Jakarta, Kowantaranews.com -Di tengah pergolakan dan penderitaan yang melanda Jalur Gaza, secercah harapan muncul bagi 21 anak yang sakit dan terluka. Dalam evakuasi medis pertama sejak Mei, mereka diizinkan meninggalkan wilayah yang terkepung itu untuk menerima perawatan medis yang sangat dibutuhkan di luar negeri. Perjalanan mereka menuju keselamatan dan pengobatan dimungkinkan melalui koordinasi yang cermat antara pejabat Amerika Serikat, Mesir, dan komunitas internasional. Namun, perjalanan ini jauh dari mudah, penuh dengan rintangan emosional dan logistik yang menguras energi dan emosi.
Kerem Shalom: Gerbang Harapan
Anak-anak ini, bersama dengan pendamping mereka, meninggalkan Gaza melalui penyeberangan Kerem Shalom, sebuah titik lintas yang kini menjadi simbol harapan di tengah-tengah keputusasaan. Mereka akan menuju Mesir, dan dari sana, beberapa di antaranya akan melanjutkan perjalanan ke negara-negara lain untuk mendapatkan perawatan medis yang lebih lengkap. Di antara mereka terdapat Fayez Abu Kwaik, seorang anak laki-laki berusia lima tahun yang menderita kanker. Perjalanan Fayez begitu memilukan karena ia harus berpisah dengan ibunya dan berangkat dengan neneknya, satu-satunya anggota keluarganya yang permintaan perjalanannya diterima oleh otoritas Israel.
Perjalanan yang Sulit
Perjalanan keluar dari Gaza bukanlah hal yang mudah. Setiap orang harus menjalani pemeriksaan keamanan yang ketat oleh otoritas Israel dan Mesir. Sejak perang meletus pada 7 Oktober, kondisi semakin memburuk. Pasukan Israel telah mengambil alih sisi Palestina dari perbatasan utama Rafah yang melintasi Mesir, membuat perjalanan keluar dari Jalur Gaza hampir mustahil. Situasi ini menjadi mimpi buruk bagi para orang tua yang memiliki anak-anak yang sakit atau terluka. Penyakit mereka semakin parah akibat pemboman intensif Israel yang menghancurkan infrastruktur kesehatan di Gaza dan memaksa hampir semua orang meninggalkan rumah mereka.
Kisah Fayez Abu Kwaik
Fayez Abu Kwaik adalah salah satu dari 21 anak yang diizinkan meninggalkan Gaza. Ibunya, Kamla Abu Kwaik, menceritakan penderitaan yang dialami oleh putranya. “Ada banyak benjolan di tubuhnya yang tersebar luas, dan kami tidak tahu apa penyebabnya,” kata Kamla. “Namanya keluar sebagai salah satu yang diizinkan pergi, tapi saya dan ayahnya tidak bisa pergi bersamanya. Hanya neneknya yang diizinkan. Saya patah hati, bagaimana saya bisa meninggalkannya ketika dia baru berumur lima tahun?”
Kamla berbicara dengan air mata, menceritakan bagaimana Fayez memeluknya erat sebelum berangkat. “Mama, aku sayang kamu, jangan tinggalkan aku,” kata Fayez, kata-katanya menusuk hati ibunya. Kamla hanya bisa berharap bahwa anaknya akan mendapatkan perawatan yang layak di luar Gaza, meskipun dia tidak tahu pasti di mana Fayez akan dirawat.
Kondisi Kesehatan yang Memburuk
Di dalam salah satu ambulans yang membawa anak-anak ini, ada seorang anak laki-laki yang terbaring di tandu dengan kaki yang diamputasi di atas lutut. Seorang ayah menggendong kedua putrinya yang masih kecil, salah satunya dengan kepala yang dibalut perban akibat luka bakar dari pemboman Israel. Mereka adalah sebagian kecil dari ribuan orang yang terluka parah dan membutuhkan perawatan medis yang mendesak.
Menurut Muhammad Zaqout, Direktur Jenderal Rumah Sakit di Jalur Gaza, lebih dari 25.000 orang yang sakit dan terluka membutuhkan perawatan yang tidak dapat lagi diberikan di Gaza. “Kasus-kasus ini termasuk 250 anak yang membutuhkan perawatan segera karena penyakit yang mengancam jiwa,” jelasnya. Evakuasi ini, meskipun penting, hanya mampu membantu sebagian kecil dari mereka yang sangat membutuhkan.
Baca juga : Dunia Mendesak Perdamaian: Ancaman Kelaparan Melanda Lebanon di Tengah Ketegangan dengan Israel
Baca juga : Penderitaan di Gaza: “Penjara dengan Kekurangan Medis yang Parah”
Read more : Netanyahu Announces Imminent Conclusion of Gaza Conflict’s Intense Phase
Dampak Perang dan Blokade
Perang yang pecah setelah serangan Hamas pada 7 Oktober telah menghancurkan sebagian besar wilayah Jalur Gaza. Pemboman Israel yang brutal menewaskan sekitar 37.700 orang dan melukai 86.400 lainnya, menurut otoritas kesehatan Palestina. Infrastruktur yang rusak, termasuk rumah sakit dan klinik, membuat situasi semakin parah. Sistem kesehatan yang sudah lemah sebelum perang kini hampir runtuh, tidak mampu menangani jumlah pasien yang terus bertambah.
Orang tua Fayez, seperti banyak orang tua lainnya, hanya bisa berharap bahwa anak-anak mereka akan mendapatkan perawatan yang mereka butuhkan di luar Gaza. Namun, ketidakpastian dan ketakutan selalu mengiringi setiap langkah mereka. Kamla Abu Kwaik mengatakan, “Kita tidak tahu rumah sakit mana. Naik bus saja dan itu saja. Semuanya tidak diketahui. Kita tidak tahu apa-apa.”
Kisah di Balik Angka
Di balik angka-angka statistik korban dan kerusakan, terdapat kisah-kisah manusiawi yang memilukan. Anak-anak yang seharusnya menikmati masa kanak-kanak mereka kini terjebak dalam situasi yang penuh dengan rasa sakit dan ketakutan. Orang tua yang seharusnya melindungi dan merawat anak-anak mereka kini harus menghadapi pilihan yang tidak manusiawi: meninggalkan anak mereka untuk menerima perawatan yang mungkin mereka tidak akan pernah bisa dapatkan di Gaza.
Konflik di Gaza telah menjadi tragedi kemanusiaan yang mendalam. Dunia internasional, meskipun terlibat dalam upaya mediasi dan bantuan, sering kali gagal memberikan solusi yang nyata dan berkelanjutan. Evakuasi 21 anak ini hanyalah langkah kecil dalam menghadapi krisis yang jauh lebih besar.
Harapan di Tengah Kesulitan
Meskipun situasinya suram, ada secercah harapan di setiap evakuasi medis ini. Setiap anak yang berhasil keluar dari Gaza adalah simbol keberanian dan ketahanan. Mereka mewakili harapan bahwa ada masa depan yang lebih baik di luar sana, di mana mereka dapat hidup tanpa rasa takut dan menerima perawatan yang mereka butuhkan.
Kisah Fayez Abu Kwaik dan anak-anak lainnya yang dievakuasi dari Gaza adalah pengingat akan pentingnya solidaritas dan kemanusiaan. Di tengah konflik dan kekerasan, manusia masih bisa menunjukkan kasih sayang dan kepedulian terhadap sesama. Koordinasi antara berbagai pihak internasional untuk memungkinkan evakuasi ini menunjukkan bahwa ketika ada kemauan, ada jalan untuk memberikan bantuan kepada mereka yang paling membutuhkan.
Namun, evakuasi ini juga menggarisbawahi kebutuhan mendesak untuk solusi yang lebih permanen dan berkelanjutan bagi konflik di Gaza. Selama perang dan blokade terus berlanjut, anak-anak seperti Fayez akan terus menderita, dan ribuan lainnya akan membutuhkan bantuan medis yang tidak dapat mereka dapatkan di rumah mereka sendiri.
Kisah ini berakhir dengan bus yang membawa anak-anak menuju Mesir bergerak pergi, meninggalkan Gaza yang hancur di belakang mereka. Air mata dan doa dari keluarga mereka yang tertinggal mengiringi perjalanan mereka. Dunia hanya bisa berharap dan berdoa agar mereka menemukan perawatan yang mereka butuhkan dan bahwa suatu hari, mereka bisa kembali ke rumah yang damai dan aman.
Di tengah tragedi ini, harapan tetap hidup. Harapan bahwa suatu hari, anak-anak Gaza bisa bermain dan tumbuh tanpa rasa takut, bahwa mereka bisa menerima pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak, dan bahwa mereka bisa menikmati masa kanak-kanak mereka seperti anak-anak di belahan dunia lain. Hingga saat itu tiba, dunia harus terus berupaya untuk memberikan bantuan dan dukungan kepada mereka yang paling membutuhkan, dan bekerja menuju perdamaian yang abadi di Gaza. *Mukroni
Sumber alarabiya.net
Foto Kowantaranews
- Berita Terkait :
Dunia Mendesak Perdamaian: Ancaman Kelaparan Melanda Lebanon di Tengah Ketegangan dengan Israel
Penderitaan di Gaza: “Penjara dengan Kekurangan Medis yang Parah”
Netanyahu Announces Imminent Conclusion of Gaza Conflict’s Intense Phase
Gaza’s Overlooked Hostages: Thousands Held Without Charge in Israeli Detention
Chilean Art Exhibition Celebrates Palestinian Solidarity
Houthi Rebels Sink Bulk Carrier in Red Sea Escalation Amid Israel-Hamas Conflict
Tragedi Kemanusiaan di Gaza: Serangan Israel Menewaskan Sedikitnya 42 Orang
Kuba Ikut Dalam Gugatan Internasional Afrika Selatan di ICJ Mengenai Tindakan Israel di Gaza
Mengapa Gaza Adalah Zona Perang Terburuk: Perspektif Ahli Bedah Trauma David Nott
Armenia Resmi Akui Palestina sebagai Negara di Tengah Konflik Gaza-Israel
Qatar Lakukan Negosiasi Intensif untuk Gencatan Senjata Israel-Hamas
Day 256: Gaza Under Siege – Israel’s Airstrikes Claim Dozens of Lives
Pengunduran Diri Pejabat AS Stacy Gilbert: Protes terhadap Kebijakan Bantuan Kemanusiaan di Gaza
Idul Adha di Tengah Konflik: Ketika Kegembiraan Berganti Kesedihan di Gaza
Tragedi di Rafah: Delapan Tentara Israel Tewas dalam Pertempuran Terbaru di Jalur Gaza
AS menjatuhkan sanksi pada ‘kelompok ekstremis Israel’ karena memblokir bantuan Gaza
Langkah Israel: ‘Jeda Taktis’ untuk Meringankan Krisis Kemanusiaan di Gaza
Pembicaraan Gencatan Senjata Gaza oleh Qatar dan Mesir: Langkah Baru Menuju Perdamaian
Akhir yang Mendekat bagi Pemerintahan Netanyahu yang Terpecah
Krisis Kemanusiaan di Gaza: Keputusasaan di Tengah Pertempuran
Ketegangan AS-Israel: Perdebatan atas Berbagi Informasi Intelijen
Tekanan Boikot Israel terhadap Merek-merek Amerika di Timur Tengah
$7.000 untuk Keluar dari Gaza: Eksploitasi Warga Palestina yang Melarikan Diri ke Mesir
Krisis Kemanusiaan di Gaza Meningkat, Yordania Gelar Pertemuan Darurat Internasional
Transformasi Ekonomi Global: Dampak Penghentian Perjanjian Petro Dollar oleh Arab Saudi
Rencana Gencatan Senjata Gaza Terhambat oleh Perubahan Usulan dari Hamas, Klaim AS
HRW: Penggunaan Kelaparan oleh Israel sebagai Senjata Perang di Gaza Merupakan ‘Kejahatan Perang’
PBB Temukan Bukti Kejahatan Kemanusiaan oleh Israel di Gaza
Resolusi DK PBB Dukung Gencatan Senjata Gaza: Langkah Menuju Perdamaian yang Tantangannya Besar”
Pertemuan Tegang di Kairo: Morsi Dituduh Mengimplikasikan Yahudi Mengendalikan Media AS
Gideon Levy: Pendudukan Israel Tidak Akan Berakhir Sampai Mereka Membayar Akibatnya
Ribuan Orang Berkumpul di Luar Gedung Putih untuk Memprotes Perang di Gaza
Benny Gantz Mengundurkan Diri dari Kabinet Perang: Pukulan Telak bagi Netanyahu
Kebencian terhadap Netanyahu Meningkat di Tengah Isolasi Internasional Israel
Dewan Menteri D-8 Serukan Gencatan Senjata “Segera, Permanen, Tanpa Syarat” di Gaza
Israel Menyerang Sekolah di Gaza yang Menampung Pengungsi Palestina, Menewaskan Sedikitnya 40 Orang
Bagaimana “Le Monde” Meliput Konflik Israel-Palestina Sejak 1945
Spanyol Ikut Campur dalam Kasus Genosida Afrika Selatan Terhadap Israel di ICJ
Bernie Sanders: Menghormati Netanyahu dengan Pidato Kongres adalah Kesalahan Besar
Gideon Levy Mengkritik Media Israel yang Tidak Memperlihatkan Penderitaan di Gaza
Kontroversi di Parlemen Prancis: Bendera Palestina di Tengah Isu Politik Sensitif
Lapid Kecam Smotrich dan Ben Gvir atas Ancaman Gulingkan Koalisi Terkait Gencatan Senjata Sandera
Macklemore: Melawan Apartheid demi Kemerdekaan Palestina di Tengah Konflik Gaza
Mesir Bergabung dalam Kasus Genosida terhadap Israel di Pengadilan Tinggi PBB
Türkiye Bergabung dalam Kasus Genosida Afrika Selatan terhadap Israel di ICJ