Jakarta, Kowantaranews.com -Deflasi yang terjadi secara beruntun di Indonesia sejak Mei 2024 telah memicu kekhawatiran di kalangan ekonom. Selama empat bulan berturut-turut, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penurunan indeks harga konsumen (IHK), dengan deflasi terbaru sebesar 0,03 persen pada Agustus 2024. Meskipun deflasi bisa jadi menguntungkan bagi konsumen dengan turunnya harga-harga barang dan jasa, fenomena ini sering kali menjadi tanda yang lebih mengkhawatirkan, yakni melemahnya daya beli masyarakat.
Deflasi yang terjadi pada Mei sebesar 0,03 persen; Juni 0,08 persen; Juli 0,18 persen; dan kembali menjadi 0,03 persen pada Agustus menunjukkan pola yang jarang terjadi di Indonesia, terutama di masa pasca-pandemi yang seharusnya menjadi periode pemulihan ekonomi. Banyak pihak mengaitkan deflasi ini dengan peningkatan pasokan barang dan jasa, yang menyebabkan harga turun. Namun, sejumlah ekonom berpendapat bahwa penurunan permintaan dari masyarakat, yang disebabkan oleh melemahnya daya beli, adalah penyebab utama.
Deflasi dan Krisis Daya Beli
Sejarah mencatat bahwa deflasi sering kali terjadi bersamaan dengan krisis. Setelah krisis finansial Asia pada 1997, Indonesia mengalami deflasi selama tujuh bulan berturut-turut dari Maret hingga September 1999. Demikian pula pada akhir 2008 hingga awal 2009, ketika krisis finansial global menghantam ekonomi dunia, Indonesia mengalami deflasi yang disebabkan oleh penurunan harga minyak dunia dan permintaan domestik yang melemah.
Namun, situasi deflasi pada 2024 ini berbeda. Kondisi ekonomi global tidak menunjukkan gejala krisis seperti pada tahun-tahun sebelumnya, tetapi Indonesia mengalami penurunan harga secara terus-menerus. Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini, dalam konferensi pers pada awal September 2024, menegaskan bahwa deflasi ini disebabkan oleh peningkatan pasokan barang dan jasa, khususnya dari sektor makanan, minuman, dan tembakau. Musim panen raya dan penurunan harga produk hortikultura dan peternakan menjadi faktor utama turunnya harga-harga di pasar.
Meski demikian, beberapa ekonom berpendapat bahwa fenomena deflasi ini tidak sepenuhnya dapat dijelaskan dari sisi suplai. Mereka melihat adanya penurunan permintaan masyarakat yang lebih signifikan. Direktur Eksekutif Segara Institute, Piter Abdullah, menilai bahwa penurunan daya beli masyarakat menjadi faktor dominan yang menyebabkan deflasi. “Penurunan permintaan terjadi terutama karena melemahnya daya beli masyarakat,” ujar Piter.
PHK dan Penyusutan Kelas Menengah
Indikator lain yang menunjukkan pelemahan daya beli masyarakat adalah tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) selama tahun 2024. Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan, sebanyak 46.240 pekerja kehilangan pekerjaan pada periode Januari hingga Agustus 2024, mendekati jumlah PHK pada 2023 yang mencapai 64.855 orang. Dampak dari tingginya angka PHK ini sangat terasa pada penurunan konsumsi rumah tangga, terutama dari masyarakat kelas menengah yang biasanya menjadi tulang punggung perekonomian.
BPS mencatat bahwa jumlah kelas menengah menyusut hingga 47,85 persen, hanya tersisa sekitar 57,33 juta orang. Padahal, kelompok ini adalah salah satu kontributor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan berkurangnya pendapatan dan daya beli mereka, konsumsi pun menurun, yang pada akhirnya berkontribusi pada pelemahan ekonomi secara keseluruhan.
Piter Abdullah menambahkan bahwa jika tren ini tidak segera diatasi, daya beli yang terus melemah akan memperlambat laju konsumsi rumah tangga dan investasi, dua pilar utama pertumbuhan ekonomi. Jika daya beli terus merosot, ada risiko bahwa ekonomi Indonesia bisa mengalami resesi.
Baca juga : Gelombang PHK di Industri Manufaktur: Krisis Ekonomi yang Mengancam Kesejahteraan Pekerja
Baca juga : Ketar-Ketir Nasabah Jiwasraya: Pergolakan Menjelang Likuidasi dan Harapan untuk Solusi
Baca juga : Mengapa Angka Kemiskinan Era Jokowi Bisa Menyesatkan? Standar Lama BPS Jadi Sorotan
Kebijakan untuk Menanggulangi Deflasi dan Daya Beli yang Melemah
Menyikapi situasi ini, Piter menyarankan agar pemerintah segera mengambil kebijakan yang bersifat ekspansif untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Salah satu langkah yang bisa diambil adalah dengan menurunkan pajak dan meningkatkan subsidi. Kebijakan fiskal yang lebih longgar akan membantu masyarakat memiliki lebih banyak uang untuk dibelanjakan, sehingga permintaan dalam negeri bisa pulih.
Senada dengan Piter, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, juga percaya bahwa deflasi kali ini lebih banyak disebabkan oleh penurunan permintaan, bukan sekadar peningkatan suplai barang. Menurutnya, penyusutan kelas menengah dan meningkatnya jumlah pekerja informal menjadi tanda yang jelas bahwa daya beli masyarakat sedang berada di titik nadir.
“Proporsi pekerja full-time menurun, sementara jumlah pekerja part-time dan setengah menganggur meningkat. Ini mengindikasikan bahwa masyarakat kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka,” ujar Faisal. Ia juga menunjukkan bahwa tingkat upah riil hanya tumbuh sebesar 0,7 persen pada semester pertama 2024, jauh di bawah pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5 persen.
Selain itu, Faisal menilai bahwa pemerintah perlu berhati-hati dalam mengambil kebijakan fiskal yang justru dapat memperburuk situasi. Ia mencontohkan rencana penyesuaian tarif cukai plastik dan minuman berpemanis, serta kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) yang perlu ditunda. Menurutnya, kebijakan semacam itu akan menambah beban masyarakat yang daya belinya sudah lemah.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, juga mengingatkan bahwa penurunan daya beli masyarakat dapat berdampak buruk pada dunia usaha. Jika masyarakat terus menahan konsumsi, maka kinerja penjualan pelaku usaha akan melemah. Hal ini dapat berujung pada penurunan produksi dan akhirnya mengakibatkan lebih banyak PHK. Josua mengimbau agar pemerintah berfokus pada kebijakan yang dapat menjaga biaya hidup masyarakat tetap stabil, terutama di tengah pendapatan yang stagnan.
Upaya Pemerintah dalam Menjaga Daya Beli
Meskipun berbagai pihak telah memperingatkan adanya pelemahan daya beli, pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyatakan bahwa tren deflasi ini tidak mencerminkan penurunan permintaan masyarakat. Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian, Ferry Irawan, berpendapat bahwa inflasi inti yang lebih mencerminkan daya beli masyarakat masih tumbuh sebesar 0,20 persen secara bulanan dan 2,02 persen secara tahunan. Menurutnya, inflasi komponen inti yang masih positif menunjukkan bahwa daya beli masyarakat tidak benar-benar menurun.
Namun, Ferry juga mengakui bahwa pemerintah akan terus memantau perkembangan indikator ekonomi dan siap mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga daya beli masyarakat. Beberapa kebijakan yang sudah disiapkan termasuk penyaluran program perlindungan sosial, peningkatan akses permodalan, serta program stimulus sektor otomotif dan perumahan.
Selain itu, pemerintah juga akan melakukan akselerasi belanja negara melalui pelonggaran automatic adjustment pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Langkah ini diharapkan dapat mempercepat pertumbuhan sektor-sektor strategis dan mendorong penciptaan lapangan kerja baru.
Tren deflasi yang terjadi selama empat bulan berturut-turut pada 2024 ini memang perlu diwaspadai. Meskipun deflasi dapat dilihat sebagai tanda penurunan harga yang menguntungkan konsumen, dalam jangka panjang, jika disertai dengan penurunan daya beli, fenomena ini bisa menjadi ancaman bagi perekonomian nasional. Pemerintah perlu segera mengambil langkah yang tepat, baik dalam bentuk kebijakan fiskal maupun moneter, untuk memutus rantai pelemahan daya beli dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas. Hanya dengan langkah yang tepat dan cepat, dampak negatif dari deflasi dan krisis daya beli ini dapat diminimalisir. *Mukroni
Foto Kowantaranews
- Berita Terkait :
Gelombang PHK di Industri Manufaktur: Krisis Ekonomi yang Mengancam Kesejahteraan Pekerja
Ketar-Ketir Nasabah Jiwasraya: Pergolakan Menjelang Likuidasi dan Harapan untuk Solusi
Mengapa Angka Kemiskinan Era Jokowi Bisa Menyesatkan? Standar Lama BPS Jadi Sorotan
Menghindari Krisis Ekonomi: Tantangan Awal bagi Pemerintahan Prabowo Subianto
Bayang-Bayang Kegagalan Food Estate Prabowo: Tantangan dan Harapan Menuju Ketahanan Pangan Nasional
Kenaikan Harga Minyakita Dipicu Hambatan Distribusi dan Minimnya Sosialisasi Kebijakan Baru
UU Cipta Kerja: Antara Harapan dan Kenyataan Empat Tahun Kemudian
Gaya Hidup Mewah di Tengah Ketimpangan: Kue Rp 400.000 dan Jet Pribadi di Indonesia
Kamala Harris Kehilangan Dukungan Penting di Konvensi Demokrat Karena Isu Palestina
Konvensi Nasional Partai Demokrat 2024: Penetapan Kandidat, Pesan Kebebasan, dan Insiden Tak Terduga
Elon Musk Dipertimbangkan Masuk Kabinet Trump: Menguak Dinamika Politik dan Bisnis di AS
Pidato yang Tidak Pernah Ingin Disampaikan oleh Biden
Lampu Kuning dari Kelas Menengah RI: Menurunnya Daya Beli dan Dampak Sosial Ekonomi
Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Daya Beli yang Melemah
Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Utang
Lonjakan Harga Kopi Robusta: Peluang dan Tantangan bagi Perkopian Indonesia
Mengintip Tingginya Biaya Hidup di Timor Leste: Air Mineral Rp 10 Ribu, Fenomena dan Faktor Penyebab
Sejarah Warteg: Evolusi dari Logistik Perang hingga Bisnis Kuliner Populer
Cerita Munculnya Warteg, Berawal untuk Logistik Prajurit Sultan Agung
Wajib Sertifikasi Halal UMKM Diundur ke 2026: Kebijakan dan Alasan Pemerintah
Teriak Pedagang Warteg Saat Harga Beras Dekati Rp 700 Ribu per Karung
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat
Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit
Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik
Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi