Jakarta, Kowantaranews.com -Indonesia, negara dengan kekayaan hutan tropis terbesar di Asia, berada di ambang krisis lingkungan yang semakin memburuk. Perusakan hutan yang tak terkendali terus berlanjut, sebagian besar dipicu oleh eksploitasi lahan untuk perkebunan sawit dan pertambangan. Di balik hilangnya jutaan hektare hutan, terdapat sebuah masalah mendasar: impunitas yang dinikmati oleh korporasi besar yang terus merusak hutan tanpa konsekuensi nyata. Dalam bayang-bayang korupsi dan celah hukum, korporasi-korporasi ini terus menggerogoti paru-paru dunia tanpa rasa takut terhadap hukuman.
Masalah ini semakin terkuak setelah dugaan korupsi di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam tata kelola sawit mencuat ke permukaan. Kasus ini menjadi bukti nyata bahwa Undang-Undang Cipta Kerja, yang digadang-gadang sebagai terobosan untuk mempercepat investasi dan memperbaiki birokrasi, justru menjadi pintu bagi praktik-praktik korupsi dan merusak lingkungan hidup. Pasal-pasal dalam UU ini, terutama Pasal 110A dan 110B, lebih mengutamakan penyelesaian administratif daripada penegakan hukum pidana terhadap perusahaan yang melanggar aturan di kawasan hutan.
Celah Hukum yang Melindungi Pelanggar
Pasal 110A dan 110B dalam Undang-Undang Cipta Kerja dianggap sebagai dua regulasi yang sangat bermasalah. Keduanya memberikan jalan bagi perusahaan yang beroperasi secara ilegal di kawasan hutan untuk menyelesaikan masalah perizinan mereka dengan cara administratif. Alih-alih menghadapi sanksi pidana yang keras, perusahaan-perusahaan ini hanya dikenai denda administratif, yang pada dasarnya adalah bentuk pengampunan bagi perusahaan yang telah melanggar hukum.
Sebenarnya, praktik impunitas ini bukanlah hal baru. Pada 2012 dan 2015, pemerintah sudah pernah menerbitkan dua peraturan yang memberikan kelonggaran kepada perusahaan-perusahaan yang beroperasi di kawasan hutan tanpa izin. Alih-alih menindak tegas perusahaan-perusahaan yang telah merambah hutan, pemerintah justru memberikan waktu bagi mereka untuk mengurus perizinan dan menyelesaikan masalah administratif. Akibatnya, banyak perusahaan yang sebelumnya beroperasi secara ilegal di dalam kawasan hutan akhirnya mendapatkan legitimasi melalui izin pelepasan kawasan hutan.
Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, setidaknya 3,37 juta hektare kawasan hutan telah dirambah secara ilegal untuk dijadikan perkebunan sawit. Jumlah ini setara dengan hampir 20 persen dari total luas perkebunan sawit di Indonesia. Sayangnya, meskipun telah diberikan kesempatan untuk “mencuci bersih” status mereka melalui pemutihan, banyak perusahaan yang masih tidak patuh.
Dari 2.130 perusahaan yang diketahui merambah hutan untuk perkebunan sawit, hanya 365 perusahaan yang mengajukan proses pemutihan. Bahkan, dari jumlah tersebut, hanya 155 perusahaan yang akhirnya membayar denda kepada negara melalui penerimaan negara bukan pajak (PNBP) berupa provisi sumber daya hutan dan dana reboisasi (PSDH-DR). Total pembayaran yang diterima negara hanya Rp 648,8 miliar, jumlah yang sangat kecil dibandingkan dengan kerugian lingkungan dan ekonomi yang diderita Indonesia akibat deforestasi ilegal.
Baca juga : Rudy Soik: Sang Penantang Mafia BBM yang Dikorbankan Demi Kekuasaan?
Baca juga : Skandal Korupsi Gubernur Kalsel: Sahbirin Noor Dicegah ke Luar Negeri, Terancam DPO!
Korupsi di Balik Proses Pemutihan
Proses pemutihan ini pun tidak lepas dari masalah korupsi. Transparansi dalam proses ini sangat minim, membuat publik sulit untuk memantau bagaimana perusahaan-perusahaan ini beroperasi dan apakah mereka benar-benar memenuhi kewajiban mereka. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, misalnya, tidak pernah secara terbuka menyampaikan data rinci tentang luas konsesi yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan ini, siapa pemilik manfaat sebenarnya (beneficial owner), atau bagaimana formula denda dihitung. Proses yang tertutup ini membuka peluang terjadinya kolusi antara pejabat pemerintah dan pengusaha, menciptakan lingkungan yang sangat rentan terhadap praktik-praktik korupsi.
Tanpa transparansi, publik tidak memiliki cara untuk mengawasi apakah hukuman yang dijatuhkan kepada perusahaan-perusahaan perusak hutan ini sesuai dengan kerusakan yang mereka sebabkan. Lebih dari itu, sulit bagi masyarakat untuk menguji apakah denda yang dikenakan benar-benar mencerminkan biaya pemulihan lingkungan dan hilangnya nilai intrinsik hutan yang telah dirusak.
Sebagai contoh, dalam beberapa kasus, denda yang dikenakan kepada perusahaan yang telah merambah ribuan hektare hutan hanya mencapai ratusan juta rupiah. Jumlah ini sangat tidak sebanding dengan keuntungan besar yang diperoleh perusahaan tersebut dari kegiatan ilegal mereka. Akibatnya, skema denda ini tidak memiliki efek jera yang cukup untuk menghentikan perusakan hutan di masa mendatang.
Peran KPK dalam Menguak Skandal
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengendus adanya penyelewengan besar-besaran dalam proses pemutihan kebun ilegal ini. KPK mencatat bahwa hanya sebagian kecil perusahaan yang membayar kewajiban mereka kepada negara, dan lebih banyak lagi yang berusaha menghindar dari tanggung jawab mereka. KPK juga menemukan indikasi kuat adanya praktik suap dan gratifikasi dalam proses perizinan dan pelepasan kawasan hutan, yang melibatkan pejabat tinggi di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kasus-kasus seperti ini menunjukkan betapa lemahnya penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Korporasi besar dengan modal kuat dapat dengan mudah memanfaatkan celah-celah hukum dan korupsi untuk menghindari sanksi, sementara kerusakan yang mereka timbulkan pada lingkungan sering kali tidak dapat dipulihkan.
Efek Buruk bagi Lingkungan dan Masyarakat
Kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh perusahaan-perusahaan perusak hutan ini tidak hanya berdampak pada hilangnya keanekaragaman hayati dan terganggunya ekosistem, tetapi juga membawa dampak buruk bagi masyarakat lokal yang hidup bergantung pada hutan. Deforestasi besar-besaran menyebabkan hilangnya mata pencaharian masyarakat adat, banjir bandang, dan kebakaran hutan yang kian sering terjadi.
Setiap tahun, Indonesia harus menghadapi musim kebakaran hutan yang semakin parah, yang sebagian besar disebabkan oleh pembukaan lahan untuk perkebunan sawit. Asap tebal yang dihasilkan dari kebakaran ini tidak hanya mencemari udara, tetapi juga menyebabkan masalah kesehatan serius bagi jutaan orang. Pemerintah harus mengeluarkan anggaran besar untuk menangani bencana ini, sementara korporasi yang menyebabkan kebakaran sering kali lolos dari tanggung jawab.
Apa yang Harus Dilakukan?
Untuk mengakhiri impunitas korporasi perusak hutan, pemerintah Indonesia harus melakukan reformasi besar-besaran dalam tata kelola hutan dan penegakan hukum lingkungan. Pertama, sanksi pidana harus ditegakkan secara tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang terbukti merusak hutan secara ilegal. Sanksi administratif tidak cukup untuk menghentikan mereka, karena keuntungan yang diperoleh dari kegiatan ilegal mereka jauh lebih besar daripada denda yang dikenakan.
Kedua, proses perizinan dan pelepasan kawasan hutan harus dilakukan secara transparan. Publik harus memiliki akses penuh terhadap informasi mengenai siapa yang mendapatkan izin, bagaimana izin tersebut diberikan, dan apakah perusahaan-perusahaan ini mematuhi aturan yang ada. Dengan keterbukaan ini, masyarakat dapat turut memantau dan mengawasi bagaimana sumber daya alam Indonesia dikelola.
Ketiga, pemerintah harus memperkuat kerja sama dengan lembaga-lembaga penegak hukum seperti KPK untuk menindak tegas korupsi dalam tata kelola lingkungan. Tanpa komitmen yang kuat untuk memberantas korupsi, impunitas terhadap perusahaan perusak hutan akan terus berlanjut.
Indonesia tidak bisa terus merelakan hutan-hutannya hilang akibat perusakan yang didorong oleh kepentingan ekonomi jangka pendek. Jika hutan Indonesia terus dihancurkan, bukan hanya lingkungan yang akan hancur, tetapi juga masa depan generasi mendatang yang bergantung pada kelestarian sumber daya alam. Pemerintah harus bertindak sekarang, sebelum semuanya terlambat. *Mukroni
Foto Kowantaranews
- Berita Terkait :
Rudy Soik: Sang Penantang Mafia BBM yang Dikorbankan Demi Kekuasaan?
Skandal Korupsi Gubernur Kalsel: Sahbirin Noor Dicegah ke Luar Negeri, Terancam DPO!
MAKI Tantang Kejagung! Robert Bonosusatya Bebas dari Jerat Korupsi Timah?
Kejagung Bongkar Rekor! Uang Rp 372 Miliar Disembunyikan di Lemari Besi Kasus Duta Palma
Skandal Tambang Miliaran! Mantan Gubernur Kaltim Terjerat Korupsi Besar-Besaran ?
Tragedi Bekasi: Salah Prosedur Polisi ? , Tujuh Remaja Tewas di Kali!
Mengendalikan Triliunan Rupiah: Bos Narkoba Hendra Sabarudin dari Dalam Lapas
Relawan Tanam Pohon atau Tanam Konflik? PT MEG dan Drama Eco City di Pulau Rempang
Menjaga KPK: Ketatnya Pengawasan, Longgarnya Etika
Drama Kepemimpinan Kadin: Siapa Bos, Siapa ‘Bos’?
Drama Kadin: Aklamasi Sah, Kuorum Bisa Disanggah
300 Triliun Hilang, Hukuman Ditebus dengan Rp 5.000: Harga Keadilan di Tanah Timah
Munaslub: Ketika Kuorum Jadi Interpretasi Pribadi
Drama Munaslub: Ketika Kursi Ketua Kadin Jadi Rebutan, Hukum Cuma Penonton?
Anindya Bakrie Naik Tahta Kadin: Munaslub ala ‘Keluarga Besar’ yang Ditolak 20+ Provinsi
Tinjauan Pro dan Kontra Penempatan Komponen Cadangan di Ibu Kota Nusantara
Strategi Presiden Jokowi dalam Memilih Pimpinan KPK: Membaca Dinamika Politik dan Hukum di Indonesia
Jeratan Hukum Fify Mulyani dalam Kasus Poligami dan Tindak Pidana Pencucian Uang
Skandal Kuota Haji Khusus: Dugaan Penyelewengan di Balik Penyelenggaraan Haji 2024
IKN di Persimpangan: Anggaran Menyusut, Investasi Swasta Diharapkan
Warteg Menolak IKN, Apa Warteg Menolak IKAN ?
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat
Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit
Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik
Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi