Jakarta, Kowantaranews.com -Dalam beberapa dekade terakhir, sistem peradilan di Indonesia telah diwarnai oleh berbagai tantangan yang kompleks. Mulai dari krisis kepercayaan publik hingga kasus korupsi yang menggerogoti institusi pengadilan, reformasi peradilan semakin dianggap sebagai kebutuhan mendesak. Beberapa perubahan yang diusulkan dan telah dilakukan mencakup kenaikan gaji dan tunjangan bagi hakim. Namun, seiring dengan perubahan kebijakan finansial ini, kasus-kasus korupsi yang melibatkan hakim dan aparat peradilan lainnya terus mencuat, memunculkan pertanyaan besar: apakah kesejahteraan hakim benar-benar berbanding lurus dengan peningkatan profesionalisme dan integritas?
Kenaikan gaji dan tunjangan para hakim, meskipun dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan, belum mampu menghentikan krisis integritas yang terjadi. Bahkan setelah pemerintah menaikkan gaji pokok hakim sebesar 30 persen dan tunjangan jabatan sebesar 40 persen, kasus-kasus suap yang melibatkan hakim kembali terungkap. Sehari setelah Ketua Mahkamah Agung baru, Sunarto, dilantik pada Oktober 2024, Kejaksaan Agung menangkap tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang divonis bebas dalam kasus pembunuhan Gregorius Ronald Tannur. Ketiga hakim tersebut diduga menerima suap atau gratifikasi untuk meringankan vonis dalam kasus yang menarik perhatian publik itu.
Krisis Profesionalisme di Tengah Kenaikan Gaji
Kenaikan gaji hakim telah menjadi salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan dan, idealnya, mendorong peningkatan profesionalisme. Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 2024 yang merevisi PP 94/2012, memberikan kenaikan signifikan dalam hak keuangan hakim. Selain kenaikan gaji pokok, tunjangan jabatan hakim juga mengalami lonjakan. Ini dilakukan tak lama setelah adanya aksi cuti bersama yang dilakukan oleh hakim di berbagai daerah, menuntut perbaikan kesejahteraan dan kondisi kerja.
Namun, meskipun gaji pokok hakim kini mencapai kisaran Rp 10 juta hingga Rp 14 juta per bulan, tergantung pada masa kerja, masalah yang lebih mendalam masih menghantui sistem peradilan Indonesia. Salah satu masalah mendasar yang disoroti oleh para pengamat adalah minimnya korelasi antara peningkatan gaji dan profesionalisme hakim. Beberapa pihak, termasuk Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), menilai bahwa kenaikan gaji tidak serta-merta menyelesaikan masalah integritas.
Menurut Jimly, reformasi peradilan tidak hanya bisa difokuskan pada kenaikan kesejahteraan semata. Ia menyarankan perubahan radikal dalam mekanisme pengangkatan hakim. Saat ini, kebanyakan hakim berasal dari jalur Pegawai Negeri Sipil (PNS) melalui rekrutmen calon hakim yang sifatnya birokratis. Jimly berpendapat bahwa hakim juga harus diambil dari kalangan non-PNS, seperti pengacara yang berpengalaman, demi memastikan adanya keragaman kompetensi dan profesionalisme di tubuh peradilan. Selain itu, ia mengusulkan adanya batasan usia bagi hakim, yakni 40 hingga 65 tahun, dengan usia maksimal untuk hakim agung di Mahkamah Agung 70 tahun.
Dalam pandangan Jimly, salah satu masalah terbesar adalah pembauran antara hakim dan PNS, yang sering kali tidak menghasilkan aparat peradilan yang kompeten dan berintegritas. “Kalau kita terus-terusan hanya mengangkat hakim dari PNS, sistemnya akan terus tertutup dan sulit berkembang. Hakim perlu diangkat dari kalangan yang lebih luas, bukan hanya PNS,” tegas Jimly.
Korupsi Hakim: Sejarah Kelam yang Berulang
Korupsi di kalangan hakim bukanlah fenomena baru di Indonesia. Bahkan sebelum kenaikan gaji yang signifikan pada 2012, korupsi di kalangan hakim sudah mengakar kuat. Sebagai bukti, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat berbagai penangkapan hakim karena kasus suap sejak lebih dari satu dekade lalu.
Salah satu kasus terkenal adalah penangkapan Wakil Ketua PN Bandung Setyabudi Tejocahyono pada 2013, hanya setahun setelah gaji hakim dinaikkan secara signifikan oleh pemerintah melalui PP 94/2012. Setyabudi diduga menerima suap sebesar Rp 150 juta untuk mengatur putusan perkara yang tengah ditanganinya. Kasus-kasus serupa terus berulang, dengan nama-nama hakim yang terlibat dalam skandal korupsi semakin panjang.
Pada tahun 2015, KPK menangkap tiga hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan karena menerima suap dari pengacara OC Kaligis. Pada tahun 2016, Ketua PN Kepahiang, Janner Purba, juga tertangkap basah menerima suap. Tahun-tahun berikutnya, skandal korupsi yang melibatkan hakim terus menghantui dunia peradilan. Bahkan pada 2018, Ketua Pengadilan Tinggi Manado, Sudiwardono, tertangkap menerima suap terkait kasus penahanan mantan Bupati Bolaang Mongondow. Di tahun yang sama, Hakim PN Tangerang Wahyu Widya Nurfitri juga tersandung kasus suap.
Yang terbaru, pada 2022, hakim PN Surabaya Itong Isnaeni Hidayat ditangkap oleh KPK karena menerima suap dalam penanganan perkara perdata. Daftar hitam hakim yang terlibat dalam kasus suap dan gratifikasi terus bertambah, meskipun kesejahteraan mereka telah diperbaiki melalui kenaikan gaji dan tunjangan.
Baca juga : Jerat Maut Korupsi: Sahbirin Noor dan Miliaran Rupiah Uang Suap yang Terkubur di Balik Proyek
Baca juga : Indonesia, Surga bagi Koruptor dengan Vonis Ringan yang Mengejutkan!
Pendekatan Sunarto: Reformasi dari Dalam
Ketua Mahkamah Agung yang baru dilantik, Sunarto, tampaknya menyadari sepenuhnya tantangan besar yang dihadapinya. Dalam 100 hari pertama masa kepemimpinannya, Sunarto berjanji untuk membawa perubahan besar, termasuk meningkatkan pengawasan terhadap hakim di daerah. Salah satu langkah yang diusulkannya adalah memberikan kewenangan kepada hakim agung untuk menjadi pengawas di pengadilan tingkat daerah.
Dalam skema yang diusulkan, para hakim agung tidak hanya akan menyosialisasikan kebijakan dan regulasi terbaru, tetapi juga bertanggung jawab untuk mengawasi praktik peradilan di daerah-daerah, memastikan tidak ada penyimpangan atau pelanggaran yang terjadi. Selain itu, Sunarto berencana memberikan otoritas kepada hakim agung untuk membina dan mengawasi staf yang ada di lingkungan kerja mereka, meningkatkan akuntabilitas dan transparansi di dalam lembaga peradilan.
Selain reformasi internal di tubuh Mahkamah Agung, Sunarto juga berjanji untuk memperkuat koordinasi dengan Komisi Yudisial (KY). KY akan diperkuat sehingga memiliki kewenangan lebih dalam menindak hakim-hakim yang terlibat masalah, termasuk kemampuan untuk memecat hakim yang dinilai tidak berintegritas tanpa perlu persetujuan Mahkamah Agung.
Perlu Pembatasan Ketat
Selain memperbaiki mekanisme pengawasan, Jimly juga menyarankan agar hakim diberikan batasan ketat dalam kehidupan sosial mereka. Salah satu rekomendasinya adalah melarang hakim untuk bergaul dengan pengusaha dan politisi. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi potensi konflik kepentingan dan tekanan dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan dalam perkara yang ditangani.
Kesejahteraan hakim memang perlu ditingkatkan. Namun, Jimly menekankan bahwa peningkatan kesejahteraan ini harus disertai dengan pembatasan yang ketat untuk menjaga independensi dan integritas hakim. “Jika gaji mereka sudah cukup tinggi, kesejahteraan sudah terjamin, tidak ada lagi alasan bagi mereka untuk tergoda menerima suap. Tapi itu juga harus diiringi dengan pembatasan pergaulan mereka dengan pihak-pihak yang bisa memengaruhi putusan mereka,” tambahnya.
Reformasi yang Belum Usai
Reformasi peradilan di Indonesia masih jauh dari kata selesai. Meskipun pemerintah telah mengambil langkah-langkah signifikan untuk meningkatkan kesejahteraan hakim, masalah mendasar terkait integritas, profesionalisme, dan korupsi masih mengakar kuat.
Kenaikan gaji yang diharapkan dapat meningkatkan kinerja dan moralitas hakim belum terbukti efektif dalam mengurangi korupsi di kalangan aparat peradilan. Kasus suap dan gratifikasi yang terus terjadi menunjukkan bahwa peningkatan kesejahteraan saja tidak cukup untuk membangun sistem peradilan yang adil, transparan, dan bebas korupsi.
Reformasi total yang diusulkan oleh para pakar, termasuk perubahan mekanisme pengangkatan hakim dan penguatan pengawasan, perlu segera dilakukan. Selain itu, reformasi ini harus diikuti dengan langkah-langkah konkret untuk meningkatkan integritas dan profesionalisme para hakim di semua tingkat peradilan. Hanya dengan begitu, sistem peradilan Indonesia bisa benar-benar kembali mendapatkan kepercayaan publik. *Mukroni
Foto Kowantaranews
- Berita Terkait :
Jerat Maut Korupsi: Sahbirin Noor dan Miliaran Rupiah Uang Suap yang Terkubur di Balik Proyek
Indonesia, Surga bagi Koruptor dengan Vonis Ringan yang Mengejutkan!
Pemecatan yang Menghancurkan Karier: Rudy Soik dan Sidang Tanpa Suara
Hutan Indonesia di Ujung Kehancuran: Jerat Impunitas Korporasi yang Tak Terbendung
Rudy Soik: Sang Penantang Mafia BBM yang Dikorbankan Demi Kekuasaan?
Skandal Korupsi Gubernur Kalsel: Sahbirin Noor Dicegah ke Luar Negeri, Terancam DPO!
MAKI Tantang Kejagung! Robert Bonosusatya Bebas dari Jerat Korupsi Timah?
Kejagung Bongkar Rekor! Uang Rp 372 Miliar Disembunyikan di Lemari Besi Kasus Duta Palma
Skandal Tambang Miliaran! Mantan Gubernur Kaltim Terjerat Korupsi Besar-Besaran ?
Tragedi Bekasi: Salah Prosedur Polisi ? , Tujuh Remaja Tewas di Kali!
Mengendalikan Triliunan Rupiah: Bos Narkoba Hendra Sabarudin dari Dalam Lapas
Relawan Tanam Pohon atau Tanam Konflik? PT MEG dan Drama Eco City di Pulau Rempang
Menjaga KPK: Ketatnya Pengawasan, Longgarnya Etika
Drama Kepemimpinan Kadin: Siapa Bos, Siapa ‘Bos’?
Drama Kadin: Aklamasi Sah, Kuorum Bisa Disanggah
300 Triliun Hilang, Hukuman Ditebus dengan Rp 5.000: Harga Keadilan di Tanah Timah
Munaslub: Ketika Kuorum Jadi Interpretasi Pribadi
Drama Munaslub: Ketika Kursi Ketua Kadin Jadi Rebutan, Hukum Cuma Penonton?
Anindya Bakrie Naik Tahta Kadin: Munaslub ala ‘Keluarga Besar’ yang Ditolak 20+ Provinsi
Tinjauan Pro dan Kontra Penempatan Komponen Cadangan di Ibu Kota Nusantara
Strategi Presiden Jokowi dalam Memilih Pimpinan KPK: Membaca Dinamika Politik dan Hukum di Indonesia
Jeratan Hukum Fify Mulyani dalam Kasus Poligami dan Tindak Pidana Pencucian Uang
Skandal Kuota Haji Khusus: Dugaan Penyelewengan di Balik Penyelenggaraan Haji 2024
IKN di Persimpangan: Anggaran Menyusut, Investasi Swasta Diharapkan
Warteg Menolak IKN, Apa Warteg Menolak IKAN ?
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat
Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit
Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik
Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi