarik investasi, dan menciptakan lapangan kerja yang lebih luas.
Namun, proses penyusunan, pembahasan, dan pengesahan UU ini dinilai tidak transparan dan melanggar aturan formal penyusunan regulasi. Proses yang terburu-buru ini menuai kritik keras dari berbagai pihak, termasuk dari buruh yang merasa dirugikan karena sejumlah hak-hak mereka dipangkas demi mempermudah investasi. Proses ini memicu unjuk rasa besar-besaran di berbagai daerah, terutama di tengah situasi pandemi Covid-19 yang sedang memuncak.
Kritik terhadap Dampak UU Cipta Kerja
Meski sempat diprotes keras dan dinyatakan cacat formil oleh Mahkamah Konstitusi, UU Cipta Kerja tetap diberlakukan dengan alasan adanya kegentingan ekonomi yang memaksa. Namun, empat tahun sejak pemberlakuannya, UU ini justru menghadirkan lebih banyak masalah daripada solusi. Salah satu kritik terbesar datang dari buruh yang menilai bahwa UU Cipta Kerja semakin menurunkan daya beli pekerja.
Mirah Sumirat, Presiden Asosiasi Pekerja (Aspek) Indonesia, menyebutkan bahwa kebijakan yang diambil atas nama fleksibilitas kerja ini justru berdampak buruk pada kesejahteraan pekerja. Dengan pengaturan upah yang lebih fleksibel dan tidak lagi menguntungkan, upah minimum menjadi lebih stagnan, sementara harga kebutuhan pokok terus meningkat. Hal ini, menurut Mirah, membuat daya beli masyarakat turun dan berakibat pada perlambatan ekonomi karena barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan menjadi tidak laku di pasaran.
Lebih jauh, kebijakan ini juga berujung pada meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK). Dalam kurun waktu Januari hingga Juni 2024, sebanyak 101.536 pekerja telah mengalami PHK secara nasional. Angka ini menunjukkan peningkatan yang signifikan dibandingkan periode yang sama pada tahun 2022 yang hanya mencatat 25.114 kasus, dan 80.303 kasus pada tahun 2023. Mirah menilai, PHK massal ini disebabkan oleh kondisi ekonomi global yang melemah serta permintaan domestik yang lesu akibat penurunan daya beli pekerja.
Baca juga : Gaya Hidup Mewah di Tengah Ketimpangan: Kue Rp 400.000 dan Jet Pribadi di Indonesia
Baca juga : Perjanjian Kerja Sama INKOPPOL dan Koperasi Warteg Nusantara (KOWANTARA) Resmi Ditandatangani
Baca juga : Nepal Meminta Penghapusan Utang China untuk Bandara Baru yang Gagal Meningkatkan Ekonomi
Masalah Klasik dalam Perizinan Usaha
Di sisi lain, para pengusaha yang seharusnya menjadi pihak yang paling diuntungkan oleh UU Cipta Kerja ini justru ikut mengeluh. Direktur Apindo Riset Institute, Agung Pambudi, mengatakan bahwa UU ini belum mampu menyederhanakan proses perizinan usaha seperti yang diharapkan. Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai reformasi regulasi dan birokrasi, dunia usaha masih dihadapkan pada masalah klasik terkait perizinan berusaha di daerah.
Sistem Online Single Submission Risk-Based Approach (OSS-RBA), yang seharusnya menjadi solusi bagi integrasi perizinan usaha dari pusat ke daerah, ternyata belum bisa diterapkan secara efektif. Setiap kementerian dan lembaga tetap menjalankan sistem pelayanan perizinan berusahanya masing-masing tanpa terintegrasi dengan sistem OSS-RBA. Akibatnya, proses layanan perizinan berusaha yang lebih cepat dan nonbirokratis tetap tidak tercapai.
Menurut Armand Suparman, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), regulasi turunan UU Cipta Kerja juga menjadi masalah besar. Peraturan pemerintah (PP) yang menjadi landasan hukum untuk penerapan sistem OSS-RBA ternyata masih mendelegasikan sejumlah ketentuan teknis perizinan usaha ke dalam peraturan menteri. Ini menyebabkan adanya “obesitas regulasi” yang menghambat perizinan usaha di Indonesia.
Armand juga menyoroti belum adanya pembenahan rencana detail tata ruang (RDTR) di daerah. Banyak daerah yang belum memiliki RDTR dalam bentuk digital, padahal RDTR sangat penting untuk proses perizinan usaha. Tanpa RDTR yang jelas, banyak pengusaha yang mendapat izin berusaha di lokasi yang tidak sesuai dengan peruntukannya, sehingga menambah kerumitan dalam menjalankan usaha.
Dampak pada Daya Beli dan Stabilitas Ekonomi
UU Cipta Kerja yang diharapkan dapat menjadi pendorong utama peningkatan investasi dan penciptaan lapangan kerja nyatanya juga berdampak negatif pada daya beli masyarakat. Penurunan daya beli ini terutama dirasakan oleh pekerja di sektor formal yang mengalami stagnasi upah. Timboel Siregar, Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), menyatakan bahwa sejak UU Cipta Kerja diberlakukan, masih terjadi defisit lapangan kerja. Pada tahun 2023, tercipta sekitar 1,8 juta lapangan kerja formal, namun angka ini masih jauh dari pertumbuhan angkatan kerja yang mencapai lebih dari 4 juta orang.
Selain itu, UU Cipta Kerja juga memperkenalkan lebih banyak alasan bagi perusahaan untuk melakukan PHK, yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021. Alasan PHK yang sebelumnya hanya berjumlah 15 kini bertambah menjadi 26, yang berarti bahwa perusahaan kini memiliki lebih banyak alasan untuk memberhentikan karyawan. Dampaknya, tingkat pengangguran menjadi lebih tinggi, dan daya beli masyarakat semakin tergerus.
Timboel juga menyoroti bahwa UU Cipta Kerja membuat kenaikan upah minimum menjadi lebih sulit dilakukan, karena kenaikan ini seringkali berada di bawah inflasi riil untuk kebutuhan pokok seperti pangan dan papan. Akibatnya, daya beli pekerja terus menurun, dan kelas menengah di Indonesia pun semakin tergerus.
Upaya Evaluasi dan Harapan Kedepannya
Dengan berbagai masalah yang timbul, para pemangku kepentingan mulai mendorong adanya evaluasi terhadap UU Cipta Kerja. Pekan depan, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) akan menggelar Rapat Kerja dan Konsultasi Nasional (Rakerkonas) Ke-33 di Surabaya. Salah satu agenda utamanya adalah mengevaluasi penerapan UU Cipta Kerja karena regulasi ini belum banyak membantu perizinan berusaha di daerah. Agung Pambudi dari Apindo Riset Institute menyatakan bahwa UU Cipta Kerja memerlukan perbaikan dalam beberapa aspek agar dapat benar-benar menjadi game changer dalam iklim investasi di Indonesia.
Meski begitu, banyak yang masih berharap bahwa dengan perbaikan dan revisi yang tepat, UU Cipta Kerja dapat dioptimalkan untuk mencapai tujuan awalnya, yaitu menyederhanakan regulasi, memperbaiki iklim investasi, dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja di Indonesia. Ke depan, diperlukan kerja sama yang lebih baik antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan seluruh pemangku kepentingan lainnya untuk mengatasi berbagai kendala yang dihadapi pasca penerapan UU ini.
Empat tahun pasca disahkannya, UU Cipta Kerja masih menghadapi berbagai tantangan dalam pelaksanaannya. Kritik datang dari berbagai pihak, termasuk buruh yang merasakan dampak langsung terhadap kesejahteraan mereka, dan pengusaha yang mengeluhkan rumitnya perizinan berusaha. Meski begitu, evaluasi dan perbaikan terus diupayakan untuk memastikan bahwa UU ini dapat benar-benar membawa manfaat bagi perekonomian Indonesia. Hanya dengan pendekatan yang lebih holistik dan integratif, UU Cipta Kerja bisa diubah dari “melempem” menjadi solusi nyata bagi permasalahan ekonomi Indonesia. *Mukroni
Foto Kowantaranews
- Berita Terkait :
Gaya Hidup Mewah di Tengah Ketimpangan: Kue Rp 400.000 dan Jet Pribadi di Indonesia
Kamala Harris Kehilangan Dukungan Penting di Konvensi Demokrat Karena Isu Palestina
Konvensi Nasional Partai Demokrat 2024: Penetapan Kandidat, Pesan Kebebasan, dan Insiden Tak Terduga
Elon Musk Dipertimbangkan Masuk Kabinet Trump: Menguak Dinamika Politik dan Bisnis di AS
Pidato yang Tidak Pernah Ingin Disampaikan oleh Biden
Lampu Kuning dari Kelas Menengah RI: Menurunnya Daya Beli dan Dampak Sosial Ekonomi
Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Daya Beli yang Melemah
Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Utang
Lonjakan Harga Kopi Robusta: Peluang dan Tantangan bagi Perkopian Indonesia
Mengintip Tingginya Biaya Hidup di Timor Leste: Air Mineral Rp 10 Ribu, Fenomena dan Faktor Penyebab
Sejarah Warteg: Evolusi dari Logistik Perang hingga Bisnis Kuliner Populer
Cerita Munculnya Warteg, Berawal untuk Logistik Prajurit Sultan Agung
Wajib Sertifikasi Halal UMKM Diundur ke 2026: Kebijakan dan Alasan Pemerintah
Teriak Pedagang Warteg Saat Harga Beras Dekati Rp 700 Ribu per Karung
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat
Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit
Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik
Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi