Jakarta, Kowantaranews.com — Saat Wawan, seorang pengemudi taksi berpenghasilan sekitar Rp 6 juta hingga Rp 7 juta per bulan, bercerita tentang kesulitan hidupnya, ia tak sedang bicara soal kemewahan. Ia bicara tentang perjuangan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dengan dua anak yang sedang bersekolah, satu di SMA dan satu lagi di SD, ia kerap kali merasa bahwa uang yang dibawanya pulang harus selalu “dicukup-cukupin”. Tabungan sulit, dan setiap pengeluaran harus direncanakan dengan hati-hati.
Wawan adalah potret dari kelas menengah Indonesia yang kian terjepit di antara keinginan untuk maju dan kenyataan ekonomi yang semakin tidak berpihak. Mereka, yang menurut definisi Bank Dunia memiliki pengeluaran antara 3,5 hingga 17 kali lipat dari garis kemiskinan, terpaksa bertahan dalam situasi yang semakin menekan daya beli. Kategori kelas menengah ini mencakup masyarakat dengan pengeluaran bulanan sekitar Rp 1,9 juta hingga Rp 9,3 juta.
Fenomena ini tidak hanya dialami oleh Wawan. Data terbaru dari berbagai lembaga ekonomi mengonfirmasi bahwa kelas menengah Indonesia mengalami tekanan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Sektor ini, yang seharusnya menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi, kini justru menghadapi ancaman “turun kelas” menjadi kelompok rentan atau aspiring middle class (AMC), dengan pengeluaran di kisaran Rp 825.000 hingga Rp 1,9 juta per bulan.
Mengapa Kelas Menengah Terhimpit?
Salah satu penyebab utama melemahnya daya beli kelas menengah adalah tingginya porsi pengeluaran untuk kebutuhan pokok, terutama makanan. Mandiri Spending Index (MSI) menunjukkan bahwa porsi pengeluaran untuk groceries meningkat dari 13,9 persen menjadi 27,4 persen dari total pengeluaran bulanan. Fenomena ini selaras dengan Hukum Engel, yang menyatakan bahwa semakin rendah pendapatan seseorang, semakin besar porsi konsumsi makanan dalam total pengeluarannya.
Ketika pendapatan menurun atau tidak tumbuh signifikan, masyarakat tetap harus memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan. Akibatnya, pengeluaran untuk kebutuhan lainnya, seperti pendidikan, tabungan, atau rekreasi, terpaksa dipangkas. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun secara statistik masih berada di kelas menengah, banyak dari mereka hidup dengan ketidakpastian yang semakin besar.
Kondisi ini diperburuk oleh data dari Office of Chief Economist Bank Mandiri, yang menunjukkan bahwa banyak masyarakat kelas menengah bawah kini terpaksa “mantab” atau makan tabungan. Mereka yang biasanya bisa menabung, kini harus mengandalkan simpanan untuk memenuhi kebutuhan harian. Penurunan penjualan mobil baru dan peningkatan penjualan sepeda motor juga mencerminkan kondisi ini. Orang tidak lagi membeli mobil baru; sebaliknya, mereka memilih mobil bekas atau bahkan beralih ke sepeda motor yang lebih murah dan hemat.
Dalam laporan harian Kompas pada Februari 2024, terungkap bahwa fenomena ini tidak baru muncul setelah pandemi COVID-19, tetapi sudah mulai terlihat sejak 2019. Sebelum pandemi, kelas menengah Indonesia sudah mulai merasakan tekanan ekonomi yang memaksa mereka untuk menyesuaikan gaya hidup. Pandemi hanya mempercepat proses penurunan ini.
Tantangan Perlindungan Sosial
Sistem perlindungan sosial yang ada di Indonesia saat ini masih belum cukup untuk melindungi kelas menengah dari risiko kejatuhan ekonomi. Instrumen yang ada, seperti bantuan sosial, lebih banyak menyasar kelompok miskin, sementara kelas menengah sering kali dianggap “cukup mampu” sehingga luput dari bantuan. Padahal, dengan guncangan ekonomi seperti inflasi yang tinggi, kenaikan harga bahan pokok, dan terbatasnya akses lapangan kerja yang layak, kelas menengah juga sangat rentan jatuh ke dalam kemiskinan.
Data menunjukkan bahwa pada tahun 2003, hanya sekitar 5 persen penduduk Indonesia yang masuk dalam kategori kelas menengah. Pada tahun 2018, persentase ini melonjak menjadi 23 persen, tetapi pada 2023, kembali turun menjadi 17 persen. Sementara itu, kelompok AMC meningkat dari 42 persen menjadi 49 persen dalam periode yang sama. Ini berarti, semakin banyak orang yang “turun kelas” dari kelas menengah menjadi AMC, dan AMC sendiri juga semakin rentan jatuh ke dalam kemiskinan.
Dalam tulisannya pada Desember 2023, seorang ekonom mengingatkan soal “Chilean Paradox” yang merujuk pada kelas menengah yang tumbuh pesat tetapi diikuti dengan ketidakpuasan dan ketidakstabilan sosial. Di Indonesia, situasi ini mulai tampak dengan semakin meningkatnya ketidakpastian ekonomi di kalangan kelas menengah.
Menciptakan Lapangan Kerja dan “Middle Class Job”
Salah satu solusi yang bisa ditawarkan untuk mengatasi permasalahan ini adalah menciptakan lebih banyak lapangan kerja di sektor formal, terutama di bidang industri manufaktur dan pariwisata. Studi yang dilakukan oleh ekonom Maria Monica Wihardja (ISEAS) dan Wendy Cunningham (2021) menunjukkan bahwa pekerjaan di sektor formal memiliki kontribusi besar dalam menciptakan “middle class job”. Sektor manufaktur, misalnya, memberikan kontribusi sebesar 27 persen terhadap peningkatan pekerjaan kelas menengah.
Namun, ada masalah yang menghambat perkembangan ini, yaitu ekonomi biaya tinggi di Indonesia. Korupsi, birokrasi yang lambat, serta proses perizinan yang mahal menjadi kendala besar bagi investasi di sektor manufaktur. Akibatnya, banyak investor lebih memilih berinvestasi di sektor sumber daya alam (SDA), yang meskipun menguntungkan, bersifat padat modal dan tidak menciptakan banyak lapangan kerja.
Untuk memperbaiki kondisi ini, pemerintah perlu fokus pada kebijakan yang mendorong investasi di sektor manufaktur dan pariwisata yang mampu menciptakan lapangan kerja yang layak bagi kelas menengah. Selain itu, penting juga untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja agar dapat bersaing di era digital dan teknologi yang semakin berkembang.
Baca juga : Strategi Ekonomi untuk Mencapai Pertumbuhan 8 Persen: Tantangan dan Solusi
Baca juga : Tren Deflasi Berkelanjutan: Tanda Melemahnya Daya Beli Masyarakat
Baca juga : Gelombang PHK di Industri Manufaktur: Krisis Ekonomi yang Mengancam Kesejahteraan Pekerja
Peningkatan Daya Saing dan Akses Pasar Global
Selain menciptakan lapangan kerja, peningkatan daya saing melalui ekspor juga menjadi kunci untuk menjaga pertumbuhan ekonomi. Saat ini, daya saing Indonesia di pasar global masih kalah dibandingkan negara-negara seperti Vietnam, yang berhasil menarik lebih banyak investasi asing di sektor ekspor. Data Bank Dunia menunjukkan bahwa rasio Penanaman Modal Asing (PMA) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Vietnam jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Investor yang ingin mengakses pasar Amerika Serikat, misalnya, lebih memilih Vietnam karena kebijakan pajak yang lebih menguntungkan.
Indonesia harus bisa mengambil manfaat dari relokasi basis produksi global yang terjadi akibat ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China. Jika Indonesia mampu memperbaiki iklim investasinya dan menarik lebih banyak PMA di sektor ekspor, maka pertumbuhan ekonomi dapat dipacu tanpa mengorbankan stabilitas mata uang.
Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan dukungan yang lebih luas kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) untuk masuk ke rantai nilai global. Saat ini, kebijakan yang ada lebih bersifat proteksionis ketimbang mendorong produktivitas dan akses pasar. Dengan memberikan akses teknologi, pelatihan, serta pendampingan, UMKM diharapkan mampu menciptakan lapangan kerja yang lebih berkualitas dan berkontribusi pada perekonomian.
Keterampilan untuk Ekonomi Baru
Ke depan, tantangan terbesar yang dihadapi oleh kelas menengah adalah disrupsi teknologi. Profesi yang saat ini ada, seperti perawat, dokter, atau akuntan, akan tetap diperlukan, tetapi dengan tuntutan keterampilan baru yang terkait dengan teknologi. Oleh karena itu, peningkatan keterampilan dan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi sangat penting.
Sistem pendidikan dan pelatihan yang ada saat ini belum mampu menjawab kebutuhan tersebut. Banyak lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), misalnya, yang kesulitan mendapatkan pekerjaan karena keterampilan yang dimiliki tidak sesuai dengan kebutuhan industri. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah perlu memberikan insentif bagi perusahaan yang melakukan pelatihan kerja dan magang untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja.
Kelas menengah Indonesia saat ini berada dalam situasi yang tidak mudah. Di satu sisi, mereka berjuang untuk mempertahankan standar hidup di tengah tekanan ekonomi yang semakin berat. Di sisi lain, mereka harus menghadapi ketidakpastian masa depan, terutama dalam hal pekerjaan dan pendapatan. Perlindungan sosial yang lebih baik, lapangan kerja berkualitas, serta peningkatan keterampilan SDM menjadi kunci untuk menjaga agar kelas menengah tidak semakin tergerus dan jatuh ke dalam kemiskinan. *Mukroni
Foto Kowantaranews
- Berita Terkait :
Strategi Ekonomi untuk Mencapai Pertumbuhan 8 Persen: Tantangan dan Solusi
Tren Deflasi Berkelanjutan: Tanda Melemahnya Daya Beli Masyarakat
Gelombang PHK di Industri Manufaktur: Krisis Ekonomi yang Mengancam Kesejahteraan Pekerja
Ketar-Ketir Nasabah Jiwasraya: Pergolakan Menjelang Likuidasi dan Harapan untuk Solusi
Mengapa Angka Kemiskinan Era Jokowi Bisa Menyesatkan? Standar Lama BPS Jadi Sorotan
Menghindari Krisis Ekonomi: Tantangan Awal bagi Pemerintahan Prabowo Subianto
Bayang-Bayang Kegagalan Food Estate Prabowo: Tantangan dan Harapan Menuju Ketahanan Pangan Nasional
Kenaikan Harga Minyakita Dipicu Hambatan Distribusi dan Minimnya Sosialisasi Kebijakan Baru
UU Cipta Kerja: Antara Harapan dan Kenyataan Empat Tahun Kemudian
Gaya Hidup Mewah di Tengah Ketimpangan: Kue Rp 400.000 dan Jet Pribadi di Indonesia
Kamala Harris Kehilangan Dukungan Penting di Konvensi Demokrat Karena Isu Palestina
Konvensi Nasional Partai Demokrat 2024: Penetapan Kandidat, Pesan Kebebasan, dan Insiden Tak Terduga
Elon Musk Dipertimbangkan Masuk Kabinet Trump: Menguak Dinamika Politik dan Bisnis di AS
Pidato yang Tidak Pernah Ingin Disampaikan oleh Biden
Lampu Kuning dari Kelas Menengah RI: Menurunnya Daya Beli dan Dampak Sosial Ekonomi
Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Daya Beli yang Melemah
Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Utang
Lonjakan Harga Kopi Robusta: Peluang dan Tantangan bagi Perkopian Indonesia
Mengintip Tingginya Biaya Hidup di Timor Leste: Air Mineral Rp 10 Ribu, Fenomena dan Faktor Penyebab
Sejarah Warteg: Evolusi dari Logistik Perang hingga Bisnis Kuliner Populer
Cerita Munculnya Warteg, Berawal untuk Logistik Prajurit Sultan Agung
Wajib Sertifikasi Halal UMKM Diundur ke 2026: Kebijakan dan Alasan Pemerintah
Teriak Pedagang Warteg Saat Harga Beras Dekati Rp 700 Ribu per Karung
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat
Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit
Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik
Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi