• Ming. Okt 6th, 2024

KowantaraNews

RINGKAS DAN TAJAM

DK PBB: Raksasa Tanpa Taring di Tengah Badai Konflik Global

ByAdmin

Sep 22, 2024
Sharing is caring

Jakarta, Kowantarannews.com -Sejak pembentukannya setelah Perang Dunia II, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) telah menjadi organ paling penting di dunia dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Lima negara besar — Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, Inggris, dan Prancis — memegang kursi tetap dan hak veto yang sangat menentukan dalam tubuh ini. Namun, 79 tahun sejak berdirinya, Dewan ini semakin dianggap sebagai “raksasa tanpa taring”, gagal memberikan solusi bagi konflik-konflik besar yang mengancam stabilitas global. Dari perang di Ukraina, Gaza, Sudan, hingga berbagai tragedi kemanusiaan lainnya, peran DK PBB justru terjebak dalam pusaran kebuntuan diplomasi dan kepentingan politik.

Dengan momentum pertemuan puncak “KTT untuk Masa Depan” yang diadakan bersamaan dengan sidang ke-79 Majelis Umum PBB pada 23 September 2024, semakin kuat desakan untuk mereformasi DK PBB yang dinilai usang dan tidak efektif. Dunia membutuhkan Dewan yang berfungsi, berani mengambil tindakan nyata, dan tidak terbelenggu oleh hak veto yang kerap kali hanya mencerminkan kepentingan sempit lima negara anggota tetap.

Mandulnya Kekuatan Veto

Salah satu alasan utama mandulnya DK PBB adalah hak veto yang dimiliki oleh lima anggota tetap. Hak veto ini seharusnya digunakan untuk mencegah tindakan-tindakan yang dapat mengancam perdamaian internasional. Namun, dalam kenyataannya, veto sering kali digunakan sebagai alat perlindungan bagi kepentingan negara-negara besar. Rusia, misalnya, kerap memveto resolusi terkait dengan konflik di Ukraina dan Suriah, sementara Amerika Serikat berkali-kali menggunakan hak vetonya untuk melindungi sekutunya, Israel, dari kecaman atas konflik dengan Palestina.

Menurut Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, dalam pidatonya pada 13 September 2024, hak veto justru menjadi penghalang utama untuk mencapai tujuan utama PBB, yaitu menjaga perdamaian dan keamanan global. “Dewan Keamanan semakin tidak relevan dan semakin merusak kredibilitas PBB sebagai organisasi internasional,” kata Guterres, menekankan pentingnya reformasi DK PBB yang kini tidak lagi mampu merespons tantangan-tantangan baru dunia.

Situasi ini memunculkan pertanyaan: Bagaimana mungkin sebuah lembaga yang dibentuk untuk menjaga perdamaian justru menjadi sumber kebuntuan dalam menyelesaikan konflik? Hal ini mencerminkan bahwa arsitektur DK PBB yang dirancang pada 1945 sudah tidak lagi sesuai dengan realitas politik dan ekonomi global di abad ke-21.

Desakan Reformasi yang Tak Kunjung Usai

Selama lebih dari 40 tahun, seruan untuk mereformasi DK PBB terus bergema, tetapi tak pernah mencapai hasil yang konkret. Reformasi yang diusulkan mencakup perluasan keanggotaan tetap dan penghapusan hak veto, agar DK PBB dapat lebih inklusif dan representatif terhadap kekuatan-kekuatan global saat ini. Brasil, India, Jerman, dan Jepang—yang tergabung dalam kelompok G4—adalah beberapa negara yang selama ini berusaha mendapatkan kursi permanen di DK PBB.

Desakan reformasi juga datang dari negara-negara di Afrika. Dalam beberapa dekade terakhir, benua Afrika telah menjadi salah satu wilayah dengan kontribusi terbesar dalam operasi penjaga perdamaian PBB, namun tetap saja mereka tidak memiliki kursi tetap di Dewan. Afrika juga menjadi salah satu wilayah yang paling rentan terhadap konflik, tetapi ironisnya, suaranya masih kurang didengar di PBB. Presiden Finlandia, Alexander Stubb, dalam pidatonya di Majelis Umum PBB baru-baru ini, menekankan bahwa hak veto seharusnya dihapus, dan DK PBB diperluas dengan lebih banyak perwakilan dari Afrika, Amerika Latin, dan Asia.

Amerika Serikat sendiri, meskipun merupakan salah satu anggota tetap, juga mendukung gagasan untuk memberikan dua kursi tetap kepada negara-negara Afrika, tetapi dengan syarat mereka tidak memiliki hak veto. Namun, tidak semua negara besar mendukung gagasan ini. Rusia dan Tiongkok, misalnya, dengan tegas menolak adanya penambahan kursi tetap, terutama jika menyangkut negara-negara seperti Jepang dan India yang memiliki rivalitas sejarah dan geopolitik dengan mereka.

Baca juga : Pemilu 2024: Momen Biden Pakai Topi Trump Berujung Polemik di Tengah Polarisasi Politik Amerika

Baca juga : Debat Penentu: Kamala Harris di Antara Perubahan dan Status Quo

Baca juga : Presiden Joe Biden Tidak Akan Intervensi Kasus Hukum Hunter Biden

Hambatan Dalam Perubahan

Meski ada desakan reformasi, upaya ini terus terbentur oleh kenyataan bahwa setiap perubahan dalam komposisi DK PBB membutuhkan persetujuan dari dua pertiga anggota Majelis Umum PBB serta lima anggota tetap DK PBB. Artinya, hak veto yang justru ingin dihapuskan menjadi penghalang utama untuk perubahan itu sendiri. Tidak ada satu pun dari lima anggota tetap yang secara sukarela akan melepaskan hak veto mereka, karena itu sama saja dengan melepaskan sebagian dari kekuasaan politik global yang telah mereka nikmati selama hampir delapan dekade.

Selain itu, proses amendemen Piagam PBB yang diperlukan untuk merubah struktur DK PBB sangatlah rumit. Setiap perubahan harus melewati tahapan persetujuan di tingkat nasional masing-masing negara, yang sering kali memakan waktu bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, tanpa adanya jaminan akan disetujui oleh seluruh pihak yang terlibat.

Andrew Bacevich, Guru Besar Emeritus di Universitas Boston, menyatakan bahwa peluang reformasi DK PBB sangat kecil, karena lima anggota tetap tidak ingin kehilangan kekuasaan mereka. “Lima negara besar ini masih menjadi kekuatan dominan di panggung internasional, dan mereka tidak akan mau berbagi pengaruh dengan negara lain,” ujar Bacevich.

Kekuatan Veto yang Terus Dipertanyakan

Dalam banyak kasus, hak veto digunakan bukan untuk menjaga perdamaian, melainkan untuk melindungi kepentingan strategis dan aliansi politik. Rusia, misalnya, telah menggunakan veto sebanyak 120 kali, sebagian besar terkait konflik yang melibatkan sekutu-sekutunya seperti Suriah. Amerika Serikat, yang memegang rekor veto kedua terbanyak, telah menggunakan hak vetonya 82 kali, dengan mayoritas veto digunakan untuk melindungi Israel dari kritik internasional.

Pada tahun 2022, muncul inisiatif untuk membatasi penggunaan veto dengan mewajibkan adanya debat di Majelis Umum PBB setiap kali hak veto digunakan. Meskipun inisiatif ini tidak dapat membatalkan veto itu sendiri, setidaknya memberikan transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan hak veto.

Namun, langkah-langkah kecil seperti ini dianggap tidak cukup untuk mengatasi permasalahan mendasar dalam sistem DK PBB. Ketidakmampuan Dewan untuk bertindak tegas dalam menyelesaikan konflik-konflik besar dunia mencerminkan adanya kebutuhan mendesak untuk reformasi yang lebih substansial. Tanpa perubahan signifikan, DK PBB akan terus terjebak dalam kebuntuan diplomasi yang hanya melayani kepentingan segelintir negara.

Solusi untuk Masa Depan

Jika reformasi besar-besaran DK PBB tampaknya sulit diwujudkan, apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki peran Dewan dalam menjaga perdamaian dan keamanan dunia? Beberapa pakar mengusulkan adanya kesepakatan informal atau kode etik di antara lima anggota tetap tentang penggunaan hak veto. Ini akan membatasi penggunaan veto hanya dalam situasi yang benar-benar kritis dan menghindari penggunaannya untuk melindungi kepentingan nasional sempit.

Ada juga usulan untuk memperluas keanggotaan tidak tetap di DK PBB, yang dipilih oleh Majelis Umum dengan distribusi geografis yang lebih representatif. Perluasan ini bisa memberikan suara lebih besar bagi negara-negara berkembang yang selama ini kurang diwakili dalam proses pengambilan keputusan.

Namun, terlepas dari berbagai usulan dan inisiatif, reformasi DK PBB tetap menjadi tantangan besar. Lima anggota tetap Dewan tidak akan dengan mudah melepaskan hak veto mereka, dan kepentingan geopolitik serta ekonomi yang saling bertentangan akan terus menjadi penghalang utama. Dunia mungkin terus membutuhkan Dewan Keamanan yang kuat dan bertaring, tetapi kenyataannya, perubahan nyata masih jauh dari jangkauan.

Dalam situasi global yang semakin rumit, dengan berbagai konflik baru yang muncul di berbagai belahan dunia, DK PBB harus menemukan cara untuk tetap relevan. Tanpa reformasi yang berarti, Dewan ini hanya akan menjadi simbol kekuasaan yang kosong, raksasa tanpa taring yang terjebak dalam badai konflik global tanpa mampu menawarkan solusi nyata. *Mukroni

Foto Kowantaranews

  • Berita Terkait :

Pemilu 2024: Momen Biden Pakai Topi Trump Berujung Polemik di Tengah Polarisasi Politik Amerika

Debat Penentu: Kamala Harris di Antara Perubahan dan Status Quo

Presiden Joe Biden Tidak Akan Intervensi Kasus Hukum Hunter Biden

Kebakaran Tragis di Sekolah Dasar Kenya: 17 Anak Tewas, Investigasi Dilakukan

Kamala Harris: Mendefinisikan Ulang Identitas Politik dan Memecahkan Batasan dalam Diam

Diplomasi Tertutup AS-China: Mencari Titik Temu di Tengah Rivalitas Global

Nepal Meminta Penghapusan Utang China untuk Bandara Baru yang Gagal Meningkatkan Ekonomi

Kamala Harris Kehilangan Dukungan Penting di Konvensi Demokrat Karena Isu Palestina

Konvensi Nasional Partai Demokrat 2024: Penetapan Kandidat, Pesan Kebebasan, dan Insiden Tak Terduga

Elon Musk Dipertimbangkan Masuk Kabinet Trump: Menguak Dinamika Politik dan Bisnis di AS

Pidato yang Tidak Pernah Ingin Disampaikan oleh Biden

Sinergi Ekonomi: Kamala Harris Fokus Pada Tingginya Biaya Hidup dalam Pidato Kebijakan Ekonomi Pertama

Pertemuan Tingkat Tinggi di Shanghai: Upaya Stabilisasi Hubungan Ekonomi AS-Tiongkok di Tengah Ketegangan Perdagangan

Tantangan Ekonomi Triwulan III: Prospek Pertumbuhan di Bawah 5 Persen Akibat Perlambatan Industri dan Konsumsi

Lampu Kuning dari Kelas Menengah RI: Menurunnya Daya Beli dan Dampak Sosial Ekonomi

Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Daya Beli yang Melemah

Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Utang

Lonjakan Harga Kopi Robusta: Peluang dan Tantangan bagi Perkopian Indonesia

Mengintip Tingginya Biaya Hidup di Timor Leste: Air Mineral Rp 10 Ribu, Fenomena dan Faktor Penyebab

Diskusi Kelompok Terarah di DPR-RI: Fraksi Partai NasDem Bahas Tantangan dan Peluang Gen Z dalam Pasar Kerja Global

Sejarah Warteg: Evolusi dari Logistik Perang hingga Bisnis Kuliner Populer

Cerita Munculnya Warteg, Berawal untuk Logistik Prajurit Sultan Agung

Wajib Sertifikasi Halal UMKM Diundur ke 2026: Kebijakan dan Alasan Pemerintah

Teriak Pedagang Warteg Saat Harga Beras Dekati Rp 700 Ribu per Karung

Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang

Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online

Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani

Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu

Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi

Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya

Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan

Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.

Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang

KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat

Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?

Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka 

Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu

Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis

Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi

Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik

Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama

Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal

Kowartami  Resmikan  Warteg  Republik  Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *