Jakarta, Kowantaranews.com -Di era modern yang penuh dengan kemajuan teknologi dan kemudahan akses informasi, ruang publik seharusnya menjadi tempat di mana gagasan-gagasan besar dan penting dapat dibahas secara terbuka, rasional, dan inklusif. Namun, realitas yang kita saksikan hari ini justru jauh dari harapan tersebut. Ruang publik, baik itu di warung kopi (warkop), media sosial, maupun di layar kaca televisi, semakin terkontaminasi oleh disinformasi, hoaks, dan kebohongan yang sederhana namun menarik. Situasi ini membentuk sebuah “ledakan debat kosong”, di mana diskusi kehilangan arah dan esensinya, terkubur di tengah badai kebohongan yang menguasai percakapan publik.
Ketika kita berbicara tentang warkop, yang dulu dikenal sebagai tempat interaksi sosial yang sederhana, kini telah bertransformasi menjadi pusat perdebatan politik informal. Orang-orang yang berkumpul di warkop merasa bebas untuk menyuarakan opini mereka tentang segala hal, mulai dari politik hingga isu sosial lainnya. Tetapi sayangnya, warkop juga mencerminkan masalah yang lebih luas dalam ruang publik kita. Ketika kebebasan berbicara tidak disertai dengan kedisiplinan berpikir dan kejelasan informasi, perdebatan yang terjadi di tempat-tempat semacam itu sering kali tidak lebih dari sekadar adu mulut tanpa substansi.
Bayangkan suasana di sebuah warkop di sudut kota, di mana para pengunjung, sambil menyeruput kopi, berbicara dengan semangat tinggi mengenai isu-isu terkini yang mereka dengar dari media sosial atau berita televisi. Namun, alih-alih menjadi ruang diskusi yang terbuka dan mendalam, percakapan sering kali dipenuhi dengan narasi yang terdistorsi, opini yang tidak berdasar, dan bahkan kebohongan yang menyebar dengan cepat. Hoaks, yang dengan mudahnya ditemukan di berbagai platform media sosial, menjadi bahan bakar bagi perdebatan ini, memperkuat pandangan-pandangan yang bias dan tidak rasional.
Di sini, kita melihat kegagalan esensial dari apa yang seharusnya menjadi fungsi utama ruang publik, yakni menjadi arena bagi diskusi yang rasional dan terbuka. Jürgen Habermas, seorang filsuf terkenal, dalam bukunya The Structural Transformation of the Public Sphere, membayangkan ruang publik sebagai tempat di mana individu-individu dapat berkumpul untuk mendiskusikan isu-isu penting dengan dasar nalar dan fakta. Dalam pandangan Habermas, diskusi yang sehat dan terbuka adalah fondasi dari demokrasi deliberatif yang memungkinkan warga negara untuk terlibat secara langsung dalam proses pembentukan kebijakan melalui argumen yang berdasarkan fakta dan bukti.
Baca juga : Konflik Tak Berujung PKB dan Pengurus NU: Perebutan Pengaruh dan Legitimasi
Baca juga : Kabinet Zaken Prabowo: Membangun Pemerintahan Berbasis Keahlian di Era Modern
Baca juga : Penambahan Kementerian untuk Efektivitas Pemerintahan: Langkah Strategis Kabinet Prabowo-Gibran
Namun, dalam praktiknya, apa yang terjadi di warkop dan ruang publik modern lainnya justru sering kali berlawanan dengan harapan tersebut. Ruang diskusi yang seharusnya rasional malah didominasi oleh emosi yang meledak-ledak, argumen personal yang tidak berdasar, serta disinformasi yang memperburuk kualitas perdebatan. Seiring dengan berkembangnya teknologi, ruang publik ini semakin tereduksi menjadi tempat di mana narasi yang viral—sering kali tidak benar—mendominasi panggung, menggantikan fakta dan argumen yang solid.
Kondisi ini tidak hanya terjadi di warkop-warkop di sudut kota, tetapi juga di layar kaca televisi yang seharusnya menjadi salah satu contoh ideal dari ruang publik modern. Namun, alih-alih menjadi forum diskusi yang terbuka dan mendalam, perdebatan politik di televisi justru sering kali berubah menjadi ajang pertunjukan hiburan yang dangkal. Para peserta debat lebih sibuk menyerang lawan secara personal atau memperkuat citra diri mereka daripada membahas substansi dari isu-isu penting yang sedang diperbincangkan.
Contoh nyata dari fenomena ini dapat kita lihat dalam perdebatan panas yang viral antara Rocky Gerung dan Silfester pada 3 September 2024. Perdebatan yang disiarkan di televisi ini awalnya diharapkan menjadi forum untuk membedah isu-isu sosial dan politik secara mendalam. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Diskusi berubah menjadi ajang adu ego, di mana serangan verbal dan emosi menguasai panggung, menggantikan argumen yang berdasarkan fakta. Di sini, kita melihat bagaimana kegagalan ruang publik untuk menjalankan fungsinya, seperti yang dibayangkan oleh Habermas, yakni sebagai arena di mana individu dapat terlibat dalam dialog yang rasional dan terbuka tanpa dominasi kekuasaan atau emosi yang berlebihan.
Kegagalan diskusi publik semacam ini tidak hanya memperburuk kualitas perdebatan itu sendiri, tetapi juga berdampak lebih luas pada kepercayaan publik terhadap proses politik. Ketika ruang publik yang seharusnya menjadi tempat mencari solusi bersama justru berubah menjadi ajang adu kekuatan narasi yang emosional dan penuh disinformasi, polarisasi di masyarakat semakin menguat. Diskusi yang seharusnya memperkaya wawasan malah memperdalam jurang perbedaan di antara berbagai kelompok, memperburuk fragmentasi sosial, dan menggerus kepercayaan masyarakat terhadap proses politik dan demokrasi.
Selain televisi, media sosial juga memainkan peran yang semakin signifikan dalam menggeser dinamika ruang publik. Platform seperti Twitter, Facebook, dan Instagram telah menjadi ajang diskusi di era digital, menggantikan peran-peran tradisional seperti warkop dan ruang-ruang pertemuan fisik lainnya. Namun, kebebasan berbicara yang ditawarkan oleh media sosial ini datang dengan konsekuensi yang serius: disinformasi, hoaks, dan narasi viral yang salah lebih sering mendominasi daripada diskusi yang rasional dan berbobot.
Salah satu tantangan terbesar dalam era media sosial ini adalah algoritma yang mengendalikan platform-platform tersebut. Algoritma ini dirancang untuk memprioritaskan konten yang menghasilkan keterlibatan (engagement) paling tinggi, sering kali dengan mengorbankan kebenaran. Akibatnya, konten yang penuh kebohongan atau distorsi fakta menjadi lebih mungkin untuk muncul di beranda kita daripada konten yang didasarkan pada fakta. Kondisi ini sejalan dengan analisis Tom Phillips dalam bukunya Truth: A Brief History of Total Bullsh*t (2020), di mana ia menyoroti bagaimana manusia sering kali lebih tertarik pada kebohongan yang sederhana dan menarik daripada kebenaran yang kompleks dan memerlukan pemikiran mendalam.
Dalam konteks ini, ruang publik digital tidak lagi menjadi tempat untuk mencari kebenaran melalui dialog yang sehat dan rasional. Alih-alih, narasi yang paling viral, meskipun salah, sering kali dianggap sebagai kebenaran, sementara diskusi yang benar-benar berdasarkan fakta dan argumen rasional tersisih di pinggir arena. Ini menjadi tantangan besar bagi masyarakat yang mengandalkan ruang publik sebagai arena untuk membentuk pemahaman bersama dan mencapai konsensus dalam isu-isu penting.
Menghadapi situasi ini, penting bagi kita untuk merefleksikan kembali peran kita sebagai individu dalam ruang publik, baik itu di warkop, media sosial, maupun layar kaca televisi. Kita harus lebih kritis dalam menyaring informasi yang kita terima, memastikan bahwa diskusi yang kita ikuti didasarkan pada fakta yang dapat diverifikasi, bukan pada emosi atau disinformasi. Literasi media menjadi kunci dalam membangun kembali ruang publik yang sehat, di mana setiap orang mampu memilah antara fakta dan opini serta berdiskusi dengan dasar argumen yang solid.
Selain itu, media juga harus memainkan peran yang lebih bertanggung jawab dalam menjaga kualitas ruang publik. Ketika media lebih mengutamakan sensasi daripada substansi, mereka turut andil dalam memperburuk kualitas diskusi publik. Oleh karena itu, media harus berkomitmen untuk menyajikan informasi yang berdasarkan fakta dan menghindari penyebaran narasi yang bias atau menyesatkan.
Dalam dunia yang semakin kompleks dan penuh dengan disinformasi, menjaga ruang publik tetap sehat dan rasional adalah tantangan besar, tetapi bukan hal yang mustahil. Dengan meningkatkan literasi media, berkomitmen pada diskusi yang rasional, serta menuntut tanggung jawab dari media dalam menyajikan informasi yang benar, kita dapat mulai membangun kembali ruang publik yang inklusif dan berorientasi pada fakta. Hanya dengan cara inilah kita bisa berharap untuk mengurangi polarisasi yang semakin tajam dan memperkuat kualitas demokrasi kita. *Mukroni
Foto Kowantaranews
- Berita Terkait :
Konflik Tak Berujung PKB dan Pengurus NU: Perebutan Pengaruh dan Legitimasi
Kabinet Zaken Prabowo: Membangun Pemerintahan Berbasis Keahlian di Era Modern
Penambahan Kementerian untuk Efektivitas Pemerintahan: Langkah Strategis Kabinet Prabowo-Gibran
Mengembalikan Politik ke Publik: Evaluasi Keputusan MK dan Usulan Reformasi Ambang Batas
Pilkada 2024: Ketika Keluarga Menguasai Panggung Politik
Strategi Politik Jokowi di Akhir Jabatan: Desakan Pembahasan RUU Perampasan Aset dan Tuduhan Gimik
Calon Tunggal Menjamur: Tantangan Baru Demokrasi di Pilkada 2024
Kesepakatan DPR dan KPU pada PKPU Pencalonan: Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi
Pilkada 2024: KPU Umumkan Jadwal Pendaftaran dan Revisi Aturan Pencalonan Sesuai Putusan MK
Presiden Jokowi Ikuti Putusan MK, Tolak Perppu Pilkada Setelah Revisi UU Batal
Pilkada 2024 Akan Mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi: Penegasan Komisi II DPR
Keputusan MK Soal Pilkada 2024: Jalan Terbuka bagi Partai Kecil dan Kandidat Alternatif
Megawati Soekarnoputri: Perpanjangan Masa Jabatan Presiden Langgar Konstitusi
PDI-P Unggul dalam Pemilu Legislatif 2024, Delapan Partai Politik Duduki Kursi DPR
Anies Baswedan Resmi Diusung NasDem untuk Pilgub DKI Jakarta 2024
Pilpres 2024: Lima Sorotan Utama dari Sidang Perdana Gugatan di MK
Perjalanan Indonesia dari Federalisme ke Negara Kesatuan: Tantangan dan Perkembangan Pasca-RIS
Gibran sebagai Cawapres: DKPP Ambil Tindakan Serius Terhadap KPU dan Hasyim Asyari
Kowantara Bersatu untuk Mendukung AMIN, Anies dan Muhaimin: Merajut Kekuatan Bersama
Presiden Jokowi Ajak Warga Singapura Tinggal di IKN, Menterinya Melarang Warteg di IKN
Kowantara Bersatu untuk Mendukung AMIN, Anies dan Muhaimin: Merajut Kekuatan Bersama
HIKAPINDO Perjuangkan Kader Penyuluh Indonesia di DPR RI
Apa Isi Risalah At-Tauhid Sidoresmo Surabaya Untuk Anies Baswedan ?
DISKUSI PUBLIK CONTINUUM BIGDATA CENTER : “DINAMIKA POLITIK MENUJU 2024, APA KATA BIG DATA?”
Menggali Asa Warteg: Perspektif Terhadap Pembangunan Multi-Kota
Implikasi Kepresidenan Prabowo: Faisal Basri Ramal Utang RI Tembus Rp16.000 T
Pedagang Warteg dan Daya Beli Masyarakat Tertatih-tatih Di Akhir Jabatan Jokowi
Warteg Bakal Dilarang di IKN, Begini Saran Kowantara
Ayo Gibran Bersuara Jangan Diam !, Ada Menteri yang Sebelah Mata Terhadap Warteg
Presiden Jokowi Ajak Warga Singapura Tinggal di IKN, Menterinya Melarang Warteg di IKN
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat
Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit
Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik
Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi
Nongkrong Sambil Mencicip Surabi dengan Beragam Top