Jakarta, Kowantaranews.com -Pilkada serentak nasional yang untuk pertama kalinya dilaksanakan di Indonesia pada Rabu, 27 November 2024, menjadi tonggak sejarah dalam demokrasi. Sebanyak 545 daerah secara bersamaan melaksanakan pemilihan kepala daerah, mencakup tingkat provinsi, kabupaten, hingga kota. Dengan alasan efisiensi dan efektivitas, pemilihan ini diharapkan mampu menekan biaya politik, meminimalkan konflik elektoral, dan memberikan pengalaman demokrasi yang lebih baik kepada rakyat. Namun, di balik klaim besar tersebut, kenyataan di lapangan menggambarkan masalah-masalah mendasar yang masih membelenggu proses demokrasi Indonesia.
Efisiensi yang Tertatih
Ide awal penyelenggaraan pilkada serentak bermula sejak 2010, dengan tujuan mengurangi beban negara dari penyelenggaraan pemilu yang terfragmentasi sepanjang tahun. Model serentak ini dipandang lebih praktis karena menyederhanakan tahapan elektoral dan mengurangi potensi konflik antarpendukung kandidat di daerah. Dalam teori, masyarakat diharapkan lebih fokus, partisipasi pemilih meningkat, dan biaya politik berkurang.
Namun, pada praktiknya, efisiensi yang menjadi cita-cita tersebut justru terganjal oleh persoalan teknis dan sistemik. Beberapa daerah mengalami kendala distribusi logistik akibat bencana alam, seperti banjir di Kalimantan Tengah dan Kabupaten Bandung. Di lokasi-lokasi ini, relokasi tempat pemungutan suara (TPS) menjadi pilihan yang tidak bisa dihindari untuk memastikan pemilih tetap dapat memberikan suara mereka. Meski demikian, kekhawatiran tetap muncul terkait kelancaran logistik, terutama untuk daerah terpencil dan rawan konflik.
Selain itu, pendekatan serentak ternyata memberikan tekanan besar bagi penyelenggara, terutama Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dengan jumlah peserta pemilu yang masif, sistem pengawasan dan penghitungan suara menjadi jauh lebih kompleks. Masalah teknis ini akhirnya memunculkan pertanyaan: benarkah model serentak lebih efisien, atau justru menciptakan kerumitan baru?
Bayang-bayang Korupsi dalam Kandidasi
Harapan masyarakat untuk mendapatkan pemimpin daerah yang bersih dan kompeten kerap terbentur pada fakta kelam dunia politik Indonesia. Salah satu kasus mencolok terjadi hanya tiga hari sebelum pemungutan suara, ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah atas dugaan pemerasan dan gratifikasi. Menurut KPK, uang hasil pemerasan tersebut digunakan untuk membiayai pencalonan dirinya kembali dalam pilkada.
Fenomena seperti ini tidaklah mengejutkan. Selama proses kandidasi, politik transaksional dan mahar politik menjadi realitas yang sulit dihindari. Partai politik sering kali memprioritaskan kandidat dengan kemampuan finansial besar, terlepas dari integritas atau kapabilitas mereka. Dalam laporan yang dirilis oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), hingga November 2024, tercatat lebih dari 3.000 kasus pelanggaran netralitas aparatur sipil negara (ASN), termasuk penggunaan anggaran publik untuk mendukung kandidat tertentu.
Dinasti politik juga menjadi momok dalam pilkada serentak. Banyak kandidat merupakan bagian dari keluarga elite politik, yang memanfaatkan kekuatan finansial dan jejaring untuk memastikan kemenangan mereka. Praktik ini semakin mempersempit ruang bagi calon independen atau kandidat berbasis akar rumput untuk bersaing secara adil.
Pertarungan Sunyi: Strategi Totalitas Menjaga Suara di Masa Tenang Pilkada 2024
Pertarungan Sengit di Ibu Kota: Jakarta Menyaksikan Duel Epik Pramono-Rano vs Ridwan-Suswono!
Jumat Berkah: Ribuan Nasi Kotak Hujani Jakarta, Dukungan untuk Mas Pram dan Bang Doel Menggema!
Kampanye yang Kehilangan Substansi
Salah satu aspek penting dalam demokrasi adalah kemampuan kandidat untuk menawarkan visi, misi, dan program yang jelas kepada masyarakat. Namun, pilkada serentak tahun ini menunjukkan betapa lemahnya kualitas kampanye politik di Indonesia. Dalam banyak kesempatan, debat kandidat hanya menjadi ajang formalitas yang miskin gagasan berbasis data. Alih-alih menawarkan solusi konkret untuk persoalan daerah, banyak kandidat terjebak pada retorika populis dan janji-janji kosong.
Pendekatan kampanye yang lebih berorientasi pada elite juga menjadi sorotan. Daripada menyapa dan mendengar kebutuhan masyarakat akar rumput, para kandidat cenderung lebih fokus menjalin dukungan dari tokoh-tokoh berpengaruh dan kelompok tertentu yang dianggap mampu menggalang suara secara instan. Fenomena ini mengindikasikan betapa jauhnya proses demokrasi elektoral dari nilai-nilai partisipasi yang inklusif.
Lebih ironis lagi, “serangan fajar” atau praktik politik uang menjelang hari pencoblosan masih menjadi strategi favorit sebagian kandidat. Meski sudah menjadi rahasia umum, penegakan hukum terhadap pelaku politik uang cenderung lemah. Akibatnya, masyarakat yang menjadi korban dari sistem ini sering kali memilih pragmatisme sesaat daripada mendorong perubahan jangka panjang.
Pilkada dan Turunnya Kualitas Demokrasi
Menurut Firman Noor, peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional, masalah-masalah dalam pilkada serentak tidak terlepas dari penurunan kualitas demokrasi Indonesia secara keseluruhan. Dalam laporan Economist Intelligence Unit tahun 2022, indeks demokrasi Indonesia berada pada skor 6,53, yang menempatkannya dalam kategori “demokrasi cacat” (flawed democracy). Tren ini telah berlangsung sejak 2015 dan mencerminkan stagnasi reformasi politik di Indonesia. (validnews.id, 30/11/2024)
Firman mencatat bahwa kandidat lebih sering memanfaatkan struktur elite untuk menggalang suara, sementara masyarakat di akar rumput hanya menjadi objek dalam proses demokrasi. Padahal, keberhasilan demokrasi seharusnya diukur dari sejauh mana rakyat berperan aktif dalam menentukan pemimpin mereka.
Djohermansyah Djohan, Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri, menambahkan bahwa proses elektoral Indonesia masih jauh dari ideal. Partai politik sebagai pilar utama demokrasi justru sering menjadi hambatan, karena cenderung mengabaikan aspirasi rakyat demi kepentingan internal atau elite. Dalam banyak kasus, keputusan pencalonan dilakukan tanpa mempertimbangkan hasil survei atau aspirasi masyarakat.
Harapan dan Tantangan ke Depan
Pilkada serentak nasional tahun 2024 menunjukkan bahwa reformasi demokrasi di Indonesia masih memerlukan perjalanan panjang. Meski ada upaya untuk menciptakan sistem yang lebih efisien, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak hal mendasar belum berubah. Politik transaksional, korupsi, dan dominasi elite masih menjadi tantangan besar yang harus diatasi.
Namun, di balik segala persoalan tersebut, masih ada ruang untuk optimisme. Partisipasi masyarakat dalam mengawasi jalannya pemilu, seperti yang disuarakan oleh Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati, menjadi kunci penting dalam mencegah kecurangan. Dengan pengawasan yang ketat, terutama pada tahap rekapitulasi suara, diharapkan proses pemilu dapat berjalan lebih transparan dan akuntabel.
Selain itu, upaya edukasi politik bagi masyarakat perlu terus ditingkatkan. Masyarakat harus diberdayakan untuk menjadi pemilih yang kritis, yang tidak hanya melihat janji manis kandidat, tetapi juga rekam jejak dan visi mereka untuk membangun daerah. Penggunaan teknologi dan data terbuka, seperti yang dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) melalui laman Rekam Jejak, dapat menjadi alat yang efektif untuk meningkatkan literasi politik masyarakat.
Pilkada serentak 2024 adalah momen penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia, tetapi juga menjadi pengingat bahwa efisiensi administratif tidak cukup untuk menciptakan demokrasi yang sehat. Korupsi, politik dinasti, dan lemahnya partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi harus menjadi perhatian utama bagi semua pihak. Jika Indonesia ingin melangkah menuju demokrasi yang lebih matang, maka reformasi sistemik, penegakan hukum yang tegas, dan pemberdayaan rakyat harus menjadi prioritas bersama. Hanya dengan begitu, cita-cita demokrasi yang inklusif dan berkeadilan dapat terwujud. By Mukroni
Foto Kompas
- Berita Terkait
Pertarungan Sunyi: Strategi Totalitas Menjaga Suara di Masa Tenang Pilkada 2024
Kembali ke Federalisme: Membangun Otonomi untuk Pembangunan yang Merata
Membangun Keadilan Melalui Otonomi: Gagasan Negara Federal untuk Indonesia
Indonesia Timur Terabaikan: Kekayaan Alam Melimpah, Warganya Tetap Miskin!
Menuju Swasembada Pangan: Misi Mustahil atau Harapan yang Tertunda?
QRIS dan Uang Tunai: Dua Sisi dari Evolusi Pembayaran di Indonesia
Ledakan Ekonomi Pedas: Sambal Indonesia Mengguncang Dunia!
Keanekaragaman Hayati di Ujung Tanduk: Lenyapnya Satwa dan Habitat Indonesia!
Indonesia Menuju 2045: Berhasil Naik Kelas, Tapi Kemiskinan Semakin Mengancam?
Food Estate: Ilusi Ketahanan Pangan yang Berujung Malapetaka ?
Menjelang Akhir Jabatan, Jokowi Tinggalkan PR Besar: Pembebasan Lahan IKN Tersendat!
Pangan Indonesia di Ujung Tanduk: Fase Krusial Beras dan Gula Menuju Krisis!
Tambang Pasir Laut: Ancaman Mematikan bagi Ekosistem dan Kehidupan Pesisir Indonesia!
Duel Menteri Jokowi: Ekspor Pasir Laut atau Hancurkan Lautan Indonesia?
Lonjakan Konsumsi di Tengah Tekanan Ekonomi: Masyarakat Indonesia Bertahan dengan Tabungan!
Hilirisasi Tambang: Mesin Pertumbuhan Ekonomi yang Tak Kunjung Menyala
Impor Lagi? Karena Produksi Pangan Lokal Terlalu Mewah untuk Rakyat!
Stop! Impor Makanan Mengancam! Ketahanan Pangan Indonesia di Ujung Tanduk!
Selamat Datang di Kawasan Lindung: Hutan Hilang Dijamin!
Kongsi Gula Raksasa: Kuasai Tanah, Singkirkan Hutan di Merauke!
Ekspor Pasir Laut Dibuka: Keuntungan Instan, Kerusakan Lingkungan Mengancam Masa Depan!
APBN 2025: Anggaran Jumbo, Stimulus Mini untuk Ekonomi
“Investasi di IKN Melonjak, Tapi Pesawatnya Masih Cari Parkir”
Mandeknya Pengembalian Aset BLBI: Ujian Nyali dan Komitmen Pemerintah
Jeratan Hukum Fify Mulyani dalam Kasus Poligami dan Tindak Pidana Pencucian Uang
Skandal Kuota Haji Khusus: Dugaan Penyelewengan di Balik Penyelenggaraan Haji 2024
IKN di Persimpangan: Anggaran Menyusut, Investasi Swasta Diharapkan
Warteg Menolak IKN, Apa Warteg Menolak IKAN ?
Keren !, Sejumlah Alumni UB Mendirikan Koperasi dan Warteg Sahabat di Kota Malang
Ternyata Warteg Sahabat KOWATAMI Memakai Sistem Kasir Online
Ternyata Warteg Sahabat Berada di Bawah Naungan Koperasi Warung Sahabat Madani
Wow Keren !, Makan Gratis di Warteg Sahabat Untuk Penghafal Surat Kahfi di Hari Minggu
Warteg Sahabat Satu-Satunya Warteg Milenial di Kota Malang dengan Wifi
Warteg Sahabat Menawarkan Warteg Gaya Milenial untuk Kota Malang dan Sekitarnya
Republik Bahari Mengepakan Sayap Warteg ala Café di Cilandak Jakarta Selatan
Promo Gila Gilaan Di Grand Opening Rodjo Duren Cirendeu.
Pelanggan Warteg di Bekasi dan Bogor Kecewa, Menu Jengkol Hilang
KOWARTAMI Membuka Lagi Gerai Warteg Republik Bahari ke-5 di MABES Jakarta Barat
Ternyata Nasi Padang Ada yang Harganya Lebih Murah dari Warteg, Apa benar ?
Menikmati Menu Smoothies Buah Naga Di Laloma Cafe Majalengka
Ternyata Tidak Jauh Dari Jakarta, Harga Nasi Padang Per Porsinya Rp 120 Ribu
Ketika Pedagang Warteg Menanyakan Syarat Mendapatkan Satu Juta Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Warteg Republik Bahari Di Bawah Kowartami Mulai Berkibar Di Penghujung Pandemi
Curhat Pemilik Warung Seafood Bekasi Ketika Omsetnya Belum Beranjak Naik
Trending Di Twitter, Ternyata Mixue Belum Mendapat Sertifikat Halal Dari BPJPH Kementerian Agama
Megenal Lebih Dekat Apapun Makanannya Teh Botol Sosro Minumannya, Cikal Bakalnya Dari Tegal
Kowartami Resmikan Warteg Republik Bahari Cabang Ke-4 Di Salemba Jakarta Pusat
Natal Di Jepang, Kentucky Fried Chicken (KFC) Salah Satu Makanan Favorit
Pedagang Warteg Semakin Sulit Harga Beras Naik
Yabie Cafe Tempat Bersantai Kekinian di Kranji Bekasi
Nongkrong Sambil Mencicip Surabi dengan Beragam Topping di Bandung