Jakarta, Kowantaranews.com -Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri manufaktur Indonesia terus menguat, menandai krisis yang semakin mengancam kesejahteraan ribuan pekerja di seluruh negeri. Dari awal tahun hingga Agustus 2024, sekitar 50 ribu buruh telah kehilangan pekerjaan mereka, terutama di sektor tekstil dan garmen. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan masalah ekonomi yang mendalam tetapi juga memperlihatkan tantangan besar dalam kebijakan ketenagakerjaan dan perlindungan pekerja.
Tsunami PHK: Angka yang Mengkhawatirkan
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBI), Elly Rosita, mengungkapkan bahwa dari Januari hingga Agustus 2024, hampir 50 ribu buruh terkena PHK. Sebagian besar berasal dari sektor garmen, di mana perusahaan melakukan PHK secara sepihak tanpa memberikan kejelasan mengenai pesangon dan hak-hak lainnya. Banyak buruh yang tidak tergabung dalam serikat pekerja, sehingga mereka tidak memiliki mekanisme untuk berkomunikasi dengan manajemen perusahaan. Dalam beberapa kasus, pekerja bahkan tidak diberitahu alasan di balik PHK tersebut.
Di Jawa Tengah, rata-rata 100 hingga 200 tenaga kerja per bulan kehilangan pekerjaan mereka karena perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) tidak diperpanjang. Ketua Dewan Pimpinan Daerah Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (DPD KSPN) Boyolali, Wahono, menyatakan bahwa perusahaan di wilayah tersebut juga memperpendek masa kontrak dengan alasan dampak ekonomi global dan penurunan permintaan. Namun, diakui bahwa dalam sebulan terakhir, tidak ada perusahaan yang benar-benar menutup operasionalnya.
Dampak Ekonomi dan Kebijakan yang Belum Memadai
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengakui adanya tren peningkatan jumlah PHK pada 2024, dengan industri manufaktur, terutama tekstil, garmen, dan alas kaki, menjadi sektor yang paling terpukul. Hingga Agustus 2024, tercatat ada 46.240 kasus PHK, angka yang diperkirakan bisa lebih tinggi jika kondisi ekonomi tidak membaik. Tahun lalu, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat 64.855 kasus PHK.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan, Anwar Sanusi, menekankan bahwa PHK paling banyak terjadi di Jawa Tengah, Banten, dan Jawa Barat. Pihaknya berupaya melakukan mediasi untuk mencegah lebih banyak PHK serta memastikan pekerja yang dirumahkan memperoleh hak-haknya. Meski demikian, usaha mediasi ini sering kali terlambat atau tidak cukup efektif dalam menghadapi realitas ekonomi yang semakin sulit.
Tekanan dari Barang Impor dan Daya Beli yang Melemah
Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Tengah, Liliek Setiawan, memperkirakan jumlah kasus PHK di lapangan lebih besar daripada yang dicatat oleh pemerintah. Banyak perusahaan yang tidak mampu bertahan akibat serbuan barang impor yang semakin menggerus daya saing produk dalam negeri. Liliek menyebut bahwa berbagai upaya efisiensi telah dilakukan, tetapi banyak perusahaan akhirnya harus menutup usaha mereka.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) juga mengaitkan gelombang PHK ini dengan merosotnya daya beli masyarakat dan belum terselesaikannya perjanjian dagang dengan Uni Eropa, yaitu European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (EU-CEPA). Hal ini memperburuk daya saing produk Indonesia di pasar Eropa, sementara belum ada pasar baru yang dapat menyerap produk-produk manufaktur Indonesia.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, Bob Azam, menjelaskan bahwa industri manufaktur tidak hanya tertekan oleh rendahnya daya beli masyarakat tetapi juga oleh banjir barang impor yang lebih murah. Kondisi ini diperburuk oleh ketidakpastian politik menjelang transisi pemerintahan, yang membuat investor enggan berinvestasi atau mengambil risiko di sektor ini. Hasilnya adalah kontraksi yang semakin dalam dalam sektor manufaktur, dengan Purchasing Manager’s Index (PMI) Indonesia turun ke level 48,9 pada Agustus 2024, dari 49,3 pada bulan sebelumnya. Angka di bawah 50 ini menunjukkan kontraksi aktivitas manufaktur.
Pelemahan PMI dan Dampaknya terhadap Tenaga Kerja
Laporan S&P Global yang dirilis pada awal September 2024 menunjukkan bahwa PMI manufaktur Indonesia mengalami penurunan paling tajam dalam tiga tahun terakhir. Anjloknya permintaan baru dan penurunan produksi menjadi faktor utama di balik melemahnya kinerja sektor ini, yang pada gilirannya memicu PHK besar-besaran. Menurut Paul Smith, Economics Director S&P Global Market Intelligence, perusahaan merespons pelemahan ini dengan mengurangi jumlah karyawan, meskipun banyak yang percaya bahwa kondisi ini bersifat sementara.
Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies, menyatakan bahwa sebagian besar penurunan kinerja industri manufaktur disebabkan oleh salah kelola kebijakan. Sebagai perbandingan, PMI manufaktur Vietnam pada Juli 2024 berada di level 54,7, sementara Thailand mencapai level 52 pada Agustus 2024. Bhima menekankan bahwa ini bukan semata-mata soal kondisi eksternal, tetapi juga ketidakmampuan pemerintah dalam mengintervensi kebijakan yang mendukung industri.
Baca juga : Ketar-Ketir Nasabah Jiwasraya: Pergolakan Menjelang Likuidasi dan Harapan untuk Solusi
Baca juga : Mengapa Angka Kemiskinan Era Jokowi Bisa Menyesatkan? Standar Lama BPS Jadi Sorotan
Baca juga : Menghindari Krisis Ekonomi: Tantangan Awal bagi Pemerintahan Prabowo Subianto
Tantangan dan Kegagalan Kebijakan Industri
Kritik terhadap kebijakan pemerintah juga datang dari berbagai kalangan. Bhima menyoroti kebijakan yang terlalu fokus pada penghiliran atau hilirisasi mineral, yang dianggap tidak seimbang dengan kebutuhan untuk mendukung sektor manufaktur yang lebih padat karya. Sektor pengolahan menyerap 13,2 persen dari total tenaga kerja, tetapi pada Februari 2024, serapan tenaga kerja sektor industri hanya naik 50 ribu orang dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya. Sementara itu, sektor perdagangan dan akomodasi mengalami kenaikan signifikan dalam penyerapan tenaga kerja.
Hal ini menunjukkan ketimpangan antara produksi barang dengan jasa penopangnya, dengan indikasi bahwa pekerja yang terkena PHK dari sektor manufaktur akhirnya harus bekerja di sektor jasa informal dengan upah yang lebih rendah. Kondisi ini memperburuk kesejahteraan pekerja dan meningkatkan kerentanan sosial-ekonomi.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menambahkan bahwa banjir barang impor murah merupakan salah satu penyebab utama anjloknya kinerja PMI manufaktur Indonesia. Menurutnya, masalah ini disebabkan oleh kurangnya kebijakan yang efektif untuk melindungi industri dalam negeri dari serbuan produk asing. Namun, hingga saat ini, belum ada langkah konkret dari pemerintah untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Dampak Sosial dan Masa Depan Industri Manufaktur
Gelombang PHK di industri manufaktur tidak hanya berdampak pada perekonomian, tetapi juga menimbulkan masalah sosial yang serius. Ribuan pekerja yang kehilangan pekerjaan menghadapi ketidakpastian ekonomi dan sosial, dengan banyak dari mereka terpaksa mencari pekerjaan di sektor informal yang tidak menjamin kesejahteraan yang layak.
Selain itu, krisis ini juga mengancam stabilitas sosial, terutama di daerah-daerah yang bergantung pada industri manufaktur sebagai sumber utama lapangan kerja. Tanpa adanya intervensi yang efektif dari pemerintah, krisis ini berpotensi memicu peningkatan angka kemiskinan dan ketimpangan sosial yang lebih besar.
Masa depan industri manufaktur Indonesia kini berada di persimpangan. Untuk keluar dari krisis ini, diperlukan kebijakan yang tidak hanya fokus pada efisiensi dan pengurangan biaya, tetapi juga pada peningkatan daya saing produk dalam negeri, perlindungan terhadap pekerja, dan diversifikasi pasar ekspor. Tanpa langkah-langkah yang strategis dan terkoordinasi, gelombang PHK ini mungkin hanya menjadi awal dari krisis yang lebih dalam, yang akan terus mengancam kesejahteraan pekerja dan stabilitas ekonomi nasional. *Mukroni
Foto Tempo
- Berita Terkait :
Ketar-Ketir Nasabah Jiwasraya: Pergolakan Menjelang Likuidasi dan Harapan untuk Solusi
Mengapa Angka Kemiskinan Era Jokowi Bisa Menyesatkan? Standar Lama BPS Jadi Sorotan
Menghindari Krisis Ekonomi: Tantangan Awal bagi Pemerintahan Prabowo Subianto
Bayang-Bayang Kegagalan Food Estate Prabowo: Tantangan dan Harapan Menuju Ketahanan Pangan Nasional
Kenaikan Harga Minyakita Dipicu Hambatan Distribusi dan Minimnya Sosialisasi Kebijakan Baru
UU Cipta Kerja: Antara Harapan dan Kenyataan Empat Tahun Kemudian
Gaya Hidup Mewah di Tengah Ketimpangan: Kue Rp 400.000 dan Jet Pribadi di Indonesia
Kamala Harris Kehilangan Dukungan Penting di Konvensi Demokrat Karena Isu Palestina
Konvensi Nasional Partai Demokrat 2024: Penetapan Kandidat, Pesan Kebebasan, dan Insiden Tak Terduga
Elon Musk Dipertimbangkan Masuk Kabinet Trump: Menguak Dinamika Politik dan Bisnis di AS
Pidato yang Tidak Pernah Ingin Disampaikan oleh Biden
Lampu Kuning dari Kelas Menengah RI: Menurunnya Daya Beli dan Dampak Sosial Ekonomi
Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Daya Beli yang Melemah
Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Utang
Lonjakan Harga Kopi Robusta: Peluang dan Tantangan bagi Perkopian Indonesia
Mengintip Tingginya Biaya Hidup di Timor Leste: Air Mineral Rp 10 Ribu, Fenomena dan Faktor Penyebab
Sejarah Warteg: Evolusi dari Logistik Perang hingga Bisnis Kuliner Populer
Cerita Munculnya Warteg, Berawal untuk Logistik Prajurit Sultan Agung
Wajib Sertifikasi Halal UMKM Diundur ke 2026: Kebijakan dan Alasan Pemerintah
Teriak Pedagang Warteg Saat Harga Beras Dekati Rp 700 Ribu per Karung
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat
Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit
Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik
Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi